Siswa sekolah Madrasah Ibtidaiyah Pasawahan mencari jaringan frekuensi radio Handy Talky di Dusun Ciakar, Desa Pasawahan, Kecamatan Banjaranyar Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. | ANTARA FOTO/ADENG BUSTOMI

Opini

Saatnya Merdeka Belajar

Merdeka belajar juga dipahami sebagai kebebasan mempelajari banyak hal.

KHOFIFAH INDAR PARAWANSA, Gubernur Jawa Timur 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sudah menetapkan tema peringatan Hardiknas 2021. Yakni, “Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar”. Tema yang menjadi semangat membentuk sumber daya manusia unggulan di Indonesia.

Tentu untuk mewujudkan merdeka belajar harus diawali strategi yang tepat. Dengan begitu, pencapaian program itu sesuai dan terukur. Merdeka belajar merupakan kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Esensinya kemerdekaan berpikir. Cakupannya luas. Tidak hanya pada metode belajar. Nuansa belajar turut menjadi perhatian pada program tersebut. Belajar tidak hanya berada di dalam kelas. Belajar bisa dari luar kelas. Yang penting nyaman.

Karakter siswa bisa terbentuk berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, sopan, dan berkompetensi. Bisa jadi filosofi ini sudah teraplikasi tanpa disengaja. Pandemi Covid-19 menuntut siswa melaksanakan pembelajaran jarak jauh. Mereka tidak berada di satu tempat.

 

 
Esensinya kemerdekaan berpikir. Cakupannya luas. Tidak hanya pada metode belajar. Nuansa belajar turut menjadi perhatian pada program tersebut.
 
 

Pembelajaran bisa dilakukan di mana saja. Sarana dan prasarana yang digunakan juga beragam. Memang, banyak catatan pada penerapan pembelajaran model ini, seperti keluhan dari orang tua.

Siswa yang mulai gerah dan ingin segera berkumpul dengan teman-temannya, serta beragam pendapat  muncul sebagai reaksi atas kebijakan pembelajaran jarak jauh. Namun, itu merupakan sebuah kewajaran.

Metode pembelajaran jarak jauh muncul bukan disiapkan, melainkan respons atas pandemi. Keluhan dan catatan ada karena kebijakan ini diterapkan secara spontan sebelum mempertimbangkan banyak hal. Namun, perlahan kebijakan ini sudah membumi pada masyarakat.

Baik orang tua, siswa, maupun guru akhirnya bisa beradaptasi. Ada sistem baru yang terbentuk secara tanpa disengaja. Sistem itu dianggap mampu menjembatani pelaksanaan merdeka belajar tidak di satu tempat tertutup.

Merdeka belajar juga dipahami sebagai kebebasan mempelajari banyak hal. Sektor yang dipelajari siswa bukan hanya mata pelajaran baku. Mereka berhak tahu dan mempelajari semua informasi sebagai dampak perkembangan ilmu pengetahuan.

 

 
Merdeka belajar juga dipahami sebagai kebebasan mempelajari banyak hal.
 
 

Medeka belajar dalam arti ini juga perlu persiapan matang. Pada penerapannya, siswa dituntut survive. Mereka yang suka mempelajari banyak hal, akan unggul. Sebaliknya, siswa yang kerap terjebak pada rutinitas, bisa tertinggal.

Mereka hanya mempelajari silabus baku yang disampaikan guru. Informasi lain yang tidak terkait silabus, dianggap tidak penting. Konsep medeka belajar mempelajari banyak hal pun bisa terwujud tidak sempurna.

Ada tiga hal yang bisa ditekankan agar merdeka dalam mempelajari segala hal itu terealisasi dengan baik. Yakni, membudidayakan pola listening society, reading society, dan writing society. Tiga pola ini menguatkan kompetensi siswa dalam memahami banyak hal.

Saat ini, beragam informasi menyebar melalui media sosial (medsos). Seseorang tahu sesuau pertama kali dari medsos. Bukan pada buku atau literatur pustaka yang ada di perpustakaan. Fenomena ini dampak disrupsi sistem informasi.

Siswa mengetahui banyak hal dari mendengar. Pola tersebut belum tentu negatif. Sebaliknya, kebiasaan mendengar atau listening society itu penting. Sepatutnya, siswa memasang telinga menyerap semua informasi di sekitarnya. 

 
Siswa mengetahui banyak hal dari mendengar. Pola tersebut belum tentu negatif. Sebaliknya, kebiasaan mendengar atau listening society itu penting.
 
 

Informasi tersebut tidak bisa langsung dikonsumsi. Butuh filter. Reading society adalah filternya. Siswa mendengar lalu mencari kebenaran informasi melalui literatur pustaka. Dengan begitu, siswa paham tentang kebenaran informasi tersebut.

Bahkan, siswa akan memahami hal baru. Dia juga bisa menilai, apakah informasi yang dia serap itu masuk kategori positif atau negatif. Apakah informasi itu layak dibagikan ke orang lain atau tidak.

Pola merdeka belajar dalam segala hal mulai tampak. Namun, dua pola itu belum cukup. Masih ada writing society. Mendengar dan membaca, tanpa menulis tidak ada artinya. Kemampuan seseorang akan dilihat ketika bisa mengutarakannya.

Cara mengutarakannya tidak selalu dalam bentuk verbal. Bisa, dalam bentuk tulisan. Fungsi writing society sangat penting. Siswa mendengar informasi, lalu menelaah dengan membaca berbagai literatur. Hasil dari penelaahan itu diwujudkan dalam bentuk tulisan.

Selanjutnya, tulisan itu menjadi informasi baru bagi pembacanya. Tidak menutup kemungkinan, tulisan tersebut menjadi literatur rujukan yang dikonsumsi banyak orang.

Tiga pola ini bisa diterapkan pada semua disiplin ilmu. Termasuk dalam mengembangkan satu keilmuan. Tiga pola ini menjadi kunci agar output merdeka belajar dalam segala hal maksimal. 

Bidang ilmu yang diserap dan ditelaah tidak hanya yang terangkum pada silabus sekolah.

Siswa bisa menyerap dan menelaah informasi di luar silabus yang diberikan sekolah. Mereka semakin banyak tahu. Wawasan mereka juga semakin luas. Otomatis, kualitas sumber daya siswa tersebut patut menjadi andalan.

Hari Pendidikan Nasional merupakan momentum untuk membudidayakan tiga pola tersebut. Listening society, reading society, dan writing society sebagai arah menuju kemerdekaan belajar dalam segala hal.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat