Ilustrasi dakwah. Dahulu Abu Hanifah berdakwah di antaranya dengan membuat halaqah. | Republika/Putra M. Akbar

Khazanah

Cara Abu Hanifah Menghancurkan Kesombongan

Dakwah Abu Hanifah mudah diterima masyarakat luas hingga saat ini.

Semakin jauh dari masa Rasulullah SAW dan semakin luas daerah-daerah yang mengenal Islam, semakin luas pula perkembangan ilmu keislaman. Perkembangan di sini diartikan dalam hal yang positif bukan perkembangan yang keluar dari garis besar tuntunan Islam. 

Misalnya, dahulu di zaman Rasulullah dan sahabatnya, huruf-huruf Alquran ditulis dengan tanpa menggunakan harakat dan titik. Setelah orang-orang non-Arab mengenal Islam, penulisan huruf-huruf Alquran lebih disederhanakan dengan menambahkan titik pada huruf-huruf yang hampir sama, lalu di masa berikutnya ditambahkan harakat. Yang demikian dimaksudkan agar orang-orang non-Arab mudah membacanya.

Demikian juga dalam permasalahan agama secara umum. Para sahabat dimudahkan dalam memahami Islam karena mereka bisa bertanya langsung kepada Rasulullah SAW dan para tabi’in bisa bertanya kepada para sahabat. 

Adapun orang-orang setelah mereka, dengan penyebaran Islam yang luas, membutuhkan penyederhanaan yang lebih mudah dipahami oleh akal pikiran mereka. Orang pertama yang melakukan usaha besar menyederhanakan permasalahan ini adalah imam besar yang kita kenal dengan Imam Abu Hanifah rahimahullah. Ia menyusun kajian fikih dan mengembangkannya demi kemudahan umat Islam.

Sebagaimana orang-orang lebih mengenal Imam Syafii daripada nama aslinya, yaitu Muhammad bin Idris. Jarang juga orang yang tahu bahwa nama Imam Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Marzuban, kun-yahnya (nama panggilan) Abu Hanifah. Ia adalah putra dari keluarga Persia (bukan orang Arab). Asalnya dari Kota Kabul (sekarang ibu kota Afghanistan). Kakeknya, Marzuban, memeluk Islam di masa Umar bin Khattab, lalu hijrah dan menetap di Kufah.

Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada 699 M. Ayahnya, Tsabit, adalah seorang pebisnis yang sukses di Kota Kufah. Tidak heran kita mengenal Imam Abu Hanifah sebagai seorang pebisnis yang sukses pula mengikuti jejak sang ayah. 

Jadi, ia tumbuh di dalam keluarga yang saleh dan kaya. Di tengah tekanan peraturan represif yang diterapkan gubernur Irak Hajjaj bin Yusuf, Imam Abu Hanifah tetap menjalankan bisnisnya menjual sutra dan pakaian lain sambil mempelajari ilmu agama.

Sebagaimana kebiasaan orang-orang saleh lainnya, Abu Hanifah juga telah menghafal Alquran sedari kecil. Di masa remaja, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit mulai menekuni belajar agama dari ulama terkemuka di Kota Kufah. Ia sempat berjumpa dengan sembilan atau sepuluh sahabat Nabi, semisal Anas bin Malik, Sahal bin Sa’d, Jabir bin Abdullah, dan lainnya.

Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke kota Nabi, Madinah al-Munawwarah. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yang merupakan alim terbaik di Kota Makkah.

Imam Abu Hanifah pernah berguru kepada 4.000 orang. Di antaranya 7 orang dari sahabat Nabi, 93 orang dari kalangan tabi’in, dan sisanya dari kalangan tabi’ ut-tabi’in. Jumlah guru yang demikian banyak tidaklah membuat kita heran karena ia banyak menempuh perjalanan dan berkunjung ke berbagai kota demi memperoleh ilmu agama.

Ia menunaikan haji 55 kali. Pada musim haji, para ulama berkumpul di Masjidil Haram menunaikan haji atau untuk berdakwah kepada kaum Muslimin yang datang dari berbagai penjuru negeri.

Memerangi kesombongan

Sejawaran asal Mesir syekh Ali Thantowi suatu ketika pernah bercerita bahwa ada salah seorang ulama berada di Masjid Rushafah hendak memamerkan kemampuan intelektualnya. Dengan sombongnya ia berkoar di hadapan para hadirin, “Aku siap menjawab pertanyaan sesulit apa pun dari kalian!” 

Tanpa ia sadari bahwa di antara hadirin yang ia tantang untuk mengajukan pertanyaan terdapat seorang alim pendiri madzhab Hanafi, Abu Hanifah. Seorang ulama yang jauh lebih alim dan rendah hati.

Sejurus kemudian Abu Hanifah mengacungkan jari tangannya untuk mengajukan pertanyaan kepada ulama yang terbujuk itu. “Apa pertanyaanmu?” tantang orang yang mengaku alim tersebut.

Abu Hanifah kemudian menyampaikan pertanyaan, “Semut yang berbicara dengan Nabi Sulaiman AS itu laki-laki apa perempuan?”

 
Abu Hanifah kemudian menyampaikan pertanyaan, “Semut yang berbicara dengan Nabi Sulaiman AS itu laki-laki apa perempuan?”
 
 

Mendengar pertanyaan Abu Hanifah yang sederhana, tapi sulit dijawab tersebut, orang sok alim tadi tidak bisa menjawab. Ia merasa malu dan hanya dapat menundukkan kepala.

Karena tidak mampu menjawabnya, Abu Hanifah menjawab pertanyaannya sendiri, “Sesungguhnya semut tersebut berjenis kelamin perempuan”

Pria yang mengaku alim tersebut penasaran dengan jawaban Abu Hanifah. Lantas ia menanyakan dalilnya kepada Abu Hanifah.

Dengan sigap dan cekatan Abu Hanifah menjelaskan bahwa dalam surah an-Naml ayat 18) fiil-nya kata namlah berupa shighat muannats (qalat) yang menunjukkan bahwa semut yang berbincang dengan Nabi Sulaiman adalah perempuan.

Setelah memberi jawaban sekaligus penjelasan dalilnya, Abu Hanifah memberi nasihat kepada orang tersebut. “Sebenarnya saya tidak ingin bertanya kepadamu. Aku lebih suka untuk mengatakan kepadamu, 'Janganlah kau terbujuk dengan kelebihan yang kau miliki'."

photo
Umat Islam menanti waktu berbuka puasa dengan takjil yang dibagikan warga Madinah di Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi, Selasa (7/5/2019). Tradisi warga Madinah berlomba-lomba membagikan berbagai macam jenis takjil kepada sekitar 500 ribu jamaah dari berbagai negara yang berbuka puasa di Masjid Nabawi itu sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT - (ANTARA FOTO)

Imam Abu Hanifah juga menciptakan suatu metode dalam berijtihad dengan cara melemparkan permasalahan dalam suatu forum. Kemudian ia mengungkapkan pendapat beserta argumentasinya. Imam Abu Hanifah akan membela pendapatnya di forum itu dengan menggunakan dalil Alquran dan sunnah ataupun dengan logikanya. 

Diskusi bisa berlangsung seharian dalam menuntaskan suatu permasalahan. Inilah metode Imam Abu Hanifah yang sangat mengoptimalkan logika. Metode ini dianggap sangat efektif untuk merangsang logika para murid Imam Abu Hanifah sehingga mereka terbiasa berijtihad. Para murid juga melihat begitu cerdasnya Imam Abu Hanifah dan keutamaan ilmunya. 

Dari majlis keilmuan Abu Hanifah lahirlah ulama besar semisal Abu Yusuf, Muhammad asy-Syaibani, az-Zuffar. Majelisnya menjadi perkumpulan ilmu fikih yang dikenal dengan Madzhab Hanafi dan membuat sebuah kitab yang istimewa, al-Fiqh al-Akbar.

Dakwah yang menyentuh hati

Sejarawan lainnya, Khatib al-Baghdadi pernah bercerita tentang Abu Hanifah. Saat masih di Kuffah, Abu Hanifah memiliki tetangga seorang pemuda tukang sepatu. Pemuda itu bekerja sepanjang hari. Malam harinya ia baru pulang ke rumah. Dari tempat kerjanya, terkadang ia membawa daging untuk dimasak. Kadang pula ikan yang dibawa untuk dipanggang.

Sayangnya, ia ternyata seorang pemabuk. Sampai-sampai ketika sedang mabuk-mabuknya, tak terasa ia sering mengoceh dengan suara keras. “Mereka menelantarkanku, tidak tahukah siapa yang mereka sia-siakan. Dialah pemuda yang selalu berjaga di perbatasan di hari-hari yang mencekam.”

Ketika mabuk, kata-kata tersebut diulangnya terus menerus sambil minum. Ia tidak sadar bahwa Abu Hanifah tiap hari mendengarkan dan memperhatikan tingkah pemuda ini.

Suatu ketika di saat Abu Hanifah menyelesaikan shalat malamnya, suara lanturan pemuda itu tak lagi terdengar. Ia pun bergegas mencari tahu keberadaan pemuda mabuk itu.

Di tengah jalan, ada yang memberi tahu bahwa si pemuda telah diciduk petugas keamanan beberapa malam yang lalu untuk dijebloskan ke penjara. Syariat Islam berlaku bahwa seorang pemabuk akan dikenai hukuman.

 
Maka esok harinya setelah menyelesaikan shalat Subuh, Abu Hanifah naik ke atas keledainya untuk menemui Amirul Mukminin.
 
 

Maka esok harinya setelah menyelesaikan shalat Subuh, Abu Hanifah naik ke atas keledainya untuk menemui Amirul Mukminin. Saat bertemu dengan Amir, Abu Hanifah ditanya, “Ada apa engkau ke sini wahai imam?”

Abu Hanifah menjawab, “Begini Amir, aku punya tetangga tukang sepatu. Ia diciduk oleh petugas keamanan sejak beberapa hari lalu. Aku bermaksud memintamu untuk membebaskannya.”

Karena diminta oleh seorang alim terpercaya, Amir pun mengabulkannya. Tukang sepatu itu akhirnya dibebaskan.

Dalam perjalanan pulang Abu Hanifah masih naik keledainya. Sedangkan pemuda itu ikut berjalan di belakangnya. Setelah sampai rumah, Abu Hanifah bertanya penuh selidik kepadanya, “Eh nak, memangnya kita menelantarkanmu, ya?”

“Emmm… Enggak, justru kamu menjaga dan memperhatikanku,” jawabnya sambil tersenyum malu. “Terima kasih sudah menjadi tetangga yang baik, ya,” ujarnya. Setelah kejadian tersebut, pemuda itu pun bertobat. Ia tak lagi mabuk-mabukan seperti dulu lagi.

Imam Abu Hanifah juga beberapa kali ditawari untuk memegang jabatan menjadi seorang hakim di Kufah, tapi tawaran tersebut senantiasa ia tolak. Hal inilah di antara yang menyebabkannya dipenjara oleh otoritas Umayyah dan Abbasiyah.

photo
Masjid Agung Kufah di Irak - (DOK Wikipedia)

Wafatnya

Imam Abu Hanifah wafat di Kota Baghdad pada tahun 150 H/767 M. Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Enam kelompok besar penduduk Baghdad menshalatkan jenazahnya secara bergantian. Hal itu dikarenakan banyaknya orang yang hendak menshalatkan jenazahnya.”

Di masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad yang dirancang oleh Mimar Sinan didedikasikan untuknya. Masjid tersebut dinamai Masjid Imam Abu Hanifah.

Sepeninggalnya, madzhab fikihnya tidak redup dan terus dipakai oleh umat Islam, bahkan menjadi mazhab resmi beberapa kerajaan Islam seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki Utsmani. Saat ini madzhabnya banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir, dan India.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat