Hikmah Republika Hari ini | Republika

Hikmah

Kemalangan Anak Kita

Sebagian anak-anak kita lebih asyik bermain game online daripada belajar.

Oleh HASAN BASRI TANJUNG

 

OLEH HASAN BASRI TANJUNG

Dulu, sebelum pandemi Covid-19 melanda negeri ini, persoalan gawai sudah menyita banyak perhatian. Sebab, sebagian anak usia Sekolah Dasar dan Menengah telah kecanduan dan sangat meresahkan orang tua.

Kecanduan tersebut juga telah menimbulkan gangguan baik fisik seperti syaraf otak melemah, mata memerah, maupun perubahan sikap dan perilaku menjadi kasar bahkan mengancam keselamatan jiwanya. 

Belakangan, kejadian serupa kembali ramai diperbincangkan. Jika dulu, anak-anak bermain gawai di rumah sepulang sekolah, sekarang justru disuruh dan difasilitasi. Kebijakan Menteri Pendidikan menutup sekolah, ternyata membuat anak-anak kecanduan gawai kian masif. Bahkan, ekses yang ditimbulkan pun semakin luas, yakni putus sekolah, tindak kriminal, dan penyimpangan seksual pada anak.  

Pekan lalu, koran ini menampilkan gambar memilukan di halaman depan (edisi 19 Maret 2021). Seorang remaja terbaring lemah di Rumah Sakit Jiwa Cisarua Kabupaten Bandung Barat Jabar karena kecanduan gawai. Pada 2020 lalu pun telah merawat 104 anak-anak dan remaja. Sepanjang Januari-Februari tahun ini ada 14 pasien dirawat jalan.

Begitu juga RS Marzoeki Mahdi Bogor merawat empat pasien. Bahkan, Komisi Perlindungan Anak menemukan 98 anak dirawat di Rumah Sakit Jiwa Grogol Jakarta. 

Fenomena ini mengingatkan kita pada firman Allah SWT, “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya meninggalkan keturunan lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap kesejahteraannya...” (QS an-Nisa[4]:9). 

Ayat ini menekankan agar jangan sampai meninggalkan generasi lemah (dhuafa) iman, ilmu, harta, dan akhlak (adab), sehingga mereka dilemahkan oleh zaman (mustad’afin).

Lalu, apa yang harus dilakukan? Ada empat stakeholder yang bertanggung jawab yakni; Pertama, pemerintah (ulil amri) harus segera membuka sekolah. Sebab, semakin lama anak belajar di rumah, justru bertambah buruk akibatnya.

Sebagian mereka lebih asyik bermain game online daripada belajar. Juga, wajib menutup konten yang sarat kekerasan dan pornografi, sehingga adab anak-anak tidak semakin rusak. (HR Ibnu Majah).

Kedua, menguatkan pendidikan keluarga.  Jika sebelumnya orang tua mengandalkan guru di sekolah, maka sekarang harus mengawasi anaknya agar tidak terjerembap lebih dalam (QS at-Tahrim [66]: 6). Prof Buya Hamka dalam “Tafsir Al-Azhar” mengutip pesan Nabi SAW kepada Umar Bin Khattab, “Kamu laranglah mereka dari segala perbuatan yang dilarang Allah dan suruhlah mengerjakan apa yang diperintahkan Allah.”  

Ketiga, guru di sekolah pun harus kreatif merancang pembelajaran menarik dan menyenangkan yang berbasis digital. 

Keempat, partisipasi lembaga sosial dan keagamaan untuk memberi solusi alternatif. Pengurus masjid, majelis taklim, RT, dan RW turut menciptakan lingkungan yang kondusif dan konstruktif.  

Akhirnya, semua elemen masyarakat, terutama pemerintah dan orang tua, harus bahu-membahu dan bergandengan tangan melewati masa sulit ini. Jika tidak, kita akan kehilangan calon pemimpin masa depan. Itulah kemalangan anak-anak kita yang kelak akan ditanya oleh Sang Penitip karunia, Allah SWT. (HR Bukhari-Muslim).

Allahu a’lam bish-shawab.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat