Siswa merakit alat pendeteksi Covid-19 GeNose di Teaching Factory SMK SMTI Yogyakarta, Senin (1/3/2021). | Wihdan Hidayat / Republika

Opini

Ekonomi Berbasis Pengetahuan

Ada pergeseran paradigma pembangunan yang lebih bergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi.

TAUCHID KOMARA YUDA, Dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM

Indonesia berada di era transformasi teknologi yang benar-benar revolusioner. Terobosan yang terus berlanjut di berbagai lini, telah mengakibatkan pergeseran paradigma pembangunan yang lebih bergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menggantikan lahan, energi, dan sumber daya alam yang dulu sempat diyakini sebagai satu-satunya sumber kemakmuran.

Pengalaman di negara-negara maju, contohnya Korea Selatan dan Jepang, membuktikan bahwa ekonomi berbasis pengetahuan (EBP) telah menghasilkan transformasi ekonomi yang menjanjikan pada saat sektor ekspor manufaktur menjadi kurang kompetitif.

Berbagai studi (Romer 1986; Lucas 1988; Acemoglu 2008) menunjukan, EBP memungkinkan suatu negara mengekstraksi nilai lebih besar dari sumber daya yang terbatas untuk menopang pertumbuhan ekonomi sekaligus menjaga cadangan finansial jangka panjang.

 
EBP memungkinkan suatu negara mengekstraksi nilai lebih besar dari sumber daya yang terbatas untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
 
 

EBP mulai diadopsi secara luas selama tahun 1970-an dan 1980-an. Hal itu ditandai dengan munculnya sistem komputasi masif dan munculnya world wide web di Eropa dan Amerika.

Ekspansi dalam kepemilikan (ownership) komputer, dan pertumbuhan eksponensial bisnis sektor teknologi informasi seperti Dell, Yahoo,  dan Microsoft, juga menandai gelombang baru dari EBP, yang disertai dengan trennya perusahaan berbasis komputasi, bioteknologi, manufaktur maju, media, telekomunikasi, dan lainnya (O’Donover, 2020)

Dengan mengoptimalisasi EBP, Indonesia dapat menjadi pemain kunci dalam kompetisi global, terutama karena momentum bonus demografi sedang berlangsung sampai 20 tahun ke depan.

Bonus demografi terjadi apabila penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan penduduk nonproduktif. Lebih banyak populasi produktif diharapkan dapat berkontribusi pada produktivitas nasional dan EPB dapat melipatgandakan angka pertumbuhan yang belum pernah terjadi sebelumnya (Acemoglu 2008).

 
Bonus demografi terjadi apabila penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan penduduk nonproduktif.
 
 

Sebelum kehilangan momentum pada 2040-an, tidak ada salahnya apabila Indonesia mulai berfokus pada percepatan revolusi EBP. Sehingga bonus demografi betul-betul dapat dirasakan sebagai “bonus”, bukan kutukan (demographic curse).

Singkatnya, jangan sampai kita hanya menjadi penonton pasif, dan berakhir sebagai objek pasar negara-negara maju.

Apa yang harus dilakukan? Daya tarik utama EBP adalah potensinya untuk memfasilitasi inklusi sosial, seperti akses yang lebih luas ke pekerjaan lebih baik, dan tingkat kemakmuran materi yang lebih tinggi secara bersamaan.

Dengan demikian, kerja kolektif dari berbagai aktor masyarakat untuk mengembangkan kebijakan dan investasi yang berorientasi EBP perlu dilakukan.

Upaya ini dapat dimulai dengan mengubah paradigma model inovasi dari triple helix yaitu interaksi antara akademisi, industri, dan pemerintah dalam mendorong pembangunan sosial dan ekonomi, kepada multiple helix, yang memungkinkan lebih banyak entitas sipil terlibat dalam pengembangan ekonomi pengetahuan.

 
Dengan demikian, kerja kolektif dari berbagai aktor masyarakat untuk mengembangkan kebijakan dan investasi yang berorientasi EBP perlu dilakukan.
 
 

Wujud konkretnya adalah dengan berinvestasi lebih banyak untuk research and development (RnD) bagi elemen-elemen organisasi yang berfokus pada riset dan inovasi serta pelibatan dalam keputusan birokrasi.

Ini penting, mengingat alokasi RnD kita masih sekitar 0,2 persen dari produk domestik bruto (PDB). Tertinggal jauh dari Korea Selatan yang sudah lama konsisten mengalokasikan alokasi dana untuk RnD di atas empat persen.

Harapannya, tentu tidak hanya sebatas pertumbuhan ekonomi yang signifikan, tetapi juga pertumbuhan ke dalam. Misalnya, pengembangan suatu pemrograman atau mesin pencari data untuk meningkatkan akurasi diagnosis dan penyembuhan bagi berbagai macam penyakit.

Atau empowerment tools yang memungkinkan petani Indonesia dapat menggunakan aplikasi perangkat lunak dan solusi digital untuk mengelola tanaman pertanian mereka dengan lebih baik dan dengan harga produksi lebih murah.

Tentu saja, ini bukan suatu hal yang mustahil dilakukan dan kita sendiri yang nanti menciptakan produknya. Hanya dengan begitu, produk EBP nantinya dapat menyentuh dan tumbuh dari masyarakat lokal agar produknya dihargai pasar serta terjangkau setiap orang.

 
Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi pengetahuan, paradigma investasi juga perlu diterjemahkan tidak hanya sebatas investasi ekonomi, tapi juga investasi sosial.
 
 

Untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi pengetahuan, paradigma investasi juga perlu diterjemahkan tidak hanya sebatas investasi ekonomi, tapi juga investasi sosial.

Investasi sosial dipahami sebagai kebijakan atau pengeluaran publik yang secara langsung bertujuan meningkatkan kapasitas individu dan mendorong lebih banyak cadangan modal manusia yang “berkualitas” dan berpengetahuan.

Senada dengan O’Donovan (2020),  yang menyatakan investasi sosial semestinya menjadi keharusan karena dalam jangka panjang inovasi adalah sumber utama pertumbuhan produktivitas, yang pada gilirannya mendorong peningkatan kemakmuran dan standar hidup individu.

Belajar dari pengalaman Korea Selatan dan Singapura yang berhasil menjadi negara maju dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun, investasi sosial diberikan dengan merestrukturisasi sekolah menengah kejuruan untuk berfokus pada industri teknologi tinggi sekaligus mendorong kolaborasi yang lebih besar dengan mitra industri.

Indonesia bersama negara-negara ASEAN lainnya (kecuali Singapura), masih menyisakan banyak pekerjaan rumah , terutama dalam persiapan teknologi dan inovasi yang diperlukan dalam pengembangan EBP.

Hal itu terutama karena kesenjangan dalam kualitas pendidikan, ditambah dengan angka partisipasi kasar masih di bawah 50 persen (Lohani, 2021).

Pentingnya pendidikan dalam pengembangan EBP ditunjukkan oleh Black & Lynch (1996) yang mengatakan, peningkatan 10 persen dalam pendidikan berimplikasi terhadap peningkatan sebanyak 12,7 persen dalam produktivitas EBP.

Akhir kalam, era ekonomi pengetahuan mengingatkan kita pada satu adagium latin, scientia potentia est. Artinya, pengetahuan adalah alat terkuat yang memberikan manusia modal untuk merekayasa apa yang tidak diproduksi di alam dan menggunakannya untuk mendapatkan manfaat darinya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat