Petani mengangkut gabah hasil panen di Samahani, Aceh Besar, Aceh, Senin (29/3/2021). | ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Opini

Negara Kesejahteraan

Sistem politik liberal dan transaksional berdampak pada ketimpangan ekonomi.

DIDIN S DAMANHURI, Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB

Pembahasan tentang negara kesejahteraan (welfare state) dalam kepustakaan ilmu ekonomi politik adalah salah satu “narasi besar” yang menjelaskan sebuah negara yang mengambil peran penting dalam menyejahterakan ekonomi dan sosial warganya.

Salah satu cirinya, negara tersebut di satu pihak menetapkan pajak progresif (makin tinggi pendapatan makin tinggi pajaknya secara progresif), di lain pihak mendistribusikannya dalam bentuk jaminan sosial yang efisien dan  efektif.

Ini tecermin pada struktur sosial ekonomi yang lebih merata, seperti dibayangkan pendiri sistem ekonomi sosialisme demokrat Jean-Jacques Rousseau dari Prancis, dalam Le Discourras sur l’Origine et les Fondaments de l’inegalite parmi les Hommes (1755).

Negara kesejahteraan, istilah dari gerakan dan peran partai yang memperjuangkan sistem sosialisme demokrat. Disebut demokrat karena menurut pemikir besarnya, Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865), dia menolak revolusi kekerasan yang dianut sosialis komunis.

 

 
Negara kesejahteraan, istilah dari gerakan dan peran partai yang memperjuangkan sistem sosialisme demokrat. 
 
 

Namun, memperjuangkannya secara gradual lewat pemenangan dalam pemilu dan mentransformasikan gagasannya ketika  memerintah. Setelah mengalami evolusi sekitar 2,5 abad, struktur sosial ekonomi egaliter yang diperjuangkannya mulai terwujud. 

Terutama di negara Skandinavia, yaitu Swedia, Denmark, Finlandia, Norwegia, dan Islandia serta negara Eropa Barat, seperti Prancis, Jerman, Belgia, dan Belanda. Negara Skandinavia sekarang ini memimpin di hampir segala indeks pokok dunia.

Selain itu, ada mekanisme pasar yang sehat dengan serikat buruh kuat, gerakan koperasi yang aktif, produktif dan masif, sistem jaminan sosial menyeluruh untuk penduduk, masyarakat madani yang berperan aktif dalam ekonomi, sosial, dan politik.

Jalan ala Asia

Yang menarik, saat penulis meriset 70 negara mencakup seluruh negara maju dan beberapa negara berkembang (Damanhuri, 1996). Hasilnya menunjukkan, kemerataan dan 40 persen penduduk terbawah paling sejahtera tak hanya dicapai Swedia, tapi juga Jepang.

Dalam buku penulis, Ekonomi Politik dan Pembangunan (2010, 2014), Jepang dan negara Asia lain yang sukses lebih merupakan “sistem tersendiri yang menyempal” karena berbeda dengan liberalisme, sosialisme demokrat, apalagi komunis.

 

 
Jepang dan negara Asia lain yang sukses lebih merupakan “sistem tersendiri yang menyempal” karena berbeda dengan liberalisme, sosialisme demokrat, apalagi komunis.
 
 

Cirinya, negara aktif dan mekanisme pasar sehat, isu kesejahteraan buruh diselesaikan lewat dialog pemilik modal-manajemen dengan buruh. Kesejahteraan ekonomi rakyat terjaring dalam kemitraan luas dalam perspektif Japan Incorporated.

Lebih fundamental lagi, Barat yang termasuk negara kesejahteraan, konstruksi sosialnya berbasis sekularisme, meminggirkan peran agama. Jepang dan model Asia lainnya, agama tetap hidup malahan memberi dasar dalam format kegiatan sosial-ekonominya.

Dalam model makro ekonomi dan politik pun, lebih mengedepankan kerja sama dan konsensus.

Terkait sistem jaminan sosial ala Asia, John Naisbitt dalam Megatrends Asia (1995) menyebut, masih utuhnya keluarga batih. Ada tradisi saling bantu, peran keluarga inti dan keluarga besar tetap berjalan, seiring peran negara dalam sistem jaminan sosial.

Dengan begitu, menurut Naisbitt, Asia lebih kompetitif secara makro ekonomi-sosial daripada Barat yang hanya mengandalkan sistem jaminan sosial formal, sehubungan pada umumnya keluarga batih sudah punah dan lebih dominannya orang tua tunggal.

 
Dengan begitu, menurut Naisbitt, Asia lebih kompetitif secara makro ekonomi-sosial daripada Barat yang hanya mengandalkan sistem jaminan sosial formal.
 
 

Indonesia bagian dari Asia sehingga yang menjadi ciri-ciri Jepang dan model Asia pada umumnya secara historis mirip. Itu terpatri dalam UUD 1945. Pascareformasi, terjadi tranformasi yang menggerus, baik secara mikro maupun makro sosial, ekonomi, ataupun politiknya.

Dalam politik, sila ke-4 Pancasila yang lebih mengedepankan konsensus, kini berlaku one man one vote (liberalisme politik). Dalam kerangka mikro dan makro ekonomi, lebih liberal dan peran negara cenderung diganti dominannya market driven.

Namun pada era reformasi, sejak 2014 berhasil dan dilaksanakannya UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), UU BPJS Kesehatan, dan BP Jamsostek sebagai realisasi Pasal 34 UUD45. Nah, bagaimana negara kesejahteraan ala Indonesia dengan kondisi tersebut?

Untuk peran keluarga batih, tampaknya masih relatif utuh. Maka itu, sistem jaminan sosial formal negara saling memperkuat dengan sistem jaminan sosial informal (keluarga batih). Ini faktor plus yang masih dipunyai Indonesia.

Hal yang belum  terwujud, Indonesia Incorporated, yakni kemitraan produktif antara usaha skala ekonomi besar, menengah, dan kecil. Sementara, sistem politik liberal dan transaksional berdampak pada ketimpangan ekonomi.

Dari belasan disertasi yang penulis menjadi salah seorang pembimbingnya, terdapat bukti kokohnya ekonomi lokal, yakni peran local genius, yang berasal dari tradisi dan agama terhadap ragam ekonomi lokal di berbagai daerah.

Penulis menyebut adanya Nusantaranomics. Maka itu, negara kesejahteraan ala Indonesia dalam masa pancaroba sekarang ini, dengan ekosistem politik dan ekonomi makro yang tidak kondusif, sementara dapat diredam dengan peran UMKM dan ekonomi lokal. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat