Guru memberikan beras kemasan kepada anak yatim saat penyaluran zakat fitrah di SDN Lawangan Daya 2, Pamekasan, Jawa Timur, Kamis (6/5/2021). | SAIFUL BAHRI/ANTARA FOTO

Opini

Progresivitas Zakat

Asas progresivitas yang merupakan semangat umum ekonomi Islam, yaitu keadilan, terpenuhi.

BAMBANG SETIAJI, Rektor Universitas Muhammadiyah Kaltim

Zakat seperti pajak, semula adalah pungutan dari Nabi SAW dan dilanjutkan para khalifah kepada penduduk Madinah dan wilayah lain yang konversi ke dalam wilayah Madinah.

Perintah kitab suci, ambillah zakat yang bersifat wajib dan memaksa, lalu bagikan untuk asnaf yang sudah ditentukan. Zakat adalah instrumen fiskal pada waktu itu untuk mencapai keadilan yang lebih cepat dirasakan.

Saat pandemi ini negara membagi anggaran bersumber dari fiskal kepada kelompok ekonomi bawah. Struktur fiskal masa pandemi ini seperti pada masa Islam dalam keadaan normal karena mayoritas sebagai dana keadilan dan SDM.

Keadilan adalah inti misi ekonomi Islam. Disebutnya, fakir dan miskin sebagai penerima zakat yang pertama dan dari delapan asnaf juga banyak ditekankan pada SDM, maka Islam bisa disebut menganut negara kesejahteraan.

 
Keadilan adalah inti misi ekonomi Islam.
 
 

Sebagai instrumen fiskal, zakat atau semua pungutan yang baik haruslah bersifat progresif, semakin kaya persentase pungutan makin tinggi. Dalam struktur tarif pajak kita misalnya, ada 5 persen, 15 persen, dan 25 persen.

Zakat juga demikian, ada angka 2,5 persen, 5 persen, 10 persen, 20 persen. Namun, ada sedikit misinterpretasi dalam tarif zakat yang berlaku sekarang.

Salah satu yang teramati, tarif zakat profesi 2,5 persen, sedangkan zakat petani 5 persen jika perlu usaha keras (pengairan, pemupukan, perawatan) dan 10 persen untuk tanaman keras yang relatif tak memerlukan usaha besar, katakanlah hanya menunggu.

Di sektor pertanian berlaku progresivitas, dari sisi penawaran. Ada hal baru yang diperkenalkan, yaitu tingkat kesulitan memproduksi. Progresivitas dalam perpajakan adalah sisi konsumsi, berdasar besarnya perolehan. Makin kaya pajak makin tinggi.

Tarif zakat yang dirasa kurang mengandung progresivitas adalah tarif zakat para profesional. Dokter rata-rata pendapatannya lebih tinggi daripada petani yang umumnya mengerjakan tanah yang kecil saja.

 
Tarif zakat yang dirasa kurang mengandung progresivitas adalah tarif zakat para profesional.
 
 

Dokter memperoleh tarif 2,5 persen zakat profesi, misalnya sesuai keputusan tarjih Muhammadiyah. Di sini, ada regresivitas, yang lebih enak memperolehnya dan lebih besar rata-rata perolehannya tarif lebih kecil daripada petani yang dikenai minimal 5 persen.

Para profesional bisa mengambil contoh petani, minimal hendaknya menyisihkan 5 persen dari gross income atau bagi yang bekerjaanya lebih enak menyisihkan 10 persen.

Tarif 2,5 persen sebenarnya zakat aset produktif dan nonproduktif, dalam hal ini emas. Aset dinilai setiap tahun atau haul, hendaknya dibuat neraca aset.

Contoh, pada 2020 aset produktif Rp 5 miliar, di luar rumah dan kendaraan yang dipakai, berupa deposito, obligasi pemerintah dan nonpemerintah, saham di perusahaan dan dari bursa, rumah dikontrakkan, dikenai zakat 2,5 persen atau Rp 125 juta.

Dana ini bermakna, mungkin bisa memberi satu RT yang miskin masing-masing Rp 5 juta. Modal Rp 5 juta cukup untuk memulai usaha mikro. Maka banyak pertumbuhan kewirausahaan, pengangguran turun, dan kehidupan masyarakat lebih baik.

Contoh lebih lanjut, pada 2021 aset menjadi Rp 6 miliar, jika dilihat dari net income hanya naik Rp 1 miliar, tetapi dari sisi aset naik menjadi Rp 6 miliar, maka zakatnya Rp 150 juta.

Jika dari sisi income tambahan hanya Rp 1 miliar dan dikenai Rp 150 juta sebenarnya nilainya 15 persen, lebih tinggi dari petani tanaman keras sebesar 10 persen. Di sini asas progresivitas masih terjadi.

Dengan demikian, zakat 2,5 persen karena diturunkan dari nilai aset, jika dikonversi ke pendapatan atau perolehan satu tahun, sebenarnya 15 persen. Lebih tinggi dari tarif petani.

Rupanya terjadi kerancuan antara aset dan income, antara stok dan aliran. Aset adalah stok, katakanlah ember tampungan dan income adalah aliran katakanlah debit dari keran. Tarif 2,5 persen mestinya dikenakan dari ember tampungan, bukan debit aliran keran.

Dengan interpretasi semacam ini, asas progresivitas yang merupakan semangat umum ekonomi Islam, yaitu keadilan, terpenuhi.

Cendekiawan Muslim, Yusuf Al Qardawi memberi contoh menarik, misalnya seseorang memiliki rumah indekos, nilainya misalnya Rp 5 miliar, maka sebagai aset produktif harus membayar zakat 2,5 persen atau Rp 125 juta.

 
Dengan interpretasi semacam ini, asas progresivitas yang merupakan semangat umum ekonomi Islam, yaitu keadilan, terpenuhi.
 
 

Ini sangat memberatkan karena hasil dari sewa indekos sering kali kurang dari Rp 125 juta. Jalan pemecahan Qardawi sangat menarik, yaitu dizakati 5 atau 10 persen seperti petani dari perolehan sewa. Misalnya harga sewa 100 juta setahun, dizakati 5 atau 10 juta saja. Maka itu, pemilik aset masih bisa menikmati hasilnya. Saat aset itu dijual dikenai zakat lagi, misalnya aset laku Rp 5 miliar, dulu harga belinya hanya Rp 1 miliar  berarti ada tambahan pendapatan Rp 4 miliar.

Maka itu, dikenai lagi 5 atau 10 persen atau senilai Rp 200 juta hingga Rp 400 juta sebagai zakat atas pendapatan untuk menutup kekurangan zakat aset selama ini, yang mungkin memberatkan karena hasil indekos kurang dari 2,5 persen nilai aset.

Dengan pemecahan seperti itu, asas progresivitas yang merupakan semangat ekonomi Islam akan terpenuhi dan demikian juga kesulitan pembayaran pemilik aset. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat