Dokter memantau pasien anak yang mengalami masalah kejiwaan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat, Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (18/3/2021). | REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA

Kabar Utama

Kecanduan Gawai Mengkhawatirkan

Penggunaan gawai lebih dari enam jam per hari berbahaya bagi mental dan psikis anak.

BANDUNG – Berbagai rumah sakit jiwa dan rumah sakit umum melaporkan kasus kecanduan gawai di kalangan anak dan remaja. Fenomena yang kian mengkhawatirkan pada masa pandemi itu dinilai merupakan masalah serius.

Di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, sepanjang 2020 lalu terdapat 104 anak-anak dan remaja yang menjalani rawat jalan terkait adiksi alias kecanduan gawai. Dari jumlah itu, delapan orang murni kecanduan gim di gawai.

Sementara, sepanjang Januari hingga Februari tahun ini, terdapat 14 pasien rawat jalan yang mengalami masalah kejiwaan dan terdampak adiksi gawai. Dari jumlah itu, lima pasien murni karena adiksi gim. Artinya, pasien rawat jalan murni kecanduan gim dalam dua bulan awal tahun ini sudah mencapai lebih dari separuh jumlah sepanjang tahun lalu.

 Direktur RSJ Jawa Barat dr Elly Marliyani mengatakan, para pasien tersebut berusia rentang sembilan hingga 16 tahun. Ia juga menilai, kebijakan pembatasan sosial akibat Covid-19 tidak dimungkiri menyebabkan banyak anak dan remaja kecanduan gawai.

 

Mengutip Badan Kesehatan Dunia (WHO), menurut Elly, anak yang kecanduan gawai dapat dilihat dari perubahan sikap dan perilakunya. Umumnya, terjadi perubahan emosi, termasuk iritabilitas, kemarahan dan kebosanan, gangguan pola tidur dan kualitas tidur yang buruk, depresi dan cemas, serta risiko bunuh diri.

"Gejala lain terlihat pada masalah kondisi fisik, buruknya kondisi kesehatan secara umum, gizi buruk, kehilangan teman di dunia nyata, konflik orang tua, serta rusaknya produktivitas belajar," ungkap Elly.

Untuk mencegah kecanduan, kata Elly, orang tua dapat membatasi pemakaian gawai maksimal dua jam untuk anak. Selain itu, orang tua juga harus memotivasi anak berkegiatan fisik di luar rumah serta  menjauhkan gawai saat di tempat tidur. 

Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak (RSKIA) Kota Bandung juga menyatakan telah menangani belasan anak yang ketergantungan dengan gawai telepon genggam. "Di RSKIA belum ada dokter jiwanya, adanya psikolog. Tahun 2020, (menangani) sebanyak 15 orang," ujar Direktur RSKIA Kota Bandung dr Taat Tagore kepada Republika, Ahad (21/3).

Pada 2021 hingga akhir Februari tercatat tiga anak didaftarkan ke layanan psikologi akibat bermasalah dengan gawai. 

 
photo
Psikiater memeriksa pasien anak yang mengalami kecanduan gawai di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat, Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (18/3). - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

Di Bogor, Klinik Psikatri Anak dan Remaja Terpadu Rumah Sakit (RS) Marzoeki Mahdi (MM) Kota Bogor mencatat, ada empat pasien rawat jalan terkait kecanduan gawai. Kepala Subbagian Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat (Hurkomas) RSMM Kota Bogor Prahardian Priatma sebelumnya sempat menyatakan, tak ada laporan awal tahun ini.

Fenomena remaja dan anak kecanduan gawai ini bukan di Jawa Barat saja. Sebelumnya, Konsultan Anak dan Remaja dari RSJ dr Radjiman Wediodiningrat Lawang, Malang, Tiwik Koesdiningsih juga mengaku, menerima keluhan dari beberapa orang tua selama pandemi Covid-19. 

Anak-anak mereka mulai malas sekolah karena terlalu sering bermain gawai. "Tidak mau mengerjakan tugas-tugas sekolah, tapi kesehariannya bermain gadget, baik itu medsos (media sosial), video gim, gim online, jadi variatif yang mereka bermain itu," kata Tiwik kepada Republika.

Selama pandemi Covid-19, Tiwik setidaknya menerima 10 anak yang melakukan rawat jalan. Kemudian, tujuh orang menjalani rawat inap dengan sumber masalah yang serupa. Rata-rata usia mereka sekitar 11 sampai 17 tahun. Para pasien pada umumnya menunjukkan gejala terlalu lama bermain gawai, menjadi sosok mudah marah, tersinggung, dan acap menentang jika diperintahkan sesuatu oleh orang tua. 

Beberapa pasien ada yang malas merawat diri, seperti mandi dan makan. Ada pula yang sulit tidur, bahkan baru bisa beristirahat pada waktu Subuh. Sekitar dua sampai tiga jam istirahat, mereka bangun lalu langsung mencari gawai kembali. 

Komisi Perlindungan Anak menemukan, 98 anak mengalami kecanduan gim daring di salah satu kecamatan di Jakarta. Dari jumlah itu, 15 di antaranya menjalani rawat jalan di RSJ Grogol, Jakarta. Ada juga dua siswa kelas VII di Kota Cimahi berhenti sekolah sementara selama satu tahun ke depan karena harus menjalani perawatan dan pemulihan akibat kecanduan gim daring.

Empat remaja yang dirawat di RSJ Jawa Barat sempat ditemui Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum, pekan lalu. Seorang di antaranya mengeklaim, sudah dua pekan dirawat di RSJ Jabar. “Sok ngalungkeun (kerap melempar) handphone," ujar seorang remaja putra berusia 15 tahun saat ditanyai soal gejalanya.

Uu Ruzhanul Ulum memandang ini masalah serius dan perlu dicegah sejak dini. “Penting diketahui orang tua bahwa penggunaan gawai lebih dari enam jam per hari berbahaya bagi mental dan psikis anak,” katanya.

Bukan hanya durasi, kata dia, konten yang dibuka anak pun perlu diawasi agar tidak terpapar hal–hal negatif. “Jangan biarkan anak murung sendiri di rumah atau di kamar. Anak harus diusahakan ceria, bergaul dengan orang tua dan teman. Tapi, temannya dipilih dan dipilah juga,” katanya.

Sejauh ini, Pemprov Jabar telah menjalankan program Sekolah Aman Menggunakan Gawai (Setangkai) sebagai pembekalan bagi guru, orang tua, dan anak agar aman dan bijak dalam penggunaan gawai. 

photo
Seorang psikiater memeriksa pasien anak yang mengalami kecanduan gawai di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat, Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (18/3). Direktur RSJ Provinsi Jawa Barat Elly Marliyani mengatakan, jumlah pasien rawat jalan pada Klinik Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja RSJ Provinsi Jawa Barat pada bulan Januari hingga Februari 2021 sebanyak 14 pasien yang mengalami masalah kejiwaan dan lima pasien murni adiksi atau kecanduan penggunaan gawai. Foto: Republika/Abdan Syakura - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

Belum Terdata

Kementerian Kesehatan mengaku belum ada data pasti jumlah laporan remaja Indonesia yang ketergantungan pada telepon pintar. "Sampai saat ini kami belum punya data riil. Mungkin bisa tanya di tingkat rumah sakit jiwa (RSJ)," kata Direktur Kesehatan Jiwa, Direktorat P2P Kemenkes Siti Halimah saat dihubungi Republika, Ahad (21/3).

Ia mengungkapkan, Indonesia belum melakukan penelitian mengenai masalah ini. Kemenkes mengaku kini terus memperbaiki sistem pelaporan dalam kesehatan jiwa ini. 

Di lain pihak, ia menyebutkan, hasil penelitian di luar negeri yang menunjukkan adanya peningkatan adiksi internet sampai 24 persen selama masa pandemi. 

Lebih lanjut untuk mengantisipasi masalah ini terjadi di Tanah Air, pihaknya terus melakukan sosialisasi dan advokasi melalui berbagai media, seperti mengadakan seminar hingga koordinasi lintas sektor. Kemenkes berharap masalah-masalah ini bisa dicegah.

"Kami juga menyusun protokol dukungan kesehatan jiwa dan psikososial untuk anak remaja bersama dengan beberapa kementerian terkait. Tujuannya untuk memberikan dukungan pada anak-anak dan remaja pada masa pandemi Covid-19 ini," ujarnya.

Pihaknya juga melakukan penguatan kapasitas layanan primer dalam mengenali, menata laksana, dan melakukan rujukan pada masalah kesehatan jiwa. Ini termasuk masalah kesehatan jiwa pada anak dan remaja. 

Kendati demikian, ia meminta masyarakat juga memberikan kontribusi. Sebab, dia melanjutkan, perlindungan pertama bagi anak-anak dan remaja adalah keluarganya.

Ia meminta jadikan masa-masa pandemi ketika keluarga banyak berkumpul di rumah sebagai kesempatan untuk saling berkomunikasi, saling mendukung, dan saling menguatkan. "Sehingga, terbentuk kohesivitas yang kuat pada keluarga," ujarnya. 

Komisioner Komisi Perlindungan Anak, Retno Listyarti menilai, pentingnya peran orang tua dalam mencegah kecanduan gawai pada anak. Pernyataan ini ia sampaikan berkaitan semakin banyak anak yang kecanduan atau ketergantungan pada anak, bahkan tidak sedikit anak harus memperoleh perawatan medis.

Retno menilai, peran orang tua dibutuhkan untuk memberi aturan mengenai pembatasan anak menggunakan gawai. Sebab, jika tidak ada pengawasan, anak bisa menggunakan gawai sesukanya yang menyebabkan ketergantungan. 

Retno mengakui, apalagi dengan adanya pandemi Covid-19 semakin meningkatkan kecanduan pada anak dan berimplikasi terhadap pendidikan. "Tanpa aturan main, anak bermain gim online sesukanya sampai pagi dan baru jelang subuh tertidur, akibatnya saat PJJ tidak pernah mengikuti," kata Retno kepada Republika, kemarin.

Dia mengungkapkan, KPAI memang tidak menerima aduan dari orang tua yang anaknya kecanduan dengan gawai. Namun, Retno secara pribadi mencatat kasus-kasus yang berkaitan dengan kecanduan gawai yang dialami anak-anak pada 2021 ini.

"Beberapa data diperoleh saat pengawasan tanpa disengaja, karena tujuan utama adalah pengawasan penyiapan sekolah tatap muka di satuan pendidikan," katanya.

Remaja lelaki

Psikiater Spesialis Anak dan Remaja Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Jawa Barat, dr Lina Budiyanti mengatakan, periode Januari hingga Desember tahun 2020, pasien yang mengalami kejiwaan dan terdampak kecanduan gim di tempatnya mengabdi berusia sembilan tahun hingga 15 tahun.

Selain itu, mayoritas laki-laki. "Jenis kelamin, waktu wawancara kebanyakan laki-laki sesuai teori," ujarnya, Ahad (21/3).

photo
Perawat beraktivitas di kamar tidur pasien anak di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Jawa Barat, Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (18/3).  - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

Ia mengatakan, dari delapan pasien yang mengalami kecanduan gim sebanyak tujuh orang di antaranya laki-laki pada 2020 dan 2021. Ia melanjutkan, anak-anak yang sedang menjalani rawat jalan membutuhkan proses penyembuhan, bergantung pada berat dan ringan tingkat kecanduan. Namun, jika konsisten pengobatan akan semakin terus membaik.

"Di awal-awal pengobatan bisa saja naik turun kondisinya, tapi pada umumnya jika konsisten terus pengobatannya dan pola asuhnya jadi lebih baik pada umumnya, terus membaik," katanya.

Ia menambahkan, penanganan untuk kecanduan internet memerlukan kolaborasi di antara para profesional di bidang kesehatan jiwa serta keluarga. Terapi yang diberikan, yaitu konseling, psikoterapi, dan pada kasus-kasus yang berat atau sudah ada gejala gangguan jiwa bisa juga diberikan obat.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat