Dalam peristiwa G30S, KH Arief Hasan menjadi tempat masyarakat Mojokerto bertanya dan meminta kebijaksanaan | DOK NU Mojokerto

Mujadid

KH Arief Hasan, Ulama Peduli Petani

KH Arief Hasan adalah inisiator Persatuan Petani NU atau Pertanu yang juga mendirikan pondok pesantren.

OLEH MUHYIDDIN

Para ulama di Tanah Air tidak hanya menyebarkan syiar Islam di tengah umat. Mereka pun dapat turut aktif memberdayakan masyarakat. Salah seorang mubaligh yang juga berperan dalam pemberdayaan adalah KH Arief Hasan. Tidak hanya dalam dunia dakwah, sang mubaligh juga berkiprah membantu kaum petani agar mereka bisa mewujudkan potensi yang ada.

Kiai Arief Hasan merupakan salah satu santri Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, sang perintis Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, itu pun memiliki perhatian yang besar kepada kaum tani. Mengikuti jejak gurunya itu, Kiai Arief juga sangat peduli terhadap nasib petani. Salah satu perannya ialah menginisiasi berdirinya Persatuan Petani NU (Pertanu).

Dalam buku berjudul Jejak Keteladanan KH Arief Hasan, Saiful Amin Ghofur menjelaskan bahwa pada era 1970-an Kiai Arief memelopori berdirinya Pertanu. Misi utama sang alim ialah meningkatkan dan mendorong pemberdayaan ekonomi umat. Melalui Pertanu, kiai tersebut hendak melakukan transformasi sosial dan pemerataan ekonomi. Caranya antara lain dengan memberikan modal cuma-cuma untuk memudahkan para petani dalam bekerja.

Kiai Arief juga memberikan pendampingan yang menyeluruh. Ketika musim panen tiba, misalnya, para petani diarahkan agar menyisihkan satu atau dua karung dari hasil panennya. Kemudian, pencatatan administratif dilakukan. Panen mereka lantas dimasukkan ke lumbung Pertanu. Bila petani membutuhkan, padinya bisa diambil sewaktu-waktu.

Sehari-harinya, Kiai Arief cukup sibuk dalam memberikan pengajian kepada para santrinya ataupun masyarakat umum. Akan tetapi, ia tak pernah mengabaikan pentingnya memberdayakan potensi ekonomi kaum tani. Dalam pandangannya, membangkitkan taraf ekonomi mereka merupakan suatu keharusan, tak kalah penting dengan memupuk iman dan akidah dalam dada mereka.

Jika perekonomian sudah cukup mapan, menurutnya, masyarakat pun akan kian mudah belajar dan mencerna berbagai pengetahuan agama. Sebaliknya, jika kondisi ekonominya masih tidak karuan, mereka akan menjadi sasaran empuk proyek-proyek agitasi atau penyelewengan akidah Islam. Dan, tidak sedikit fakta yang membuktikan, faktor ekonomi banyak menjadi lokus utama agenda pemurtadan Muslimin.

Persis seperti namanya sendiri, Kiai Arief dikenal sebagai seorang figur publik yang bijaksana. Ia lahir pada 20 Rabiul Awal 1337 H/1917 M di Desa Beratkulon, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Keluarga tempatnya berasal hidup bersahaja dan sangat religius.

Ayahnya merupakan seorang ulama bernama Kiai Hasan. Adapun ibunya ialah Nyai Sholihah, seorang putri ahli tarekat bernama Mbah Mahmud. Di kampungnya, Kiai Hasan termasuk mubaligh yang sangat dihormati masyarakat setempat. Dari nasab ibundanya,

Sejak kecil Arief sangat tekun belajar. Ia mempelajari dasar-dasar agama Islam dari ayahnya sendiri. Selain itu, dirinya juga berguru kepada sang kakek, Mbah Mahmud. Saat berusia 16 tahun, atau tepatnya pada tahun 1933, Arief muda melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Tebuireng.

Sang pengasuh Tebuireng, KH Hasyim Asy’ari, menempatkan Arief di sebuah gotakan bersama santri-santri alim dan dituakan. Seorang di antaranya adalah Kiai Salim Kertosono. Di bawah pengawasan Kiai Salim-lah, pemuda tersebut mempelajari berbagai ilmu pesantren.

Ia hafalkan nazam-nazam (bait atau syair yang dibaca dengan lagu) kitab gramatikal Arab, seperti Imrithi, Amtsilah at Tasrifiyah, Alfiyah Ibnu Malik yang terdiri dari seribu bait, dan lain lain.

Ia memang sangat menggemari kitab-kitab nazam. Bahkan, lelaki ini menghafalkannya. Tak berhenti di sana, dirinya pun mulai rutin melatih memorinya agar dapat menjadi tahfiz Alquran 30 juz. Dengan penuh ketekunan, ia pun mampu merampungkan hafalan Alquran dalam tempo relatif singkat, sekira enam bulan.

Selain mengaji, Ia juga turut membantu keperluan keluarga Kiai Hasyim Asy’ari. Selepas melaksanakan shalat malam, Arief kerap menuju rumah gurunya itu untuk mencuci piring kotor, menimba air sumur, dan mengisi bak mandi yang akan dipergunakan sang hadratus syekh dan keluarganya. Ia pun kerap dipanggil untuk memijat gurunya tersebut.

Dengan pengabdiannya tersebut, Arief muda memiliki kedekatan personal dengan Kiai Hasyim Asy’ari. Ia melihat dari dekat akhlak dari sosok orang alim pendiri NU itu. Tak heran, jika kelak dirinya pun mengikuti jejak langkah keteladanan kakek KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu.

photo
KH Arief Hasan merupakan seorang ulama yang menaruh perhatian besar pada pemberdayaan masyarakat, khususnya kaum tani. - (DOK Ponpes Ronas)

Mendirikan pesantren

Setelah enam tahun nyantri di Tebuireng, Arief pulang ke kampung halamannya di Beratkulon. Saat itu, usianya sudah menginjak 22 tahun. Umur yang masih tergolong sangat muda. Namun, ia langsung dipercaya untuk memberi pengajian di berbagai majelis.

Tugasnya kebanyakan menggantikan posisi ayahnya, yang memiliki kegiatan rutin mengaji kitab. Amanah ini berarti pula pengakuan dari bapaknya, dirinya sudah dianggap mampu membaca kitab kuning dengan lancar.

Seiring berkembangnya waktu, Arief mulai memiliki tempat di hati masyarakat Desa Beratkulon. Ia bahkan mulai dipanggil dengan sebutan “kiai” meskipun usianya relatif muda. Pada 1 April 1939, Kiai Arief kemudian mendirikan Pondok Pesantren Roudlatun Nasyi’in. Nama pesantren ini diambil dari bahasa Arab. Secarah harfiah, raudhah berarti ‘taman’, sedangkan nasyi’in bermakna ‘kaum muda yang tengah berkembang.’

Awalnya, tercatat hanya tujuh orang santri yang mukim di sana. Namun, lama kelamaan jumlah santri yang dibimbing Kiai Arief terus bertambah. Tidak hanya dari kawasan Mojokerto. Cukup banyak pula yang datang dari luar kota, semisal Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Surabaya, dan bahkan luar Jawa. Selain membangun pesantren, ia pun mendirikan berbagai lembaga edukasi formal, yang membuka level pendidikan tingkat dasar hingga menengah atas.

Sebagai seorang pengasuh pesantren, Kiai Arief menyadari bahwa proses mencari dan mengamalkan ilmu tentu tak pernah sepi dari aral melintang. Jika tidak rajin-rajin memberikan motivasi, ia khawatir para santri akan cepat menyerah. Dalam mendidik mereka, ia pun sangat tegas. Rupanya, pola didikan Kiai Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng begitu membekas dalam dirinya.

Kiai Arief turut menerapkan gaya kepemimpinan Mbah Hasyim di Pesantren Roudlatun Nasyi’in. Tak jarang, santri-santrinya terkena sanksi karena mereka keteledoran mengaji.

Setelah Kiai Arief wafat, kepengasuhan pesantren Roudlatun Nasyi’in diamanatkan kepada putranya, Gus Arifin yang dibantu kedua saudaranya, Gus Irfan dan Ning Arifah. Dengan keteguhan hati dan dukungan dari segenap keluarga dan kolega Kiai Arief, Gus Arifin optimistis menyongsong perubahan gemilang bagi kelangsungan pondok pesantren tersebut. Tradisi membaca kitab kuning yang diwariskan Kiai Arief tetap dipertahankan.

Bagaimanapun, kebaruan tetap ada. Ini didasari optimisme bahwa penguasaan ilmu agama harus diimbangi dengan pemahaman disiplin keilmuan umum kontemporer. Sebagai contoh, para santri tidak melulu harus menguasai bahasa Arab saja, tetapi juga bahasa Inggris. Keahlian dalam bahasa asing tersebut juga dianggap penting sebagai bekal mereka dalam mencapai cita-cita di era modernisasi dan globalisasi.

Karena itulah pondok pesantren Roudlatun Nasyi’in kini tidak cuma berisi ilmu keagamaan, tetapi juga ilmu bahasa. Pelan namun pasti, kini lembaga tersebut merajut identitas menjadi pesantren modern.

Perjuangan sang alim dari Mojokerto

Daerah Mojokerto, Jawa Timur, telah memunculkan banyak alim ulama. Salah seorang di antaranya adalah KH Arief Hasan. Mubaligh kelahiran tahun 1917 ini merupakan murid dari Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, sang pendiri Nahdlatul Ulama (NU).

Tidak hanya berkiprah di dunia dakwah, putra pasangan Kiai Hasan dan Nyai Sholihah ini juga aktif dalam perjuangan membela kedaulatan Tanah Air. Ketika Mbah Hasyim menginisiasi Resolusi Jihad, ia juga turut berjuang di garda depan. Waktu itu, musuh Indonesia ialah ambisi kolonial Belanda yang hendak menjajah kembali Bumi Pertiwi. Padahal, RI telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Dalam menyambut seruan jihad, Kiai Arief Hasan mengorbankan harta, jiwa dan raga. Rumahnya pernah dijadikan sebagai markas Laskar Hizbullah Utara Sungai. Suatu kali, pasukan Belanda menyisir keberadaan para laskar pejuang yang kerap melakukan gerakan-gerakan gerilya ke desa-desa. Salah satu desa yang dijadikan target untuk digeledah adalah Beratkulon. Prajurit Belanda pun memasuki rumah-rumah warga, tak terkecuali kediaman Kiai Arief. Beruntung, sang kiai lolos dari penyergapan tersebut.

Ketika meletus G30S/PKI pada 1965, Kiai Arief juga selalu terdepan dalam menumpas partai yang kini organisasi terlarang itu. Rapat-rapat penting penumpasan paham komunisme diadakan di rumahnya. Dan, setiap hendak melakukan aksi, para laskar kerap meminta pertimbangan dari tokoh ulama itu.

Suatu hari, seorang anggota Ansor menangkap pengikut PKI di Desa Kembangan. Kiai Arief kemudian dimintai fatwa tentang apa yang akan dilakukan terhadap orang itu. Dengan tegas, ia melarang membunuh yang ditangkap selama anggota PKI itu masih bersyahadat.

Setelah negeri ini mulai aman dan terkendali, Kiai Arief fokus kembali mengembangkan pesantrennya dan mendidik santri-santrinya. Di hadapan santri, ia tak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Secara langsung, dirinya pun menunjukkan keteladanan yang memberi contoh akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam berdakwah, ia tergolong bijaksana dalam menyikapi perkembangan. Kiai Arief tak menolak model dakwah yang kreatif sesuai zaman. Sebagai contoh, dirinya pernah menugasi putranya untuk membuat stasiun radio sehingga kegiatan mengaji bisa disiarkan ke berbagai daerah. Sebelum listrik masuk desa, Kiai Arief juga mengupayakan aliran listrik dari genset.

Adanya energi listrik membawa banyak manfaat bagi warga setempat, termasuk para santri yang mengaji pada malam hari. Apalagi, pada perkembangannya, genset ini juga mampu menerangi rumah-rumah penduduk sekitar pesantren.

Kiai Arief selain melakukan kerja sosial kemasyarakatan dan agama, juga pernah terjun dalam dunia birokrasi. Tercatat, Kiai Arief pernah menjadi Kepala Pengadilan Agama di Mojokerto. Namun, ia lantas mengundurkan diri karena ingin fokus mengurus pesantren.

Selain itu, ia pernah terjun ke dunia politik. Melalui jalur tokoh masyarakat, sang kiai terpilih menjadi anggota DPRD Mojokerto pada 1955. Lima tahun kemudian, mubaligh ini kembali lagi ke pesantren. Dapat disimpulkan bahwa perjuangan Kiai Arief ini sangat berlika-liku karena Kiai Arief berjalan di atas masyarakat dan lembaga sosial-keagamaan. Di samping itu, Kiai Arief juga harus menyisihkan waktu dan energi untuk mengurus para santrinya.

Pada 31 Oktober 1988, Kiai Arief dilarikan ke rumah Sakit Budi Mulia Surabaya karena menderita diabetes akut. Belum sempat ditangani, tokoh ini berpulang ke rahmatullah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat