Menurut KH R Ahmad Azaim Ibrahimy, Islam memuliakan orang-orang beriman.dan lagi berilmu. Maka, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, tersebut mengajak Muslimin untuk selalu menumbuhkan semangat belajar agama. | DOK IST

Hiwar

KH R Ahmad Azaim Ibrahimy, Keutamaan dan Adab Berilmu

KH R Ahmad Azaim Ibrahimy meneruskan perjuangan KH Asad Samsul Arifin mengasuh Pesantren di Situbondo.

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berikhtiar menuntut ilmu di sepanjang hayat. Dalam Alquran, Allah SWT berkali-kali menyuruh manusia agar mendayagunakan potensi akal pikirannya semaksimal mungkin. Dengan demikian, mereka patut mencapai taraf orang-orang yang berilmu.

KH R Ahmad Azaim Ibrahimy mengatakan, Islam memuliakan orang-orang yang beriman. Adapun kaum yang berilmu diberi kemuliaan lagi beberapa derajat. Hal itu disebutkan dalam Alquran surah al-Mujadalah ayat 11. Maka dari itu, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, tersebut mengajak kaum Muslimin untuk mengejar keutamaan demikian.

“Kalimat ‘beberapa derajat’ di situ menunjukkan, betapa Islam memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada ilmu dan orang yang berilmu,” ucapnya.

Cucu pahlawan nasional KHR As’ad Syamsul Arifin ini menjelaskan, kapasitas keilmuan telah menjadi tolok ukur yang dicanangkan Allah sejak manusia pertama tercipta. Peristiwa sujudnya para malaikat kepada Nabi Adam AS, atas perintah-Nya, merupakan penanda kemuliaan orang berilmu dibanding yang tak berilmu.

“Bentuk penghormatan malaikat dalam sujud itu adalah apresiasi yang Allah perintahkan, bukan penyembahan,” kata Mudir (Direktur) Ma’had Aly Situbondo ini.

Bagaimana Islam memberi tuntunan dalam menuntut ilmu? Bagaimana sikap yang seharusnya ditunjukkan untuk orang yang belum berilmu tetapi merasa diri “lebih” tahu? Menjawabnya, berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, dengan alumnus Ma'had Rushaifah Makkah, Arab Saudi, ini beberapa waktu lalu.

Bagaimana Islam memuliakan ilmu dan orang yang berilmu?

Sejak awal, risalah agama ini disebarluaskan oleh baginda Nabi Muhammad SAW kurang lebih 14 abad yang silam. Dan, beliau mengajarkan keutamaan ilmu. Alquran pun menegaskan bahwa “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS al-Mujadalah: 11).

Kalimat “beberapa derajat” di situ menunjukkan, betapa Islam memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada ilmu dan orang yang berilmu. Tidak hanya satu derajat, tetapi beberapa derajat. Jadi, ini sangat luar biasa.

Ketika Nabi Adam AS diciptakan, saat itu ada perdebatan di kalangan makhluk Allah yang lain. Bahkan, malaikat sempat mempertanyakan tujuan diciptakannya manusia. Setelah itu, Nabi Adam diperintahkan oleh Allah untuk menyebutkan nama-nama benda. Akhirnya, mereka pun takjub kepada Nabi Adam.

Sampailah pada peristiwa diperintahkannya para malaikat untuk menghormati Nabi Adam dengan cara bersujud. Sujud di sini tidak berarti penyembahan. Para mufassir memberikan komentar bahwa Allah menciptakan Nabi Adam dengan organ-organ berbeda dan potensi kekuatan berbeda, serta dipersiapkan untuk menjangkau semua jenis pengetahuan. Maka, bentuk penghormatan dalam sujud itu adalah apresiasi yang Allah perintahkan (kepada malaikat), bukan penyembahan.

Apakah ilmu berkaitan dengan adab?

Kita pertama-tama harus mengetahui apa adab itu. Imam Ibnu Hajar al-'Asqalani (1372-1449) mendefinisakan, adab adalah mengambil kemuliaan akhlak. Jadi, ada banyak karakter mulia. Namun, ketika karakter itu diambil menjadi perilaku, itulah adab.

Pamahaman tentang adab menjadi luas ketika dibagi menjadi dua. Adab itu ada yang tabi’i atau secara tabiat. Artinya, memang Allah menciptakan itu pada diri manusia, baik misalnya cara berbicara maupun cara bersikap. Kemudian, ada adab yang merupakan hasil sebuah proses. Misalnya, (cara) berinterkasi dengan orang yang punya kemuliaan dan punya ilmu, lalu kebaikan itu menular, menjadi berpengaruh kepada perilakunya.

Sering dikatakan bahwa adab mendahului ilmu. Apa maksudnya?

Di sinilah poinnya. Karakter itu terbangun sebelum sebuah proses transfer keilmuan terjadi. Akan tetapi, ketika seseorang mengambil adab, sebenarnya sudah termasuk bagian dari ilmu itu sendiri. Imam Malik bin Anas, umpamanya. Ketika menasihati seorang pemuda dari Quraish, ia berkata, “Belajarlah adab sebelum engkau mempelajari ilmu,”

Kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir pun mengajarkan akhlak tentang adab. Ketika Nabi Musa ditanya, siapakah orang yang paling alim di dunia saat ini? Nabi Musa kemudian menjawab, tidak ada yang lebih alim selain saya.

Perkataan itu bukan sombong, tetapi maksudnya beliau hanya menyampaikan realitas yang diketahuinya. Namun, kemudian Allah berkehendak memberikan pelajaran penting agar Nabi Musa mencari hamba-Nya yang saleh, Nabi Khidir.

Padahal, boleh jadi, secara keilmuan syariah, yang memahami kitab Taurat waktu adalah Nabi Musa. Namun, ada hal lain yang Allah ingin tunjukkan. Nabi Musa diperintahkan untuk belajar banyak hal tentang adab kepada Nabi Khidir. Itulah makna mendahulukan adab sebelum ilmu.

photo
Sejumlah massa yang tergabung dalam Ikatan Santri dan Alumni Salafiyah Syafiiyah (IKSASS) melakukan aksi unjuk rasa, di Mapolres Situbondo, Jawa Timur, Selasa (1/9/2020). Dalam aksinya massa IKSASS mendesak kepolisian untuk memproses pelaku penipuan dengan mencatut nama pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo KHR Ach Azaim Ibrahimy - (ANTARA FOTO/Seno)

Apakah yang dimaksud dengan ilmu hikmah?

Secara umum, kita harus memahami firman Allah SWT, yang artinya, “Dia (Allah) memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat” (QS al-Baqarah: 269).

Di situ, ada (penjelasan tentang) karakter orang yang akan memperoleh hikmah. Mereka berkarakter ulul albab, yakni tidak hanya mempunyai kecerdasan intelektual, tapi juga spiritual. Ada perpaduan dari keduanya yang saling melengkapi.

Jadi kalau hanya memiliki wawasan, hafalan, atau teori-teori, itu belum sampai pada tingkatan hikmah. Itu hanya al-maklumat atau informatif. Misalnya, seseorang hanya hafal beberepa teori-teori hukum atau nilai-nilai kebaikan. Namun, belum tentu dia mengamalkannya. Ini sebenarnya berisiko tinggi. Bisa-bisa, dia menyalahgunakan keilmuan untuk menuruti hawa nafsunya.

Banyak orang berilmu, tetapi justru tak memberi pencerahan di tengah masyarakat. Bagaimana menurut Anda?

Nah, ini korelasinya dengan ayat tadi. Coba perhatikan, peristiwa Nabi Adam yang mendapatkan kemuliaan ilmu sehingga para malaikat pun bersujud. Namun, ternyata saat itu Iblis tidak ikut bersujud. Iblis enggan dan takabur.

Yang perlu kita luruskan, (anggapan bahwa) Iblis tidak mau bersujud karena tauhidnya sangat tinggi sehingga hanya mau bersujud kepada Allah. Bukan seperti itu. Karena, dalam diri Iblis ada karakter kesombongan, pengingkaran. Sebelumnya, Iblis dikenal dengan nama Azazil. Ia merasa sebagai yang terbaik dari sejumlah ciptaan Allah.

Mengapa Azazil diganti namanya menjadi Iblis? Karena ternyata dia berputus asa dari rahmat Allah. Makhluk yang dulu pernah terkenal dengan kealimannya, kemudian keluar dari wilayah kemuliaan itu karena faktor kesombongan dan berputus asa dari rahmat Allah. Ketika dikeluarkan dari rahmat Allah, maka dia pun terlaknat selamanya.

Iblis dahulunya sosok makhluk yang alim, tetapi kemudian justru banyak menyesatkan manusia. Ini menunjukkan, sosok yang berilmu, tetapi justru tidak memberikan pencerahan di tengah sesama masyarakat. Ternyata, persoalannya adalah kesombongan dan salah menata niat.

Ada pula orang-orang yang tidak memiliki ilmu memadai, tetapi senang disebut alim. Terhadap mereka, apa yang sebaiknya dilakukan?

Saya teringat Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulum ad-Din ketika dirinya menukil ucapan al-Kholil Ibnu Ahmad //rahimahullah//. Dikatakan, manusia memiliki empat karakter. Pertama, orang yang mengetahui dan sadar bahwa dirinya mengetahui. Itulah orang yang berilmu. Maka, ikutilah dia. Sebab, dialah sosok yang pantas dimintai fatwa.

Kedua, orang yang mengetahui, tetapi tidak sadar bahwa dirinya mengetahui. Itulah orang yang tidur. Maka, bangunkanlah. Ketiga, orang yang tidak mengetahui dan sadar bahwa dirinya tidak mengetahui. Itulah orang yang mencari petunjuk atau bimbingan. Maka, tunjukkan atau bimbinglah.

Nah, yang keempat ini sesuai dengan pertanyaan Anda. Yaitu, orang yang tidak mengetahui dan tidak sadar pula bahwa dirinya tidak mengetahui. Perlu dihindari karakteristik semacam ini.

Bagaimana cara agar tumbuh keinginan yang kuat untuk belajar ilmu-ilmu agama?

Bahwa agama ini adalah jalan untuk menuntun kita kepada masa depan yang baik. Orang yang sebenarnya berorientasi masa depan dan berpikir visioner, dia tidak hanya berpikir tentang bagaimana mempersiapkan diri ketika tua atau memasuki masa pensiun. Namun, dia juga merenungi, bagaimana mempersiapkan diri setelah kematian. Sebab, ada kehidupan setelah kematian; dan itu abadi selamanya. Pilihannya ada dua, yakni surga atau neraka.

Nah, mempelajari agama adalah bekal untuk ke negeri akhirat. Inilah orang visioner yang sesungguhnya. Bukan yang belajar hari ini untuk merancang cita-cita duniawi saja. Menghabiskan seluruh jatah usia untuk ambisi di dunia fana ini saja, entah melalui profesi apa pun. Tidak cukup seperti itu. Kita pun mesti mengutamakan waktu untuk agama. Sebab, agama adalah jalan untuk kebahagiaan yang abadi.

Saat ini, banyak orang mendapatkan konten religius dari internet atau media sosial. Cukupkah itu untuk mengganti belajar agama secara langsung kepada ulama?

Kalau untuk menggantikan, saya sangat keberatan. Sebab, talaqqi atau bertemu langsung dan bertatap muka itu nilai keberkahannya tak tergantikan. Namun, bila dalam situasi darurat, seperti pandemi Covid-19 akhir-akhir ini, memang banyak pembelajaran yang dilakukan secara daring. Namun, itu pun harus ada etikanya. Misal, seseorang harus mengetahui sumber ilmu pengetahuan yang diperolehnya, mengenal profil ulama yang menyampaikan konten dakwah, dan memastikan bahwa itu adalah ucapannya—bukan editan pihak-pihak tak bertanggung jawab.

Tentu kalau berbicara tentang orang yang belajar tatap muka langsung dengan guru atau kiai, itu keberkahan yang insya Allah dirasakannya tak akan bisa tergantikan. Orang yang menempuh jarak cukup jauh dengan biaya, pengorbanan, waktu, insya Allah akan memperoleh berkah. Apalagi, mereka tinggal bersama dengan guru di suatu lembaga pendidikan, misalnya pesantren. Bandingkan dengan mereka yang hanya duduk belajar secara daring. .

Malahan, mungkin saja mereka yang hanya belajar lewat daring tidak dibarengi dengan adab. Misalnya, pakaian yang dikenakannya tidak sopan. Saat mengaji melalui internet, dia telanjang dada. Ini kan etikanya sangat tidak benar sehingga sulit memperoleh keberkahan. 

photo
Ustajah mengajar santri mengaji dan pendidikan agama di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Sabtu (20/10/2018). ANTARA FOTO/Ampelsa/foc. - (ANTARA FOTO)

Meneladan semangat juang sang kakek 

KHR Ahmad Azaim Ibrahimy merupakan pengasuh keempat Pondok Pesantren Salafiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Sebagai seorang pengajar dan pendakwah, dirinya selalu berupaya menghadirkan karakteristik Islam, rahmatan lil ‘alamin.

Dalam hal ini, alumnus Ma'had Rushaifah Makkah, Arab Saudi, tersebut juga menyerap spirit perjuangan yang diwariskan sejak dari kakeknya, KH R As’ad Syamsul Arifin. Pada 2016, pemerintah RI mengangkat tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu sebagai seorang pahlawan nasional.

Kiai Ahmad Azaim menuturkan, ulama keturunan Sunan Bonang dan Sunan Ampel itu mencurahkan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan bangsa. Maka dari itu, KH R As’ad Syamsul Arifin merupakan suatu mata air keteladanan.

“Beliau sosok kakek bagi kami dalam keluarga. Beliau inspirator semangat juang. Masa hidupnya merentang sejak zaman pra-kemerdekaan, saat kemerdekaan, hingga pasca-kemerdekaan RI,” ujar Kiai Azaim kepada Republika, baru-baru ini.

Dai kelahiran 25 Januari 1980 tersebut menjelaskan, Kiai As’ad pernah bergerilya di hutan belantara untuk turut serta dalam laskar-laskar perjuangan. Pahlawan nasional ini lahir pada 1897 di Makkah, tepatnya Kampung Syi’ib Ali, Arab Saudi—tak jauh dari Masjidil Haram. Kala itu, kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana untuk memperdalam ilmu keislaman.

Peran berikutnya yang juga mengemuka dari kehidupan Kiai As’ad terkait Pancasila. Sang alim menjadi sosok penting di balik penerimaan NU terhadap Asas Tunggal Pancasila pada era Presiden Soeharto. “Beliau (Kiai As’ad) adalah salah satu tokoh yang punya peran penting dan itu mungkin menjadi amal jariah beliau sehingga bangsa ini terkawal dengan baik,” katanya.

Mungkin, masih banyak yang belum mengetahui bahwa Kiai As’ad turut mempelopori berdirinya madrasah di berbagai daerah, pedalaman maupun kepulauan terpencil. Menurut Kiai Azaim, lulusan dari madrasah-madrasah itu akhirnya banyak melanjutkan pendidikannya ke pesantren di Jawa. Semangat juang Kiai As’ad inilah yang selalu diteladani Kiai Azaim dalam berdakwah.

Suami Hajjah Nur Sari As'adiyah ini lahir dari putri Kiai As’ad yang bernama Nyai Hajjah Zainiyah As’ad. Sedangkan ayahnya bernama KH Dhofier Munawwar, seorang ulama ahli fikih dan ushul fikih. Kiai Azaim pernah menempuh pendidikan di beberapa pesantren di Tanah Air sebelum meneruskan studi ke Tanah Suci. Beberapa lembaga tempatnya pernah menuntut ilmu, yakni Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Pondok Pesantren Ilmu Al-Qur’an (PIQ) Singosari Malang, dan Pondok Pesantren Al-Ishlah Kampung Saditon Lasem. Di Ma’had Rushaifah Makkah, dirinya dibimbing antara lain Abuya Sayid Muhammad Alwi Al-Maliki.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat