Sebelum memeluk Islam, Herald Chia membaca terjemahan Alquran. Dia terkesima dengan dua ayat yang dibacanya setelah membuka acak mushaf Alquran. | DOK IST

Oase

Herald Chia, Menjemput Hidayah dari Dua Ayat Alquran

Sebelum menemukan Islam, Herald Chia asal Singapura ini menganut paham agnostisisme.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

 

Allah SWT memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus (QS al-Baqarah: 213). Maka, beruntunglah orang-orang yang memperoleh hidayah Ilahi.

Apalagi, mereka yang sebelumnya jauh dari iman dan Islam. Dengan komitmen untuk terus meningkatkan ketakwaan, insya Allah hidupnya akan selalu dinaungi ridha-Nya.

Itulah yang dirasakan Herald Chia. Mantan penganut agnostisisme itu bersyukur lantaran kini telah menjadi seorang Muslim. Lelaki yang lahir dengan nama Chia Jun Hao itu merupakan keturunan Tionghoa. Ayahnya seorang pemeluk Katolik, sedangkan ibunya semata-mata memeluk kepercayaan terhadap leluhur.

Sejak kecil, warga negara Singapura itu cenderung pada agama bapaknya. Malahan, dia sempat dibaptis. Sejak berusia anak-anak hingga remaja, ia cukup aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan tersebut.

Barulah ketika menginjak usia 20 tahun, dia mulai sering merenungi arti kehidupan. Waktu itu, Herald sudah menempuh studi pendidikan tinggi di Universitas RMIT, Melbourne, Australia. Ia memilih dua jurusan, yakni filsafat dan media komunikasi.

 
Barulah ketika menginjak usia 20 tahun, dia mulai sering merenungi arti kehidupan.
 
 

 

Saat itu, kerap kali ia berpikir tentang hakikat kepercayaan kepada Zat Yang Maha Kuasa. Sempat tebersit pemikiran, agama bukanlah sesuatu yang esensial dalam kehidupan manusia. Sebab, menurutnya kala itu, tanpa agama pun kehidupan orang dapat berlangsung sewajarnya.

“Saya berpikir bahwa semua agama adalah buatan manusia sehingga kita bisa hidup dengan prinsip dan standar yang kita buat sendiri. Asalkan kita bahagia dan membuat orang lain bahagia, itu sudah cukup,” ujar dia menuturkan kisahnya kepada Republika beberapa waktu lalu.

Sejak saat itu, Herald mulai menanggalkan agama lamanya. Dalam persepsinya, mulai ketika itu dirinya hidup bebas. Selama masa kuliah, ia lebih sering bersenang-senang, berpesta pora. Bahkan, nyaris setiap malam dia tak pernah absen untuk pergi ke bar atau klub malam.

Hingga satu ketika, ibunya menghubungi Herald. Perempuan yang paling dikasihinya itu mengabarkan bahwa nenek telah pergi untuk selamanya. Seketika, senyum sang nenek terbayang di pelupuk matanya. Betapa Herald sangat terpukul atas kabar duka tersebut.

Dari Australia, ia kemudian pulang untuk menghadiri pemakaman neneknya. Di sana, ia kembali termenung, merasa bahwa prinsip hidup yang selama ini dipegangnya ternyata salah.

Sebelumnya, Herald kerap merasa yakin bahwa setiap orang berhak hidup bahagia asalkan mempersiapkan segala hal untuk mencapai kebahagiaan itu. Ternyata, akan selalu ada kejadian-kejadian yang tidak diprediksi sebelumnya atau tidak mungkin diantisipasi. Contoh paling nyata adalah kematian. Betapa hidup hanyalah sementara.

 
Contoh paling nyata adalah kematian. Betapa hidup hanyalah sementara.
 
 

 

Herald kemudian menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang mengatur segalanya. Zat itu lebih besar dibanding kematian. Bahkan, Dia-lah yang mengendalikan kematian.

Kesadaran tersebut tidak lantas membuatnya kembali kepada agama. Hingga saat itu, lelaki yang menyukai dunia fotografi tersebut memutuskan untuk menjadi agnostik.

Ia meyakini, kebenaran tertinggi—semisal Tuhan—tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui manusia. Menurutnya, manusia akan selalu kekurangan informasi atau kemampuan rasional untuk membuat pertimbangan tentang kebenaran yang tertinggi.

Usai prosesi pemakaman neneknya, Herald pun kembali ke Australia untuk menyelesaikan studinya. Setelah berhasil meraih gelar sarjana, ia pulang ke Singapura. Dalam benaknya saat itu, yang terpenting adalah mencari uang sebanyak-banyaknya.

Sebisa mungkin, bekerja keras agar dengan cepat bisa mengembalikan uang yang telah dihabiskannya untuk kuliah. Herald lantas bekerja pada sebuah bank, padahal latar belakang pendidikannya adalah media dan komunikasi. Tentu, ia cukup awam dengan ilmu keuangan dan asuransi.

Beruntung, ada seorang rekannya yang baik sehingga sering membantunya untuk memahami seluk beluk pekerjaan. Dia begitu kagum karena rekannya itu mau menolongnya ketika kebanyakan orang lebih suka mementingkan diri sendiri. Setelah lama berkenalan, Herald baru mengetahui bahwa rekannya ini adalah seorang Melayu-Muslim.

 
Dia begitu kagum karena rekannya itu mau menolongnya ketika kebanyakan orang lebih suka mementingkan diri sendiri.
 
 

 

Melihat kepribadiannya yang baik, Herald pun tertarik untuk menikahinya. Akan tetapi, saat itu ia sendiri tidak beragama, sedangkan perempuan yang dicintainya adalah seorang Muslimah.

Yang diketahuinya, wanita yang memeluk Islam dilarang menikah dengan non-Muslim. Karena berniat sungguh-sungguh, ia pun mencoba untuk memberikan kesempatan bagi dirinya sendiri untuk mengenal Islam.

“Namun, saya tidak ingin memberikan harapan berlebih kepada gadis itu jika ternyata saya tidak cocok dengan Islam. Saya tidak mau menggantungnya. Jadi, sesegara mungkin saya mempelajari Islam dan memberi tahu apa yang menjadi pilihannya,” jelasnya.

Ia pun memutuskan untuk mengunjungi Darul Arqam, pusat mualaf di Singapura. Di sana, lelaki ini mengikuti kelas untuk non-Muslim yang ingin mengenal Islam. Pada sesi tanya-jawab, Herald kemudian mengajukan pertanyaan tentang mengapa Islam hanya mengakui satu Tuhan? Mengapa bukan dua, tiga atau empat?

Ustaz yang membimbingnya menjawab pertanyaan itu secara logis. Herald senang mendengarnya. Baginya, sebuah penjelasan harus terlebih dahulu diterima logika, baru kemudian dapat diyakini sepenuh hati.

Sang Ustaz menjawab, bagaimana mungkin Tuhan banyak? Bagaimana jika Tuhan berjumlah banyak dan akan menciptakan satu manusia? Tuhan yang satu akan menciptakan satu bagian, sedangkan tuhan lain akan menciptakan bagian lainnya. Mereka akan berlomba-lomba mengakui bahwa hasil ciptaannya yang terbaik dan perdebatan itu tak akan pernah selesai.

“Jawaban ustaz tersebut logis. Bahwa hanya ada satu Tuhan. Tuhan Yang Maha Esa, Maha Tinggi dan Maha Kuasa menciptakan semua yang ada di alam semesta,” tuturnya.

photo
Sejak menjadi Muslim, Herald Chia (kiri) memilih nama baru, yakni Muhammad Firdaus Chia. - (DOK IST)

Bermimpi

Satu pekan terakhir Ramadhan, di satu malam Herald bermimpi. Dalam mimpi itu, dia sedang berjalan di sebuah lorong. Tampak di ujung lorong tersebut, ada seorang sosok. Wajahnya terlihat bercahaya. Hanya satu kalimat yang disampaikannya, “Kapan kamu akan menjadi keluarga kita, Saudaraku?”

Setelah bangun, Herald berpikir, mungkin saja mimpi itu terjadi karena dia terlalu menghabiskan waktu untuk mempelajari Islam. Saking seringnya, sampai-sampai terbawa mimpi. Masih pada hari yang sama, seorang rekannya yang bernama Ibrahim mengajaknya untuk makan malam bersama.

Di sela-sela makan, Ibrahim bertanya perihal Herald yang sering mengunjungi Daarul Arqam untuk mempelajari Islam. Dan saat itu juga Ibrahim mengajukan pertanyaan dengan redaksi yang sama dengan sosok yang dimimpikannya.

Waktu itu, Herald masih berpikir bahwa itu hanyalah kebetulan. Namun, pada malam berikutnya ia kembali memimpikan sosok bercahaya yang sama. Beberapa hari kemudian, ia pun memutuskan untuk mencari pertanda untuk menguatkan pilihannya; bahwa Islam adalah agama yang akan dianutnya.

Dia mencarinya di kitab-kitab. Tidak hanya (terjemahan) Alquran, kitab agama sebelumnya pun ditelaahnya kembali.

Bagaimanapun, baru setelah membaca Alquran, ia merasa telah menemukan kebenaran tentang Tuhan. “Saya harus melihat teks yang saya baca benar-benar memperlihatkan bahwa Tuhan adalah sebuah kebenaran dan agama tersebut (Islam) yang benar,” katanya.

 
Saya harus melihat teks yang saya baca benar-benar memperlihatkan bahwa Tuhan adalah sebuah kebenaran dan agama tersebut (Islam) yang benar.
 
 

 

Saat membuka Alquran secara acak, dia menemukan surah al-Hajj ayat 54. Artinya, “Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwa (Alquran) itu benar dari Tuhanmu, lalu mereka beriman dan hati mereka tunduk kepada-Nya. Dan sungguh, Allah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.”

Herald membuka kembali mushaf Alquran secara acak. Pandangannya terpaku pada halaman surah Fussilat ayat 53. Artinya, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

Dua ayat itu ternyata menjadi pembuka mata batinnya. Hatinya seakan-akan tersinari cahaya yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Kegundahan yang selama ini dirasakannya terjawab sudah. Tak terasa, air mata mengalir membasahi pipinya. Herald langsung memohon ampun kepada Allah dengan setulus-tulusnya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Herald Chia (herald.chia)

Saat itu juga, dia berniat segera memeluk Islam. Tidak ingin didahului ajal menjemputnya. Herald kemudian menghubungi Darul Arqam dan menjelaskan persyaratan apa yang disiapkan untuk menjadi Muslim. Cukup dengan bersyahadat.

Tepat pada 2 November 2014, Herald mengucapkan dua kalimat syahadat. Prosesi ini disaksikan dengan keluarga dan guru yang membimbingnya, Ustaz Saifur Rahman, di Darul Arqam. Sejak menjadi Muslim, dia memilih nama baru, yaitu Muhammad Firdaus Chia.

Dia bersyukur kedua orang tua dan adiknya menerima pilihan agamanya bahkan sebelum dia bersyahadat. Namun, butuh kesabaran untuk menjelaskan secara perlahan mengenai kebiasaan seorang Muslim, terutama dalam soal makan, minum dan beribadah lima waktu. Begitu juga ketika di kantor, ia harus menjelaskan kepada atasannya bahwa dia membutuhkan waktu 10 menit untuk melaksanakan shalat.

“Alhamdulillah, saya bersyukur kepada Allah atas hidayah yang diberikan. Semoga saya selalu konsisten di jalan Islam,” ucapnya.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat