Sejumlah petugas Bea Cukai dan Kejaksaan Tinggi Negeri Banten memusnahkan barang bukti minuman keras (miras) dan rokok impor ilegal di Tempat Penimbunan Pabean (TPP), Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (2/3/2021). Sebanyak 1.168.483 rokok dan | Fakhri Hermansyah/ANTARA FOTO

Kabar Utama

Lampiran Miras Dihapus

Kepala BKPM mengeklaim usulan poin miras di Perpres 10/2021 datang dari daerah.

JAKARTA -- Presiden Joko Widodo menghapus poin dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang mengatur tentang pembukaan investasi industri minuman keras (miras). Jokowi menyatakan, keputusan itu diambil atas masukan tokoh-tokoh agama. 

"Saya putuskan, lampiran perpres mengenai pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," ujar Jokowi dalam keterangannya, Selasa (2/3).

Ia mengakui, keputusan itu diambil setelah mempertimbangkan masukan dari para ulama, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan tokoh agama lain. Pencabutan poin tentang pembukaan investasi miras, imbuh Presiden, juga mempertimbangkan masukan dari provinsi dan daerah. 

Perpres 10/2021 sedianya berlaku menyeluruh untuk penanaman modal berbagai industri. Meski begitu, dalam beleid tersebut diselipkan pencabutan minuman beralkohol dari daftar investasi negatif menjadi investasi terbuka. Beleid itu merupakan salah satu turunan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan ditandatangani Presiden Jokowi pada 2 Februari.

Lebih terperinci, dalam Lampiran III Perpres 10/2021 diatur bahwa penanaman modal baru usaha miras dapat dilakukan di Bali, NTT, Sulut, dan Papua berdasarkan “kearifan lokal”. Hal serupa juga dapat dilakukan di provinsi lain atas usulan gubernur dengan persetujuan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia juga memaparkan alasan miras dikeluarkan dari daftar investasi negatif lewat Perpres 10/2021. "Salah satunya karena di beberapa provinsi ada kearifan lokal (miras). Jadi, dasar pertimbangannya masukan dari pemda dan masyarakat setempat," tutur Bahlil, Selasa (2/3).

Di Bali, misalnya, ia menyebut terdapat arak lokal kualitas ekspor. Produk tersebut dinilai akan lebih bernilai ekonomi jika dibangunkan industri. Namun, sambung dia, beberapa daerah justru menolak investasi miras, seperti Papua. "Tokoh masyarakat di Papua WA saya. Di sana ada perda miras. Jangankan investasi miras, peredaran miras pun dilarang. Aspirasi itu kami sampaikan juga ke Presiden," ujar Bahlil. 

Ia juga mengeklaim poin tersebut disusun melalui perdebatan panjang dan diskusi komprehensif dengan berbagai tokoh. "Namun, atas kajian mendalam lewat proses mendengarkan aspirasi dari tokoh agama juga berbagai pihak, poin tersebut pada perpres dicabut," ujar dia.

photo
Tangkapan layar Lampiran III Perpres Nomor 10 Tahun 2021 - (https://jdih.setkab.go.id)

Bahlil Lahadalia juga mengungkapkan, izin pembangunan industri minuman beralkohol di Indonesia sudah ada sejak 1931. Sampai sekarang, sekitar 109 izin pembangunan itu telah keluar di 13 provinsi. 

Namun, hingga saat ini belum ada investor baru miras yang masuk atau mengajukan izin. Maka, pencabutan poin perizinan investasi miras dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 dinilai tidak berdampak sistemis. Sampai hari ini, lanjutnya, BKPM hanya melayani bahan baku industri miras yang sudah ada.

Sebelumnya, Gubernur Bali I Wayan Koster memang sempat terekam pada 2019 menyatakan akan mengusulkan revisi regulasi pusat agar arak Bali bisa diproduksi di daerah tersebut. Belakangan, ia juga menyambut baik terbitnya Perpres 10/2021.

"Atas nama pemerintah dan krama (masyarakat Bali), saya menyampaikan apresiasi dan terima kasih sebesar-besarnya kepada Presiden Jokowi," ujar dia merespons perpres tersebut, pekan lalu.

Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Laiskodat juga menyambut perpres tersebut. "Saya sebagai gubernur NTT mengucapkan terima kasih atas dukungan penuh dari Presiden Jokowi sehingga potensi lokal yang ada dapat didorong menjadi kelas dunia," ujar politikus Nasdem itu Senin (1/3). Perlu diketahui, Laiskodat belakangan kerap menggencarkan produk sopi, minuman keras dari NTT yang berkadar alkohol mencapai 40 hingga 60 persen.

Dukungan juga disampaikan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey. "Saya kira itu sesuatu hal yang sangat baik. Sampai sekarang memang sudah ditunggu kebijakan ini," kata dia, Ahad (28/1). Olly menyatakan, perpres itu bisa mendorong produksi Cap Tikus, minuman keras berkadar alkohol 50 persen dari daerah tersebut.

Sebaliknya, Pemprov Papua yang juga sempat masuk daerah terbuka produksi miras dalam Perpres 10/2021 menolak dengan tegas. "Perpres investasi miras yang dikeluarkan bertolak belakang dengan Peraturan Daerah Khusus Nomor 13 Tahun 2015 tentang Pelarangan Miras di Papua," ujar Penjabat Sekretaris Daerah Papua Doren Wakerkwa, Senin (1/3).

Seturut dengan sikap Pemprov Papua sebelumnya dan Majelis Rakyat Papua (MRP), miras di daerah itu dipandang sebagai perusak generasi muda Papua dan pemicu kekerasan dalam rumah tangga.

Salah Kaprah Kearifan Lokal

Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Imam Prasodjo menampik jika minuman keras (miras) beralkohol merupakan budaya atau kearifan lokal dari suatu daerah. Menurut dia, jika ditilik secara harfiah, kearifan lokal adalah perilaku kolektif yang bijak dan tumbuh di komunitas lokal serta bernuansa positif.

"Miras yang konotasinya minum dan memabukkan, itu bukan kategori budaya. (Justru), itu adalah noise dari budaya," ujar dia kepada Republika Selasa (2/3). Menurut Imam, budaya adalah cara hidup yang positif dan memiliki keunikan dengan kontribusi terhadap peradaban. 

Hal serupa juga menjadi makna dari kearifan lokal yang dari sudut bahasa, ia nilai merupakan perilaku bijak dalam sebuah komunitas, dan bernuansa positif. "Saya mendefinisikan budaya itu adalah perilaku dan kebiasaan positif atas upaya membangun keberadaban, bukan kebiadaban," kata dia.

"Jadi tergantung kita mendefinisikan apa itu budaya dan kearifan lokal. Salah kaprahnya di situ,” kata dia menambahkan. 

Imam mengatakan, budaya dan kearifan lokal bisa menimbulkan kesan kebiasaan. Namun, konotasi miras yang disematkan setelahnya, akan menjadi makna dari cara berkehidupan yang kurang baik. “Itu bisa menimbulkan kontradiksi. Dalam perilaku, ada istilah positif dan negatif,’’ ujar dia.

Di luar negeri, menurut dia, ada kontroversi alkohol tidak akan memabukkan jika diminum sedikit. Namun, pemahaman warga di negara maju pun, ia nilai banyak yang tidak bisa mengontrol alkohol sehingga muncul istilah alkoholik.

Oleh sebab itu, kondisi serupa juga tidak akan berbeda di Indonesia. Malah, dengan dilegalkannya minuman beralkohol, komplikasi masalah sosial di Indonesia, ia tegaskan, bisa menjadi komplikasi dan masalah besar.

Tokoh Papua yang juga mantan komisioner Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai juga menolak jika miras disebut sebagai budaya orang Papua. “Lama-lama ini bisa menjadi pemicu awal pengembangan narkotika atau judi. Makin lama Indonesia seperti negara narkotika, yang pendapatannya melalui uang kotor. Ini harus dikritisi,” kata Natalius kepada Republika, Selasa (2/3).

Ia menekankan, jika ingin melakukan investasi di Papua, banyak bidang lain yang lebih baik. Misal, pinang, sagu, atau papeda. Itu semua lebih bermartabat dan profesional. Selain itu, Natalius mempertanyakan, dalang di balik perpres ini.

“Dia tidak sopan membangun investasi berbasis miras atau alkohol di Papua. Dia menjadi pemimpin yang menghancurkan masyarakat saya. Kalau mau mengembangkan investasi banyak dari sumber daya alam (SDA), yang bisa dimanfaatkan bukan dari miras,” ujar dia. 

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cenderawasih, Yops Itlay, juga  menyayangkan adanya perpres tersebut. “Bagaimana pun di Papua, dilarang adanya penjualan miras. Kita mendukung peraturan tentang pelarangan miras yang dibuat oleh gubernur Papua,” kata Yops saat dikonfirmasi, Selasa (2/3).

photo
Sejumlah ibu rumah tangga di kawasan Perbatasan RI-PNG yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Anti Miras dan Narkoba didampingi Kepala Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Papua Anike Rawar (tengah) memberi isyarat menolak Miras dan Narkoba di Papua, Kamis (3/12). Wadah tersebut digagas untuk menekan angka kematian Ibu dan Anak di Kota Jayapura, Papua. - (ANTARA FOTO)

Yops menilai, miras merupakan pemicu di balik banyaknya kasus yang terjadi di papua. Mulai dari kasus pembunuhan sampai kecelakaan. “Sebagian besar kasus di Papua terjadi karena miras sehingga intinya kita menolak,” ujar dia.

Dia mengatakan, banyak anak muda yang mengonsumsi miras di sana. Menanggapi penolakan perpres, Yops akan merencanakan gerakan protes kepada pihak berwenang. Saat ini dia masih melakukan diskusi untuk jumpa pers bersama timnya. “Kalau tidak Covid-19, kita sudah demo untuk penolakan ini. Tapi ini masih pandemi, makanya kita diskusikan dahulu,” kata dia.

Ketua Yayasan Papua Muda Inspirasi, Rini S Sutrisno Modouw, juga menjelaskan banyak dampak negatif jika investasi miras dilegalkan. Angka kriminalitas, menurut dia, akan naik signifikan karena rata-rata orang yang mengonsumsi miras adalah pengendara motor dan mobil.

“Ini juga memengaruhi anak-anak di Papua. Jadi kalau ada investasi miras, tanpa diiringi dengan pengetahuan masyarakat atau kontrol dari pemerintah, dengan mengadakan pusat rehabilitasi misalnya, itu akan menjadi lebih menyakitkan. Bisa membuat SDM Papua hancur,” kata Rini.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat