Hanady mengaku kerap mendapatkan kekerasan fisik sebagai penjaga Masjid al-Aqsha. | Istimewa

Hiwar

Hanady Halawani, Penjaga Setia Masjid al-Aqsha

Hanady mengaku kerap mendapatkan kekerasan fisik sebagai penjaga Masjid al-Aqsha.

 

OLEH IMAS DAMAYANTI

Bagaimana mungkin seorang putri al-Quds tidak bisa memasuki tempat yang menjadi haknya sebagai umat beragama?

Bagi Muslim Palestina, Masjid al-Aqsha adalah kesucian, kehormatan, dan benteng sakral yang perlu dijaga. Tak terhitung kiranya ribuan syuhada yang gugur dalam memperjuangkan kebebasan masjid yang pernah dibebaskan Umar bin Khattab tersebut.

Begitulah kiranya Hanady Halawani memaknai Masjid al-Aqsha. Dunia sudah lumrah mengetahui bahwa akses umat Islam terhadap masjid sangat sulit akibat pendudukan penjajah Israel. Meski demikian, Hanady tak putus semangat ikut berjuang. Hanady mendedikasikan diri sebagai salah satu penjaga setia Masjid al-Aqsha.

Dilansir dari Aqsa Institute, Rabu (19/5), Hanady dikenal sebagai murabithah atau salah satu penjaga Masjid al-Aqsha. Meski berdomisili tak jauh dari kawasan Masjid al-Aqsha, dia tidak bisa mengakses jalan tersebut karena aturan sewenang-wenang yang diberlakukan Israel.

Rasa cinta Hanady terhadap Masjid al-Aqsha didasari dorongan spiritual. Dia pun yakin perlawanan dalam menjaga Masjid al-Aqsha adalah sebuah tindakan melawan pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap umat Islam. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dipertontonkan itu, kata dia, telah menyentuh garis merah.

 
Hanady bercerita bagaimana ia mengenal bangsanya melalui sejarah yang diceritakan dari generasi ke generasi.
 
 

Hanady bercerita bagaimana ia mengenal bangsanya melalui sejarah yang diceritakan dari generasi ke generasi. Sejak peristiwa Nakba 1948, warga Palestina justru menjadi pengungsi akibat semua proyek Zionis Israel yang menargetkan penguasaan terhadap kompleks Masjid al-Aqsha. Dari peristiwa itu, Hanady bertekad untuk menjadi penjaga setia al-Aqsha.

Banyak cara yang dilakukan bagi para murabithah untuk menjaga Masjid al-Aqsha. Ada yang menyalurkan fungsi diplomatik, perlawanan, kesehatan, ibadah, hingga pendidikan dalam membentengi al-Aqsha.

Sejak 2011 silam, Hanady memilih jalur pendidikan. Dia bekerja di sebuah organisasi Gerakan Islam Masjid al-Aqsha untuk menyalurkan bakti dan pengabdiannya. Organisasi yang menaungi Hanady itu berfokus pada program pendidikan guna menghidupkan kembali majelis ilmu yang terkonsentrasi dalam bidang agama Islam dan ilmu sosial.

“Kami mengajar para siswa berusia 18 tahun yang tidak mendapatkan kesempatan mengikuti ujian matrikulasi di universitas mereka,” kata Hanady.

Pada awalnya, program pendidikan di Masjid al-Aqsha diikuti oleh hanya 50 siswa perempuan. Pada 2015, pesertanya bertambah hingga mencapai 650 orang siswa laki-laki dan perempuan. Hanady menyebut, selama hampir satu dekade Masjid al-Aqsha telah menjadi bagian kegiatan sentral dari kehidupannya.

Muslimah satu ini bahkan rela menghabiskan hari Jumatnya untuk membawa anak-anak Muslim menghabiskan waktu dalam pendidikan di Masjid al-Aqsha. Dengan segala keterbatasan menerobos akses ke masjid tersebut, Hanady tak pantang menyerah dalam memperjuangkan idealismenya.

photo
Hanady mengaku kerap mendapatkan kekerasan fisik sebagai penjaga Masjid al-Aqsha. - (Istimewa)

Mimpi buruk

Bagaikan mimpi buruk yang tak kunjung usai,  penduduk Israel melarang gerakan Islam dan menutup program-program di dalam Masjid al-Aqsha pada 2015. Mereka bahkan tanpa malu menangkap dan menganiaya seluruh aktivis Masjid al-Aqsa. Hanady mengaku kerap mendapatkan kekerasan fisik akibat menyandang status sebagai murabithah.

Ia pernah ditampar, diusir, dan  ditangkap lebih dari 30 kali. Penyiksaan dan  kesewenang-wenangan Israel tak hanya dialami oleh Hanady. Suami dan anak sulungnya juga pernah dilarang untuk bepergian ke luar negeri. Sementara itu, rumah Hanady pernah digrebek oleh Israel tanpa alasan pasti hingga delapan kali.

Meski saat ini akses masuk ke Masjid al-Aqsha begitu sulit, ia bersama seluruh murabithah pantang menyerah. Ia pun mempertanyakan tentang keadilan yang perlu didapatkan setiap manusia dan pemeluk agama apa pun di muka bumi ini.

“Saya dilarang masuk Masjid al-Aqsha, meskipun dari jarak dekat untuk mendengar azan saja saya dilarang. Ramadhan dan Idul Fitri pun saya tak diperkenankan ke sana. Bagaimana mungkin seorang putri al-Quds tidak bisa memasuki tempat yang menjadi haknya sebagai umat beragama?” kata dia.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Hanady Halawani (hanady_halawani)

Profil

Nama lengkap: Hanady Halawani

Tempat dan asal lahir: Yerusalem, Palestina

Aktivitas: Murabithah di Gerakan Islam Masjid al-Aqsha

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat