Suasana gedung-gedung bertingkat yang diselimuti kabut polusi di Jakarta, Selasa (20/4/2021). Berdasarkan data IQAIR pada Selasa (20/4) pukul 11.54 WIB, DKI Jakarta menduduki peringkat keempat dengan kualitas udara terburuk di dunia. | Republika/Putra M. Akbar

Opini

Keruntuhan Ekologi

Karantina suatu kota, memungkinkan anasir alam beristirahat sejenak (relaksasi) dari kepenatannya.

HEFNI EFFENDI, Guru Besar Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, FPIK IPB University

Mewabahnya pandemi, barangkali merefleksikan telah muaknya alam terhadap kerakusan manusia dengan gaya hedonistik, dalam mengeksploitasi sumber daya dan jasa lingkungan, juga bisa sebagai indikasi awal keruntuhan ekologi.

Sejak 1972, ilmuwan mengingatkan keterbatasan alam dalam mengakomodasi nafsu mengejar pertumbuhan ekonomi dua digit. Buku The Limits to Grow menjadi tonggak awal pemodelan penggunaan sumber daya alam (SDA), yang mengindikasikan adanya keterbatasan.

Hari lingkungan hidup 5 Juni 2021, dapat dijadikan kontemplasi terhadap kemungkinan keruntuhan ekologi ini. Model berbasis pada lima variabel: populasi, produksi pangan, industrialisasi, polusi, dan konsumsi SDA tak terbarukan.

Semua variabel diasumsikan tumbuh eksponensial, yang melebihi carrying capacity berupa daya dukung dan daya tampung alam untuk menetralisasi eksternalitas.

 
Hari lingkungan hidup 5 Juni 2021, dapat dijadikan kontemplasi terhadap kemungkinan keruntuhan ekologi ini.
 
 

Dua skenario pemodelan ini memperlihatkan overshoot dan collapse sistem global pada pertengahan abad ke-21. Skenario ketiga menghasilkan tatanan alam yang stabil. Saat ini, posisi kita sudah di awal pertengahan abad ke-21.

Apakah kita terus terlena, kurang sungguh-sungguh mematahkan prediksi model tersebut? Buku Silence Spring oleh Rachel Carson (1962) berhasil mengenyahkan penggunaan pestisida DDT secara formal.

Lalu, buku Our Common Future yang dikenal sebagai Laporan Brundtland dipublikasi pada 1987, melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan. Menempatkan dinamika pemasalahan lingkungan sebagai arus utama dalam agenda politik.

Munculnya pandemi, kiranya bisa atau tidak dikaitkan dengan beratnya beban bumi mewadahi nafsu manusia. Pandemi bukan kali ini saja terjadi. “Black Death” di seluruh Eropa (1347 dan 1351) diperkirakan menewaskan 75 juta orang.

Tiga abad kemudian (1647 dan 1652), wabah pes melanda Spanyol, sekitar 76 ribu orang meninggal. Wabah di London (1665 – 1666) menewaskan 68.596 orang. Demam berdarah melanda Meksiko (1545 - 1548) dan membunuh sekitar lima juta penduduk asli.

 
Karantina suatu kota, memungkinkan anasir alam beristirahat sejenak (relaksasi) dari kepenatannya.
 
 

Epidemi kolera di Asia dan Eropa (1817-1824) menewaskan sekitar 1.500 orang. Epidemi tifus (1848) menewaskan 20 ribu orang, terutama imigran Irlandia yang ke Kanada untuk melarikan diri dari Great Irish Famine.

Sekitar tiga juta orang meninggal akibat tifus di Rusia (1922). Sekitar 35 juta orang meninggal karena AIDS sejak 1981. Sekitar 36,9 juta orang di dunia positif HIV pada 2014. Epidemi SARS, bermula di Hong Kong antara November 2002 dan Juli 2003, merenggut 922 nyawa

Lockdown, work from home, isolasi pasien, disinfeksi dibarengi tindakan medis menjadi upaya menghentikan wabah ini. Karantina suatu kota, memungkinkan anasir alam beristirahat sejenak (relaksasi) dari kepenatannya.

Paradoks terhadap lingkungan

Wabah saat ini dimulai Desember 2019 di Wuhan, Cina. Ketika karantina menarik kendaraan dari jalan, penduduk menikmati kembalinya langit biru di Wuhan yang biasanya dipenuhi kabut asap, tempat polusi udara menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Citra satelit yang ditangkap NASA menunjukkan, penurunan nitrogen dioksida (NO2) di atas Cina. Menurut NASA, efek ini karena perlambatan ekonomi konsekuensi dari wabah.

 
Bahkan, dengan asumsi lebih konservatif, nyawa yang diselamatkan karena pengurangan polusi kira-kira 20 kali lebih banyak dari jumlah nyawa, yang secara langsung hilang akibat virus.
 
 

Lauri Myllyvirta mengatakan, NO2 turun 35 persen di Cina selama penutupan dibandingkan periode sama pada 2019. Wabah bahkan berdampak pada kanal-kanal Venezia, yang menjadi sangat jernih karena pengurangan tajam kuantitas pariwisata.

Profesor Marshall Burke dari Universitas Stanford, memakai data emisi Cina, menghitung dampak pengurangan polusi pada kesehatan. Ia menemukan, dampak Covid-19 berpotensi menyelamatkan lebih banyak nyawa daripada membunuh! Kok, bisa menjadi paradoks?

Dengan menggunakan perkiraan He et al 2016, setelah dua bulan terjadi pengurangan 10 µg/m 3 debu PM2.5, kemungkinan telah menyelamatkan nyawa 4.000 anak di bawah lima tahun dan 73 ribu orang dewasa di atas 70 tahun.

Bahkan, dengan asumsi lebih konservatif, nyawa yang diselamatkan karena pengurangan polusi kira-kira 20 kali lebih banyak dari jumlah nyawa, yang secara langsung hilang akibat virus. Burke mengakui, keterbatasan metodenya yang hanya mempertimbangkan PM2.5.

Dia juga menyatakan, ‘’salah dan bodoh’’ menyiratkan pandemi baik bagi kesehatan sebab setiap manfaat untuk perubahan polusi udara tak memperhitungkan efek negatif gangguan sosial dan ekonomi, yang bisa melebihi manfaat kesehatan dari berkurangnya polusi.

 
Dalam konteks Indonesia pada masa pandemi ini, relaksasi ekonomi dipertimbangkan pemerintah.
NAMA TOKOH
 

Relaksasi regulasi lingkungan

Relaksasi UU lingkungan di AS merespons lobi American Petroleum Institute, yang meminta US EPA menangguhkan peraturan yang mengharuskan perbaikan peralatan bocor dan pemantauan polusi.

Perusahaan tidak disanksi jika bermasalah dengan ketentuan lingkungan selama pandemi (USA EPA Release, 26 Maret 2020).

Ruang lingkupnya terkait kepatuhan yang terhambat akibat kekurangan staf atau masalah lain karena pandemi, seperti ketidakmampuan melakukan pemantauan rutin atau mengirim sampel limbah ke laboratorium.

Dalam konteks Indonesia pada masa pandemi ini, relaksasi ekonomi dipertimbangkan pemerintah. Relaksasi pengelolaan lingkungan juga perlu diterapkan menjadi trade off bagi kalangan industriawan, yang telah memberikan relaksasi terhadap pekerjanya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat