Kemacetan di kawasan pusat perbelanjaan Pasar Baru, Jalan Otto Iskandar Dinata, Kota Bandung, Senin (5/4/2021). Kepadatan lalu lintas disebabkan meningkatnya aktivitas masyarakat di kawasan Pasar Baru jelang Ramadhan 1442 Hijriah. | Edi Yusuf/Republika

Opini

Ekonomi Ramadhan

Momentum Ramadhan pemicu paling positif dalam mendorong aktivitas ekonomi.

JOJO, Mahasiswa Doktoral Ilmu Ekonomi Pertanian IPB

Bulan suci yang dinanti tinggal menghitung hari. Secara sosio-spiritual, Ramadhan bukan sekadar bulan spiritualitas keislaman umat, melainkan juga menjadi bagian integral sosio ekonomi kultural bangsa.

Dalam konteks ekonomi, momentum Ramadhan pemicu paling positif dalam mendorong aktivitas ekonomi. Bahkan, momen ini punya andil penting mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan konsumsi masyarakat.

Makanan, sandang, dan jasa (transportasi dan pembayaran) adalah komoditas dan sektor paling banyak disasar. Hasil kajian Nielsen Global Survey  tahun lalu menyebut, momen Ramadhan mendongkrak permintaan barang konsumsi hingga 9,2 persen.

Ekonomi Ramadhan merujuk geliat ekonomi masyarakat pada bulan Ramadhan. Ini terekam dari mesin ekonomi makro (perusahaan) dan mikro (rumah tangga), yang merasakan denyut ekonomi dengan peningkatan konsumsi di balik kekhidmatan ritual Ramadhan.

 
Dalam konteks ekonomi, momentum Ramadhan pemicu paling positif dalam mendorong aktivitas ekonomi. 
 
 

Itu tecermin sejak Ramadhan tiba, tumbuh berbagai geliat ekonomi. Di Jawa, diawali tradisi berbagi ‘ruwahan’ dan ‘munggahan’ diikuti antusiasme aktivitas filantropis lain, misal berinfak, bersedekah,  zakat, wakaf, dan takjil gratis.

Implikasi ekonomi bertambahnya likuiditas di masyarakat, uang yang awalnya diam, bergerak menumbuhkan aktivitas ekonomi, menciptakan efek pengganda ekonomi. Terjadi percepatan perputaran uang, pergerakan barang dan jasa.

Seperti kita pahami, konsumsi masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor ini memiliki kontribusi terbesar dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB). 

Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga berkontribusi pada PDB 2017 sebesar 56,13 persen. Pada 2018, turun ke angka 55,70 persen. Setahun berselang, naik ke 56,62 persen. Pada 2020, naik lagi ke angka 57,66 persen. 

Fenomena konsumerisme seakan menjadi penyedap memasuki Ramadhan. Robert G Dunn mengatakan, konsumerisme merupakan ‘ideologi’  yang menarik masyarakat dalam sistem produksi massal dan mengubah cara pandang terhadap konsumsi.

Pada satu sisi, perilaku konsumsi memicu pengaruh positif terhadap interaksi ekonomi masyarakat, khususnya terhadap UMKM. Dari perspektif penawaran, bulan ini bermunculan banyak pedagang ‘kagetan’.

 
Fenomena konsumerisme seakan menjadi penyedap memasuki Ramadhan.
 
 

Pada sisi permintaan, daya beli masyarakat terdongkrak THR ditambah gaji ke-13 PNS/TNI/Polri. Stimulus ekonomi ini bisa memicu naiknya daya beli. Fenomena kenaikan pendapatan ini dijelaskan James Dusenberry.

Ia  mengatakan, tingkat pengeluaran konsumsi sejalan tingkat pendapatan individu. Artinya, ketika pendapatan seseorang meningkat, tingkat pengeluaran konsumsinya pun melonjak. Begitupun sebaliknya.

Namun, romantisme ini sepertinya rada sulit terjadi pada Ramadhan kali ini. Ramadhan tahun ini, kali kedua kita dirundung duka akibat Covid-19. Tahun lalu, ketika diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sektor riil merasakan guncangan hebat.

Diperparah pemberlakuan larangan mudik, yang berdampak langsung terhadap penjualan tiket angkutan transportasi. Mereka mengalami kerugian yang berimbas sepinya sektor pariwisata dan kuliner.

Potret ekonomi tersebut diprediksi tak akan jauh beda dengan ritus Ramadhan kali ini. Pandemi Covid-19 membuat ekonomi RI jatuh ke jurang resesi dan menyebabkan pengeluaran per kapita masyarakat menurun.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pengeluaran per kapita masyarakat Indonesia pada 2020, turun Rp 286 ribu dibandingkan 2019. Pada 2020, pengeluaran per kapita berada di Rp 11 juta, sedangkan tahun 2019 mencapai Rp 11,29 juta.  

 
Berkaca pada 2019 ketika kondisi masih normal, uang yang mengalir ke daerah mencapai Rp 10 triliun.
 
 

Hal ini terjadi karena banyak PHK akibat perusahaan melakukan efisiensi. Menurut data BPS 2020, ada 2,56 juta penduduk usia kerja menjadi pengangguran karena Covid-19. Sebanyak 1,77 juta penduduk bekerja, tetapi untuk sementara tidak bekerja.

Jumlah pengangguran per Agustus 2020, mencapai 9,77 juta jiwa. Potensi uang THR melayang semakin besar. Selain itu, banyak usaha kecil ‘musiman’ Ramadhan, masa di pandemi tak dapat mengulangi peruntungannya.

Hal ini diperparah dampak larangan mudik Lebaran 6-17 Mei 2021 nanti (Republika, 29/3). Aturan ini untuk mengurangi penyebaran Covid-19. Beleid ini menuai pro dan kontra, mengingat Idul Fitri rutinitas ‘ritual’ tahunan dan puncak perputaran uang.

Berkaca pada 2019 ketika kondisi masih normal, uang yang mengalir ke daerah mencapai Rp 10 triliun.

Larangan mudik itu sedikit membingungkan masyarakat. Pengampu kebijakan cenderung  inkonsisten dan terkesan kontradiktif antara satu keputusan dan kebijakan sektor lainnya. Seperti diperbolehkannya lokasi wisata buka meski masih terbatas.

Bila mudik dilarang, masyarakat tidak belanja. Hal ini  berimbas pada terganggunya perputaran uang dan pergerakan barang-jasa di daerah. Padahal, aliran uang dari kota ke daerah, dinilai mampu menggerakkan ekonomi yang sedang lesu.

Agak mustahil jika berharap ekonomi kuartal II  2021 bisa tumbuh di angka 7 persen. Sampai titik ini, keseriusan pemerintah diuji untuk pemulihan ekonomi, yang pada saat bersamaan wajib menjaga kesehatan warganya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat