Ustaz Aang Asyari mengingatkan kaum Muslimin untuk memperhatikan sanad keilmuan bilamana belajar agama Islam. | DOK PRI

Hiwar

Pentingnya Sanad Keilmuan

Kaum Muslimin dinilai perlu menjaga tradis sanad keilmuan, apalagi di era digital kini.

"Maka belajar agama secara otodidak, misalnya, melalui medsos (media sosial) sangat berbahaya."

Islam bersumber dari Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Karena itu, mempelajari agama ini pun haruslah dengan guru, yang rentetan rawinya sampai kepada Rasulullah SAW.

Menurut Ustaz Aang Asy’ari, orang yang belajar ilmu agama tanpa guru dikhawatirkan akan menyesatkan dirinya sendiri dan lingkungan. Alumnus Universitas al-Azhar Kairo itu menerangkan, sanad keilmuan berperan penting. Kaum Muslimin pun dinilai perlu menjaga tradisi tersebut, apalagi dalam era digital kini.

Dengan tradisi sanad, maka prinsip-prinsip keislaman yang dipraktikkan bisa sama persis dengan yang dipraktikkan Baginda Nabi Muhammad SAW. “Metode sanad adalah modal peradaban istimewa kaum Muslimin. Metodologi ini hanya dimiliki umat Islam,” ujar Ustaz Aang.

Tanpa sanad, maka manusia bisa berbicara apa saja tanpa dasar. Karena itu, menurut dia, dalam Mukaddimah kitab Sahih Muslim dinyatakan bahwa sistem sanad adalah bagian dari pondasi agama. Andaikan tidak ada sanad, maka orang akan berbicara agama sesuai hawa nafsu dan kepentingannya.

“Mari kita jaga tradisi sanad ini dengan terus mengajarkan metode belajar agama secara talaqqi (bertatap muka) kepada para guru yang sanad keilmuan jelas bersambung, tinggi akhlaknya dan menjadikan agama sebagai ladang berjuang membangun peradaban dan kemaslahatan umat,” kata Pengasuh Pesantren Terpadu Al-Fattah Kuningan ini.

Berikut hasil perbincangan wartawan Republika, Muhyiddin bersama mubaligh yang juga menjabat ketua Aswaja Center Jawa Barat ini, beberapa waktu lalu.

Bagaimana kedudukan ilmu dalam Islam?

Islam sebagai agama ilmu dan peradaban, memosisikan ilmu sebagai hal yang sangat penting. Itu terlihat dari banyaknya ayat Alquran maupun hadis-hadis Rasulullah SAW yang memandang tinggi dan mulia orang-orang yang berilmu. Begitu pula dengan petuah-petuah para sahabat beliau.

Ambil contoh, perkataan Mu’adz bin Jabal, sebagaimana dinukil KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, Adab Ta’lim wa al-Muta’allim. Mu’adz mengatakan, “Belajarlah ilmu. Sesungguhnya, mempelajari ilmu adalah suatu kebaikan; mencari ilmu adalah ibadah; mengingatnya adalah tasbih; membahasnya adalah jihad; bersungguh-sungguh terhadap ilmu adalah pengorbanan; mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak memiliki pengetahuan adalah sedekah.”

Mengaji ilmu-ilmu agama harus dengan sanad?

Sistem sanad atau nasab keilmuan itulah yang membuat kemurnian agama Islam terjaga. Prinsip-prinsip keislaman yang kita praktikkan hari ini sama persis dengan yang diamalkan Baginda Nabi Muhammad SAW.

Metode sanad adalah modal peradaban istimewa kaum Muslimin. Metodologi ini hanya dimiliki umat Islam. Tanpa sanad, manusia bisa berbicara apa saja tanpa dasar. Ada ungkapan hikmah dalam bagian mukadimah kitab Shahih Muslim. Di sana, dinyatakan bahwa “Al-Isnad minad din; laulal isnaad laqala man sya’a ma sya’a. Artinya, “Sistem sanad bagian dari fondasi agama. Andaikan tidak ada sanad, orang akan berbicara agama sesuai hawa nafsu dan kepentingannya saja.

Bagaimana para ulama terdahulu mencari guru-guru?

Para ulama terdahulu atau salaf ketika mencari ilmu tidak hanya melihat kedalaman ilmu seorang guru dan ketersambungan sanad. Persoalan adab, konsistensi antara ucapan dan perbuatan serta integritas juga sangat diperhatikan. Bahkan, semua itu lebih diprioritaskan dibanding kedalaman ilmu. Ilmu tanpa adab dan integritas dianggap hanya nol besar.

Dalam berbagai literatur dijelaskan kisah Abu Yazid al-Bustomi. Dia dikenang sebagai seorang pemuda yang sangat gandrung ilmu. Sering kali, ia rela jauh-jauh datang demi mendapatkan ilmu agama.

 
Andaikan tidak ada sanad, orang akan berbicara agama sesuai hawa nafsu dan kepentingannya saja.
 
 

Suatu kali, Abu Yazid diberi tahu bahwa di suatu tempat ada seorang wali atau guru besar. Ia pun menempuh jarak yang jauh untuk menemuinya. Ketika mendekat, ia melihat sang wali kondang itu meludah ke arah kiblat.

Abu Yazid seketika itu pula bergegas kembali pulang, membatalkan rencana untuk berguru kepada orang tersebut. Ia berujar, “Jika memiliki ilmu sedikit saja, ia tentu tidak akan pernah melecehkan-Nya.”

Apa hikmahnya?

Cerita tadi menegaskan, dalam mencari ilmu, kedalaman dan ketersambungan sanad saja tidak cukup. Perlu juga (menemukan) seorang guru yang alim dan mengamalkan ilmunya. Temuilah guru yang selalu bertakwa kepada Allah SWT.

Muhammad bin Sirin sebagaimana termaktub dalam mukadimah Shahih Muslim berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah bagian dari inti agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”

 
Sesungguhnya ilmu ini adalah bagian dari inti agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian
 
 

Pakar maqashid asy-syari’ah Syekh Ibrahim bin Musa asy-Syathibi dalam kitab Al-Muwafaqat juga telah memberikan kriteria seorang guru. Menurutnya, guru adalah orang yang dapat mengantarkan para muridnya menjadi seorang pakar.

Katanya, “Bahwa mencari ilmu yang dapat mengantarkan seorang pelajar ke takhta kepakaran adalah mengambil ilmu dari ahli yang telah mendalami ilmu tersebut secara sempurna dan menyeluruh. Kriteria lainnya, sang guru mengamalkan ilmunya dan pernah melakukan mulazamah (menjadi santri) dengan seorang guru.”

Bahayakah bila dakwah Islam dilakukan tanpa keilmuan yang disertai sanad?

Tanpa kedalaman ilmu serta sanad keilmuan yang runut dan jelas, agama bisa menjadi candu. Agama yang semula mendamaikan suasana dan memberikan solusi dalam menghadapi problematika kehidupan akan berubah citranya menjadi monster yang sangat menakutkan.

Betapa banyak nyawa melayang, darah tanpa dosa mengalir gara-gara salah kaprah dalam memahami konsep jihad dalam agama. Misalnya, begitu. Tanpa bimbingan guru yang kompeten, seseorang hanya akan melihat agama dari kacamata parsial. Dan, ini sangat membahayakan.

Betapa banyak orang yang tak memiliki jejak sanad keilmuan yang jelas lalu berbicara atas nama agama. Mereka pada akhirnya menghadirkan kerancuan dan kebingungan di tengah umat. Bahkan, tindakannya serta merta merusak citra agama itu sendiri.

Namun, bukankah belajar bisa dilakukan secara mandiri?

Perlu diingat bahwa belajar (dengan guru) secara langsung memiliki manfaat yang sangat banyak. Di antaranya ialah meringkas waktu, memudahkan pemahaman, menghindari kesalahan, dan mengikat pertalian jiwa antara penuntut ilmu dengan gurunya.

Para ulama salaf mengecam pelajar yang belajar tanpa bimbingan guru. Para ulama berkata, “Siapa menjadikan buku sebagai gurunya, kesalahannya lebih banyak daripada yang benar, dan gurunya adalah setan.”

Imam Syafii secara tegas berkata: “Siapa yang belajar otodidak, maka akan menelantarkan hukum (syariat).”

Banyak yang memilih cara-cara virtual untuk menyimak pengetahuan agama?

Di masa pandemi Covid-19 ini, belajar memang tidak bisa lagi dilakukan secara leluasa, termasuk dengan cara tatap muka. Proses belajar menjadi lebih banyak dilakukan secara virtual. Namun, bukankah tetap saja harus dengan adab? Dan, adanya pandemi tidak berarti belajar tatap muka dianggap tak lagi penting.

Mencari ilmu tidak boleh berhenti dalam kondisi apa pun, termasuk dengan cara virtual. Tapi metode ini jangan dijadikan sebagai yang utama. Sebab, bagaimanapun, metode ini sangat banyak kelemahan. Metode yang utama tetap metode tatap muka terutama dari sisi tarbiyah.

Apa saja konsekuensi orang yang belajar agama hanya dari internet?

Pada prinsipnya, agama hanya bisa dipahami dengan cara-cara yang benar, yakni melalui bimbingan intensif dari para ulama. Siapakah ulama itu? Mereka adalah yang mendalam ilmunya dan mengamalkannya. Tanpa bimbingan guru, agama akan berubah fungsi.

Yang semula menjadi solusi untuk meraih kemaslahatan manusia di dunia maupun akhirat, akan dijadikan sebagai kedok untuk kepentingan picisan. Bahkan, eksesnya bisa menimbulkan petaka kemanusiaan.

Maka belajar agama secara otodidak, misalnya, melalui medsos (media sosial) sangat berbahaya. Sebab, internet adalah zona bebas. Tanpa literasi media dan wawasan agama yang baik seseorang bisa terjebak gagal paham ilmu agama. Orang bisa terjerumus dalam pemahaman-pemahaman radikal atau liberal atau sesat serta menyesatkan.

Berarti, belajar agama itu harus dengan guru?

Belajar tanpa guru itu berisiko. Ia (pembelajar) tidak bisa membedakan mana masalah khilafiah dan mana masalah prinsipil (qath’iyyat). Setiap yang berbeda dengan pandangannya, meskipun persoalan furu’iyyah saja, maka akan dianggapnya bidah dan sesat.

Kalau seseorang menjadi dai atau pedakwah tanpa bimbingan guru, dia akan tampil menjadi dai yang keras hati dan mudah menyalahkan orang lain. Ini beberapa poin dari bahayanya belajar agama tanpa guru yang mumpuni.

 
Kalau seseorang menjadi dai tanpa bimbingan guru, dia akan tampil menjadi dai yang keras hati dan mudah menyalahkan orang lain
 
 

Susunan redaksi Alquran dan hadis tidak sesederhana yang dibayangkan. Butuh penguasaan keilmuan multidisipliner yang mendalam. Karena redaksi Alquran bisa berupa metafora, mengandung makna ganda, mutlak, muqayyad, ‘am, khas.., nasih-mansukh atau sifatnya global tapi yang dikehendaki adalah makna khusus atau sebaliknya.

Sehingga perlu kajian dan ketelatenan untuk menemukan hakikat makna sebenarnya. Tanpa bimbingan guru, maka dapat dipastikan seseorang akan menemui kesulitan dalam dan kesimpulan yang dia ambil berpotensi salah dan menyesatkan.

Guru yang ideal, seperti apa?

Guru atau syekh yang baik idealnya memiliki tiga klasifikasi sanad, yaitu tazkiah, riwayat, dan dirayah. Yang pertama itu berarti bahwa dia layak mengajar. Adapun yang kedua bermakna seseorang berguru dan ilmunya bersambung kepada guru-gurunya sampai Rasulullah SAW. Dirayah berarti memahami teks keilmuan secara baik.

Dengan berguru kepada seseorang yang memiliki kualifikasi tersebut maka dijamin seorang murid tidak akan terjebak ke dalam penyelewengan, baik berupa pemalsuan teks maupun kesalahan tulisan. yang akan berimplikasi terhadap kesalahan makna dan arti teks yang tertulis, dia akan memahami teks-teks keilmuan secara benar.

photo
Kompleks Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir. Menurut mubaligh Ustaz Aang Asyari, kampus tersebut merupakan salah satu mercusuar peradaban Islam yang terus bersinar kini. - (DOK PIXABAY)

Selarik Pengalaman dari al-Azhar

Ustaz Aang Asy’ari merupakan salah seorang kiai yang juga alumnus Universitas al-Azhar Kairo, Mesir. Mubaligh ini saat itu mengambil jurusan syariah Islamiyah atau hukum Islam. Dalam rentang waktu enam tahun, dirinya menuntut beragam ilmu dan pengalaman. Semua itu sangat berharga baginya untuk menjadi berkal berdakwah di Tanah Air.

Paling tidak, ada dua metode yang didapatkan Ustaz Aang dalam sistem pendidikan di al-Azhar. Pertama, Dirasah Hurrah, yaitu pengajian bebas dengan sistem halaqah. Salah satu pusatnya dilakukan di Masjid al-Azhar. Melalui sistem ini, ia mengaku, dirinya mendapatkan kesempatan untuk belajar kepada para guru besar al-Azhar.

“Dalam pengajian itu, kita (mahasiswa) bisa bertanya bebas. Ketika sudah tamat kita diberikan ijazah atau sanad yang menjelaskan mata rantai keilmuan dari sang guru sampai pengarang kitab,” ujar Ustaz Aang kepada Republika, baru-baru ini.

 
Ketika sudah tamat kita diberikan ijazah atau sanad yang menjelaskan mata rantai keilmuan dari sang guru sampai pengarang kitab
 
 

Adapun metode kedua ialah sistem kuliah di al-Azhar. Di kampus tertua se-Mesir tersebut, Ustaz Aang diajari berbagai mata kuliah dengan diktat pelbagai kitab turats. Di antaranya adalah al-Mahhali untuk fikih dan Qadhaya Mua’shirah untuk kajian isu-isi kontemporer.

“Di luar dua kegiatan tersebut kita juga sering mengikuti seminar-seminar baik yang diadakan oleh pihak Mesir maupun internal mahasiswa Indonesia,” ucapnya.

Menurutnya, Universitas al-Azhar merupakan sebuah mercusuar peradaban Islam yang reputasinya sudah mendunia. Dengan adanya sistem pendidikan yang mengakar tradisi sekaligus kontekstual, lanjut dia, telah lahir para pakar ulama dunia lulusan al-Azhar. Mereka kerap menjadi garda terdepan dalam menjaga kemurnian akidah Islam.

Maka, Ustaz Aang berharap, semoga dirinya dapat mengikuti jejak para guru dan alumni yang telah malang melintang berkiprah di jalan dakwah.

Ia mengenang, begitu pulang ke Tanah Air, Ustaz Aang kala itu merasa punya kewajiban moral untuk menyebarkan dan menguatkan prinsip-prinsip keilmuan yang diajarkan oleh al-Azhar di tengah masyarakat. Salah satu caranya ialah membangun pesantren, sekolah dan berkiprah pada ormas keagamaan serta Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Selain menjadi Direktur Aswaja Center Kuningan, Ustaz Aang kini juga menjadi pengasuh Pondok Pesantren Terpadu Al-Fattah Kuningan. Selain itu, dia juga dipercaya sebagai Sekretaris PCNU Kuningan, serta pimpinan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kuningan.

Dia menambahkan, Al-Azhar sendiri berakidah Asy’ariyah-Maturidiyah. Menurut dia, Al-Azhar memilih akidah Asyariyah dan Maturidiyah karena memiliki karakter keseimbangan dalam menggunakan akal dan wahyu. Menurut dia, akidah ini juga sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

“Maka siapapun yang merasa Azhari (alumni al-Azhar atau menisbatkan dirinya kepada al-Azhar), maka dalam bergamanya secara akidah bermazhab Asy’ariyah, bermazhab secara fikih serta bertasawuf dan selalu mengedepankan pendekatan wasatiyah dan mengutamakan adab serta sikap humanis,” kata Ustaz Aang.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat