Mahasiswa menanam pohon dalam Aksi Tanam 1000 Pohon di kawasan bekas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Bungku, Bajubang, Batanghari, Jambi, Sabtu (14/3/2020). | Wahdi Septiawan/ANTARA FOTO

Opini

Penyehatan Bumi

Pembangunan kota lestari harus memiliki visi jangka panjang melampaui siklus politik elektoral lima tahunan.

NIRWONO JOGA, Pusat Studi Perkotaan

Setiap 22 April, masyarakat memperingati Hari Bumi yang tahun ini mengangkat tema Restore Our Earth. Tujuannya mengingatkan kembali pentingnya menata ulang kehidupan bumi kala dan pascapandemi Covid-19.

Peringatan kali ini merupakan kesempatan penting untuk merenungkan kembali dampak perubahan iklim dalam kehidupan kita dan kota. Masyarakat dunia sudah merasakan langsung dampak perubahan iklim secara nyata.

Mulai dari banjir, banjir bandang dan longsor, kebakaran hutan, kekeringan lahan pertanian, krisis air, hingga badai salju berkepanjangan. Tidak ada lagi ruang di bumi ini yang bisa menyatakan bebas dari ancaman bencana.

Banjir di Jakarta dan sekitar awal 2020 dan 2021, bila dilihat dari curah hujan, menunjukkan terjadinya anomali.

 
Peringatan kali ini merupakan kesempatan penting untuk merenungkan kembali dampak perubahan iklim dalam kehidupan kita dan kota.
 
 

Dalam rentang 1996-2006, intensitas curah hujan tertinggi 340 mm/hari (2007), intensitas curah hujan di Stasiun BMKG TNI AU Halim Perdanakusuma Jakarta Timur 377 mm/hari (2020) dan Pasar Minggu, Jakarta Selatan 220 mm/hari (2021).

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sepanjang 2020 ada 1.036 kejadian bencana banjir, mengakibatkan 258 orang meninggal dunia dan hilang, 271 terluka, 4.362.016 orang mengungsi dan terdampak, serta 815.905 rumah terendam.

Sepanjang 2021, BNPB mencatat bencana alam berupa banjir terjadi sebanyak 337 kejadian, puting beliung (186), tanah longsor (144), karhutla (70), gempa bumi (13), gelombang pasang dan abrasi (12), serta kekeringan (1).

Dampak bencana tentu semakin besar jika melihat kerusakan yang diakibatkan banjir bandang dan longsor di Nusa Tengggara Timur, serta gempa bumi di Jawa Timur. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?

Pertama, Indonesia sebagai negara kepulauan rentan terhadap bencana ekologis perubahan iklim. Di sisi lain, Indonesia menyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kelima di dunia (World Resouces Institute 2020).

Maka, Indonesia harus memperkuat aksi iklim berupa tindakan antisipasi, adaptasi, dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

 
Pembangunan kota lestari harus memiliki visi jangka panjang melampaui siklus politik elektoral lima tahunan.
 
 

Pembangunan kota lestari harus memiliki visi jangka panjang melampaui siklus politik elektoral lima tahunan dari kepala negara (aksi nasional) atau kepala daerah (aksi regional/lokal) yang berganti setiap lima tahunan.

Aksi iklim harus dilakukan konsisten dan berkelanjutan siapapun kepala negara atau kepala daerahnya. Kedua, pandemi Covid-19 menyadarkan semua pihak untuk bergerak kembali ke alam (kota lestari).

Deforestasi di pedalaman, penyusutan ruang terbuka hijau di perkotaan, punahnya keanekaragaman hayati, degradasi kualitas lingkungan, serta perubahan iklim membuat pandemi lebih mungkin/sering terjadi di masa mendatang.

Kita punya banyak alasan untuk menyelamatkan dan menyehatkan bumi. Kota-kota yang memiliki perencanaan dengan pendekatan lingkungan dan kesehatan, diyakini lebih berdaya tahan menghadapi bencana dan pandemi ke depan.

 
Pemerintah harus memprioritaskan peremajaan pemukiman padat, terutama yang (pernah) masuk dalam zona merah penyebaran Covid-19.
 
 

Perencana kota diharapkan mampu memahami pola dan proses perubahan iklim yang terus terjadi di kota dan respons pemerintah dan komunitas warga selama pandemi hingga memasuki kenormalan baru.

Ketiga, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), UN Environment Programe, dan UN Habitat (2020) melaporkan, pandemi Covid-19 berdampak pada hampir seluruh kota di dunia (90 persen).

Ini menunjukkan kesenjangan yang tajam di kota (antara permukiman tertata dengan permukiman padat kumuh), memperlihatkan ketangguhan dan kearifan lokal, serta kurang dari 50 persen warga dunia memiliki akses ke ruang terbuka hijau (taman) terdekat (400 meter dari rumah).

Pemerintah harus memprioritaskan peremajaan pemukiman padat, terutama yang (pernah) masuk dalam zona merah penyebaran Covid-19.

Pemerintah menyediakan hunian vertikal yang terjangkau, sehat, dan layak huni untuk masyarakat berpenghasilan rendah, flat kelompok pekerja muda atau keluarga muda.  

Permukiman dilengkapi jalur dan tempat evakuasi, taman bermain anak dan ruang olahraga, kebun pertanian untuk ketahanan pangan. Pembangunan infrastruktur jaringan utilitas berupa pasokan air bersih, listrik, gas, instalasi pengolahan air limbah komunal, serta tempat pengolahan sampah terpadu.

 
Kebiasaan baru hidup sehat mempercepat langkah menerapkan prinsip pembangunan kota lestari.
 
 

Keempat, kehadiran vaksin sedikit banyak membangkitkan kepercayaaan masyarakat bahwa virus sudah bisa dikendalikan. Namun, perilaku hidup bersih dan sehat kala pandemi merupakan kunci keberhasilan memasuki kenormalan baru.

Kebiasaan baru hidup sehat mempercepat langkah menerapkan prinsip pembangunan kota lestari. Perlahan kita saksikan peradaban manusia berubah.

Bermasker tak lagi sekadar memenuhi standar protokol kesehatan tetapi sudah menjadi bagian atau melebur dengan gaya berpakaian seseorang.

Mengurangi mobilitas dengan berkegiatan belajar, bekerja, hingga berniaga dari rumah mendorong peningkatan penggunaan internet, mengakselarasi proses digitalisasi, serta pengembangan aplikasi belanja daring.

Warga asyik berkebun di rumah serta berkreativitas mengolah sampah. Itu semua dilakukan demi mewujudkan bumi yang lebih sehat. Semoga. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat