Mubaligh yang juga akademisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Ustaz Dr Syakir Jamaluddin. | DOK UMY

Hiwar

Ustaz Dr Syakir Jamaluddin, Maksimalkan Ibadah Ramadhan

Kondisi wabah bukanlah penghalang untuk meraih keberkahan ibadah di bulan Ramadhan.

Pandemi Covid-19 belum pergi dari suasana bulan suci Ramadhan. Pemerintah dan kalangan ahli telah menganjurkan publik agar beraktivitas dari rumah saja.

Menurut Ustaz Dr Syakir Jamaluddin MA, kondisi wabah bukanlah penghalang untuk meraih keberkahan Ramadhan. Dosen ilmu hadis dan fikih dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini lantas mengajak umat Islam untuk tetap memaksimalkan ibadah pada bulan suci. Walaupun kegiatan-kegiatan ibadah massal dibatasi, masih banyak amalan sunah untuk dilakukan.

“Kalau (menurut) hadis Nabi SAW, pahala kebaikan di bulan Ramadhan akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Jadi, lakukan saja amalan-amalan kebaikan sebanyak-banyaknya,” ujar anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini.

Selama sebulan penuh, Ramadhan menempa diri setiap Muslim agar lebih bertakwa. Rasulullah SAW bersabda, “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah SWT mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya; pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan dibelenggu; juga terdapat dalam bulan ini malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang tidak memperoleh kebaikannya, maka ia tidak memperoleh apa-apa.” (HR Ahmad dan Nasai).

Bagaimana terus menjaga semangat ibadah saat Ramadhan di kala pandemi? Apa saja yang mesti disiapkan seorang Muslim untuk melalui Ramadhan dengan baik? Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, bersama dengan alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu beberapa waktu lalu.

Bagaimana Anda memandang Ramadhan kini yang lagi-lagi berlangsung di tengah pandemi?

Memang, inilah Ramadhan kedua di tengah situasi pandemi. Biasanya, suasana Ramadhan selalu ramai dengan berbagai kegiatan kumpul-kumpul, seperti tarawih di masjid atau takjil. Itu semua “hilang” sejak Ramadhan tahun lalu.

Jadi, kita sekarang ini berada di antara ujian Covid-19 dan kenikmatan Ramadhan sebagai bulan yang penuh ampunan, keberkahan, serta yang di dalamnya Alquran diturunkan. Jadi, ada kerinduan yang luar biasa sehingga banyak umat Islam, misalnya, yang mau ke masjid untuk menghidupkan Ramadhan. Namun, tentu kita harus memahami situasi kini. Pada akhirnya, kehati-hatian itu demi kebaikan kita semua.

 

Apa saja sunah Nabi Muhammad SAW perihal ibadah saat wabah terjadi?

Wabah pada zaman Nabi SAW atau sahabat itu diistilahkan sebagai thaun. Nabi SAW mengingatkan agar umat Islam tidak memasuki daerah yang sudah terkena wabah. Adapun umat yang sudah terkena wabah di suatu daerah, maka diimbau untuk tidak keluar dari lokasi itu.

Dan, ada antisipasi dari Nabi SAW agar beribadah di rumah saat terjadi wabah atau thaun. Jadi, selama bulan Ramadhan di tengah wabah ini kita hendaknya tetap beribadah dari rumah. Sebab, memang ada hadisnya.

Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang thaun. Kemudian, Nabi SAW menjawab bahwa thaun adalah azab yang dikirim Allah bagi siapa pun yang Dia kehendaki. Dan, bahwa Allah menetapkannya sebagai rahmat bagi orang-orang beriman.

Wafat saat wabah tergolong syahid?

Misalnya dia meninggal setelah berikhtiar, maka pahalanya seperti pahala mati syahid. Yang penting itu, berikhtiar atau berusaha untuk menghindari wabah. Berbeda dengan orang yang sama sekali tidak berusaha, seperti tidak memakai masker dan enggan menjaga jarak. Ketika umpamanya dia meninggal, apakah syahid? Wallahu a’lam. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosanya akibat keteledorannya.

Kalau dalam bahasa sekarang, ikhtiar itu antara lain melakukan 3M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak). Tujuannya tentu keselamatan bersama. Ingat, firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 195. “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”

Jadi, sebagai contoh, pergi ke masjid dibolehkan saja. Namun, sebaiknya yang datang ke masjid itu yang sehat-sehat saja. Untuk orang tua yang rentan sakit, tidak usah datang ke masjid dahulu.

Lalu, terkait iktikaf, sebenarnya saya lebih menginginkan sesuai dengan sunah Nabi SAW, yaitu iktikaf di masjid. Namun, sekali lagi karena kondisinya seperti ini, mungkin dibatasi saja bagi umat Islam yang akan iktikaf. Ya kalau dikatakan bisa melakukan iktikaf di rumah, kita bingung juga mencari dalilnya.

Pemerintah sudah meminta umat agar mengutamakan shalat di rumah. Bagaimana menurut Anda?

Kalau shalat wajib memang dalam kondisi normal sangat dianjurkan untuk di masjid. Sedangkan, shalat sunah itu anjurannya di rumah. Nah, khusus untuk bulan Ramadhan, umat Islam dianjurkan untuk shalat di masjid secara berjamaah, semisal tarawih atau witir.

Namun, lagi-lagi karena kondisinya tidak memungkinkan, maka dianjurkan untuk shalat di rumah saja. Anjuran ini tak hanya dari pemerintah, tetapi juga ormas (organisasi masyarakat) Islam seperti Muhammadiyah dan NU (Nahdlatul Ulama). Kalau pun, misalnya, tetap ingin shalat tarawih di masjid, itu tidak dilarang.

Namun, kalau bisa pesertanya dibatasi 50 persen seperti yang disampaikan MUI (Majelis Ulama Indonesia). Muhammadiyah bahkan membatasi 30 persen saja agar jamaah bisa jaga jarak.

Jadi, shalat wajib memang dianjurkan untuk dilakukan di masjid secara berjamaah. Tapi, OTG (orang tanpa gejala) dikhawatikan akan membawa virus ke rumah-rumah. Jadi, kalau kondisi begini, shalat wajib maupun shalat tawarih sebaiknya di rumah. Terkait pahalanya, serahkan saja kepada Allah. Sebab, kita sudah berikhtiar untuk menghindar dari kebinasaan lebih awal atau kematian.

Bagaimana cara memaksimalkan ibadah saat Ramadhan meski masa pandemi?

Ingatlah hadis Rasulullah SAW, pahala kebaikan di bulan Ramadhan akan dilipatgandakan. Jadi, lakukan saja amalan-amalan kebaikan sebanyak-banyaknya. Misalnya, memperbanyak sedekah. Apalagi, ada hadis yang mengkhususkan sedekah Ramadhan sebagai sedekah terbaik. Walaupun hadits tersebut agak bermasalah, kita pakai saja untuk melakukan fadhail amal kebaikan di bulan Ramadhan.

Di bulan yang suci ini, umat Islam juga harus bisa menahan jempolnya untuk tidak membagikan hal-hal yang tak bermanfaat di media sosial. Jadi, lebih baik memperbanyak tadarus Alquran di bulan Ramadhan. Gawainya bisa digunakan untuk membuka aplikasi Alquran atau hadis. Bisa juga untuk melihat situs-situs keislaman yang mencerahkan kita.

Bagaimana cara melatih diri agar lebih dermawan saat Ramadhan?

Bersedekah termasuk amalan yang dianjurkan di bulan Ramadhan. Sedekahnya itu bisa dalam bentuk macam-macam. Menyenangkan dan membantu orang lain, itu pun dipandang sedekah. Jadi, tidak mesti dengan uang.

Tentu, bagus sekali bila kita memberikan makan, misalnya, untuk orang-orang berbuka puasa maupun yang akan sahur. Apalagi, sekarang kondisi ekonomi masyarakat kita sekarang yang cenderung lesu. Karena itu, mungkin Allah menurunkan ini (pandemi) salah satunya untuk memancing kita agar lebih peduli dengan saudara-saudara kita yang membutuhkan.

Jadi, Ramadhan di tengah pandemi adalah momentum untuk melatih diri kita lebih dermawan. Kita harus lebih berempati, membayangkan seakan-akan kita menjadi orang-orang yang membutuhkan uluran tangan. Lihat tetangga di kanan dan kiri. Bukankah banyak yang mengalami PHK (pemutusan hubungan kerja) sehingga sulit mencari nafkah sehari-hari? Maka bantulah mereka.

 

Bagaimana memperkuat interaksi dengan Alquran, bahkan sesudah bulan suci berlalu?

Ramadhan memang disebut sebagai bulan Alquran, syahrul Qur’an, karena di dalamnya Alquran diturunkan. Maka, kita harus memikirkan ayat-ayat Allah, baik dalam bentuk qauliyah maupun kauniyah. Nah, orang-orang Barat selama ini memikirkan ayat kauniyah secara serius sehingga mereka bisa mengambil ilmu dari alam ini. Sementara, kita cenderung berkutat di ayat-ayat qauliyah tanpa mengaitkannya dengan ayat-ayat kauniyah.

Makanya, orang yang mendapatkan Lailatul Qadar, menurut saya, ialah mereka yang mampu menggali Alquran dan menemukan makna yang baru. Itu kemudian mencerahkan dirinya dalam melihat dunia, bahwa Allah itu ar-Rahman dan ar-Rahim.

Artinya, tidak sekadar membaca Alquran?

Agar interaksi kita dengan Alquran lebih kuat lagi, kita pun harus mengerti maknanya. Jangan sampai ketika membaca Alquran, kita lupa bahwa Alquran sebenarnya sedang mengutuk kita lantaran selalu mengerjakan hal-hal yang dilarang Allah.

Seorang mufasir menyebutkan, demikian banyak orang membaca Alquran tetapi tidak sadar bahwa Alquran sedang mengutuknya. Sebab, mereka tidak mencoba memahami makna Kitabullah. Mereka hanya berlomba untuk mengkhatamkan bacaan ayat-ayatnya selama Ramadhan.

Makanya saya katakan, kadang kita perlu berhenti sejenak untuk merenung, memaknai ayat-ayat Alquran yang kita baca. Kalau kurang paham, bacalah tafsirnya. Setelah itu, baru kita bisa mendapatkan pencerahan. Interaksi kita pun akan lebih kuat. Pikiran dan tindakan menjadi lebih qurani.

Adakah pesan untuk mereka yang terkena musibah saat Ramadhan ini, seperti terimbas Covid-19 dan lain-lain?

Ketika seorang Muslim mendapatkan musibah, dianjurkan mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Ini sesuai petunjuk Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 156. Biasanya kalimat ini dikaitkan dengan peristiwa kematian. Padahal, itu sebenarnya agar umat Islam lebih berinstrospeksi diri. Kita semua sesungguhnya adalah milik Allah dan kepada-Nya kita semua akan kembali.

Maka, ketika terkena musibah, kita harus berdoa dan tetap bersabar. Imun itu akan muncul kalau kita iman, sabar dan husnuzdon (bersangka baik) kepada Allah SWT. Jadi, jangan sampai iman goyah gara-gara terkena musibah. Selain menjaga imun, kita juga harus memperkuat iman.

photo
Menurut anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Ustaz Dr Syakir Jamaluddin (kiri), pelbagai tes Covid-19 sama sekali tidak membatalkan puasa. - (DOK IST)

Ihwal Vaksinasi Kala Berpuasa

 

Saat berpuasa, seorang Muslim tidak makan, minum, dan melakukan hal-hal lainnya yang membatalkan ibadah ini sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Berbagai perbuatan yang sebelumnya mubah menjadi tak boleh dilakukan selama saum.

Lantas, bagaimana dengan tes Covid-19 serta vaksinasi? Apakah keduanya dapat membatalkan puasa?

Menurut anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Ustaz Dr Syakir Jamaluddin, pelbagai tes Covid-19 sama sekali tidak membatalkan puasa. Termasuk di antaranya adalah tes yang dilakukan melalui rongga mulut dan hidung. Begitu pula dengan uji yang mengambil sampel darah atau meniup kantong udara—semisal pada GeNose.

Bagaimanapun, lanjut dia, catatan diberikan untuk vaksinasi. “Nah, yang menjadi sedikit persoalan ada pada vaksin. Sebab, ini memasukkan cairan ke dalam tubuh. Namun, ulama sudah sepakat bahwa vaksin untuk pengobatan sama sekali tidak membatalkan puasa,” kata Ustaz Syakir Jamaluddin kepada Republika, baru-baru ini.

Dia menjelaskan, vaksinasi hanya sekadar untuk menguatkan imun agar lebih tahan dari serangan virus. Dalam hal ini, pemberian vaksin tidak sebagai penambah vitamin atau membuat kenyang. “Jadi, dia (vaksinasi) bukan dalam bentuk makanan. Karena itu, dia tidak dimasukkan di rongga mulut kita. Ulama pun membolehkannya,” jelasnya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Syakir Jamaluddin (syakir_jamaluddin)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa Nomor 13 Tahun 2021 tentang Hukum Vaksinasi Covid-19 Saat Berpuasa. Dalam surat tertanggal 16 Maret 2021 itu, MUI menyatakan, hukum melakukan vaksinasi Covid-19 bagi umat Islam yang sedang berpuasa dengan cara injeksi intramuskular adalah boleh sepanjang tidak menyebabkan bahaya.

“Fatwa MUI, Muhammadiyah ataupun NU (Nahdlatul Ulama) juga menyatakan tidak membatalkan puasa,” kata alumnus S-3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

Sedikit berseloroh, Ustaz Syakir mengaku bahwa dia adalah “doktor Covid-19”. Jangan salah sangka dahulu. Itu tidak berarti dirinya sebagai pakar kedokteran medis tertentu, apatah sampai membuka praktik. Yang dimaksudkannya, gelar doktor dalam bidang ilmu tafsir hadis diraihnya saat pandemi masih melanda.

Ya, belum lama ini dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut sukses menyelesaikan studi doktoralnya yang telah berjalan tujuh tahun. Disertasinya membahas metode Ikhtilaful Hadits Tarjih Muhammadiyah. Baginya, ada berkah tersembunyi di balik situasi wabah Covid-19.

“Makanya saya disebut juga sebagai ‘doktor Covid-19'. Artinya, kalau tidak ada Covid-19 mungkin selesai juga saya itu,” ujarnya.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat