Warga Palestina menyelamatkan diri dari tembakan gas air mata oleh militer Israel di depan Masjid Kubah Batu di Kompleks Masjid al-Aqsha, di Yerusalem, Senin (10/5/2021). | AP

Opini

Solidaritas Milenial untuk Palestina

Solidaritas dunia di era milenial sangat penting. Tidak hanya hak kemerdekaan warga Palestina yang terampas, melainkan juga hak demokrasi.

HIDAYAT NUR WAHIDWakil Ketua MPR RI

Para pendiri bangsa Indonesia berorientasi jauh ke depan. Saat hendak memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, tidak hanya berpikir tentang kemerdekaan bangsa sendiri, tetapi juga berempati dengan bangsa terjajah (oppressed people) di seluruh dunia.

Karena itu, diktum utama dalam Pembukaan UUD NRI 1945: “Bahwa kemerdekaan itu hak segala bangsa, dan oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.” Nyata dan tegas.  

Indonesia tidak ingin merdeka sendirian, sebab kawasan yang dihuni bangsa-bangsa terjajah akan mengalami ketidakstabilan, sehingga mustahil terwujud kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Indonesia merdeka tidak bersemangat ekspansi, tapi menghormati kedaulatan setiap negara dan sungguh merasakan penderitaan akibat ambisi negara asing.

Bukan berarti, kita tak memiliki kemampuan memperluas pengaruh karena sejarah telah membuktikan kerajaan-kerajaan besar di wilayah Nusantara: Sriwijaya (670-1025), Majapahit (1293-1309) hingga Aceh Darussalam (1496-1903) yang batas wilayahnya melampaui Republik Indonesia modern.

Indonesia merdeka dengan kwarta-tujuan terpadu, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Tujuan bernegara itu membentuk karakter bangsa (nation and character building) yang nasionalis, populis, transformatif, dan kosmopolitan. Dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, para pendiri bangsa mencitakan Indonesia pelopor ketertiban dunia (world order) sebagai refleksi atas kekacauan Perang Dunia I dan II.

 
Tujuan bernegara itu membentuk karakter bangsa (nation and character building) yang nasionalis, populis, transformatif, dan kosmopolitan. 
 
 

Kesadaran sejarah itu terpatri dalam jiwa dan pikiran mayoritas rakyat Indonesia, ketika menyaksikan tragedi yang menimpa rakyat Palestina di pengujung Ramadhan. Palestina adalah bangsa tertindas di milennium ketiga.

Ketika bangsa-bangsa di dunia bersepakat soal capaian tujuan bersama pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals), rakyat Palestina belum terpenuhi kebutuhannya paling fundamental: kebebasan. Dunia mestinya malu, terutama negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) karena dunia yang mereka kelola tidak berdaya menghadapi rezim Israel pelanggar hak asasi manusia yang menjadi dasar deklarasi universal PBB.

Pendiri bangsa Indonesia berinisiatif  menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung yang dihadiri pimpinan negara-negara di Asia-Afrika. Salah satu agendanya adalah memperjuangkan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika.

Sejumlah negara yang menentang imperialisme saat ini sudah bebas dan merdeka, tapi tidak untuk Palestina. Sejak awal Indonesia menolak penjajahan Israel atas Palestina dan tegas mendukung kemerdekaan Palestina. Hal itu dibuktikan ketika Presiden Sukarno tidak mengundang Israel ke Bandung, tapi mengundang Mufti dan Imam Masjid al-Aqsha, yaitu Sayid Amin al-Hussaini.

 
Presiden Sukarno tidak mengundang Israel ke Bandung, tapi mengundang Mufti dan Imam Masjid al-Aqsha, yaitu Sayid Amin al-Hussaini.
 
 

Tragedi Palestina juga menyadarkan negeri-negeri Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), betapa masih jauh dari cita-cita berdirinya OKI. Yakni meningkatkan solidaritas Islam di antara negara anggota, mengoordinasikan kerja sama antarnegara anggota, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam dan membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. 

Bila anggota PBB menyepakati agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs), maka anggota OKI ditambah dengan kesepakatan millennial, yakni kebebasan dan kemerdekaan bagi bangsa-bangsa tertindas. Inilah yang membuat kehadiran OKI senantiasa relevan sejak berdiri 25 September 1969.

Pendirian OKI dilatarbelakangi aksi pembakaran Masjid Suci al-Aqsha pada 21 Agustus 1969 oleh Zionis Israel. Tragedi itu terulang kembali dan akan terus terjadi, apabila tidak ada tindakan tegas dari PBB dan persatuan OKI hanya di majelis wacana. Harus ada tindakan konkret menghentikan dan menggentarkan agresi brutal Israel.

Tragedi terkini di Masjid al-Aqsha terjadi ketika umat Islam sedang menyambut malam Lailatul Qadar (7/5/2021) di sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Tercatat 220 orang terluka akibat serangan ekstremis Zionis.

Pada malam kedua, tatkala kaum Muslimin sedang shalat Tarawih, serbuan ekstremis yang dibeking tentara Israel menyebabkan 121 warga terluka. Faktor pemicu utama adalah pemukim ilegal Zionis hendak mengusir 28 keluarga Muslim yang masih tersisa di kampung di Syaikh Jarrah, Yerusalem Timur. Putusan pengadilan mendukung klaim pemukim Zionis dan membangkitkan kemarahan seluruh rakyat Palestina.

Sambil menunggu putusan Mahkamah Agung yang tertunda, ekstremis Zionis mempersiapkan perayaan Hari Yerusalem (10/5), tatkala wilayah Palestina dirampas pada Perang Enam Hari 1967. Seruan Paus Franciscus bersama pemimpin dunia lain untuk menghentikan kekerasan, tak digubris rezim Benjamin Netanyahu yang membiarkan polisi Israel bertindak semakin brutal.

 
Bila umat Islam sering dituduh mendorong bangkitnya politik identitas, maka rezim Zionis terang-terangan mempolitisasi identitas Yahudi dan melakukan politik apartheid
 
 

Mengapa Netanyahu mengabaikan seruan pemimpin-pemimpin dunia? Karena dia memiliki agenda politik tersendiri untuk menjaga stabilitas pemerintahan yang goyah pasca pemilihan umum Maret lalu yang tidak menghasilkan pemenang mayoritas. Kemungkinan pemilu ulang akan digelar, sehingga Netanyahu dari koalisi partai sayap kanan Likud memanfaatkan sentimen anti-Islam dan pro permukiman liar Zionis.

Bila umat Islam sering dituduh mendorong bangkitnya politik identitas, maka rezim Zionis terang-terangan mempolitisasi identitas Yahudi dan melakukan politik apartheid (diskriminasi rasial/agama). Inilah contoh paling banal dari tokoh penentang nilai-nilai demokrasi dan humanisme universal.

Pengurus wakaf Muslim dan urusan Masjid al-Aqsha, Najeh Bkerat, menjelaskan pasukan penjajah Israel gagal mengosongkan kompleks al-Aqsha. Setiap tahun mereka melakukan invasi serupa, tapi kali ini menjadi titik balik.

Dukungan pemuda milenial (Syabab al-Aqsha) untuk menjaga masjid al-Aqsha, selain ibu-ibu penjaga masjid (murabbithah). Mereka bergiliran menjaga dan membersihkan masjid di sela-sela waktu belajar, membantu persiapan sahur dan berbuka puasa untuk para jamaah yang datang bergelombang (Aljazirah, 10/2/2021). Semangat rakyat Palestina mengingatkan kita pada pertahanan rakyat semesta yang dilakukan Indonesia pada awal kemerdekaan.

Bulan Sabit Merah Palestina melaporkan, 612 warga terluka selama bentrokan di kompleks Masjid al-Aqsha, dengan kondisi cukup parah. Bersamaan dengan itu, terjadi ketegangan baru di Jalur Gaza, Israel menyerang basis pertahanan Hamas dengan roket dan menewaskan 30 warga sipil dan 9 orang di antaranya adalah anak-anak. Korban luka lebih dari 100 warga.

Dengan persenjataan seadanya, Brigade al-Qassam sebagai sayap militer Hamas menembakkan ratusan roket ke Tel Aviv dan Ashkelon. Rakyat Israel merasakan ketakutan yang tiap hari diderita rakyat Palestina. Serangan balasan dilakukan Hamas setelah memberikan ultimatum kepada penjajah Israel untuk menghentikan agresi di Masjid al-Aqsha dan Yerusalem Timur, tapi diabaikan.

Pemerintahan Otoritas Palestina menyatakan protes keras terhadap serangan Israel dan mengumumkan penundaan pemilu Palestina yang rencana berlangsung pada 22 Mei 2021. Penundaan pemilu sudah terprediksi karena penjajah Zionis tidak mengizinkan warga Arab di Yerusalem berpartisipasi dalam pemilu Palestina.

 
Bila sayap militer Fatah di Tepi Barat dan milisi Hizbullah ikut melawan agresi militer Israel, peta pertarungan bisa berbeda.
 
 

Bila sayap militer Fatah di Tepi Barat dan milisi Hizbullah ikut melawan agresi militer Israel, peta pertarungan bisa berbeda. Mitos kekuatan militer Israel, termasuk iron dome, telah terpatahkan.

Solidaritas dunia di era milenial sangat penting. Tidak hanya hak kemerdekaan warga Palestina yang terampas, melainkan juga hak demokrasi, hidup damai, kepemilikan rumah dan tanah, serta kebebasan beribadah. Kemerdekaan Palestina harus diikuti dengan penarikan mundur Israel dari tanah yang didudukinya sejak Perang 1948 dan 1967.

Hal itu sejalan dengan diktum Pembukaan UUD NRI, bahwa ketertiban dunia akan terwujud bila berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi sebagai solusi permanen dan keadilan bagi semua bangsa.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat