Haedar Nashir | Daan Yahya | Republika

Refleksi

Negara Berketuhanan

Agama dan umat beragama di negeri ini mendukung kebinekaan dan segala hal positif dalam keindonesiaan.

OLEH PROF HAEDAR NASHIR 

Sosok muda-mudi memakai kaus bertuliskan sangat menantang: “Kalo Surga Milik Kaummu, Biarkan Kami Di Neraka Dengan Kebhinekaan”. Mengapa ada kaus seekstrem itu?

Ternyata, kaus berwarna biru dan hitam itu diiklankan di toko online berlabel “Kaos Surga Kebhinekaan”. Ada harganya, lebih 100 ribu rupiah.

Berani sekali perancang dan pemakai kaus itu. Lebih memilih neraka dan antisurga demi kebinekaan. Alam pikiran macam apa? Memang kebinekaan berlawanan dengan agama?

Padahal, semua agama mengajarkan hidup damai dalam kemajemukan. Islam bahkan sangat kuat mengajarkan toleransi beragama melalui ajaran tasamuh.

Lantas, apa motif dan tujuan “kaus kebinekaan” seperti itu? Bukan hanya surga-neraka yang menjadi bahan olok-olok, konsep kebinekaan pun sejatinya disalahgunakan dengan cara serampangan. Mungkin karena ada sebagian umat beragama yang bertindak tidak toleran dengan orang lain hingga ada yang bereaksi naif dan cenderung anti-agama. Padahal, tulisan di kaus itu sama ekstrem dan intoleran. 

 
Alam pikiran macam apa? Memang kebinekaan berlawanan dengan agama? 
 
 

Kita tidak tahu apa negara akan terusik dan kemudian dalam “tempo yang sesingkat-singkatnya” mengeluarkan SKB tiga menteri yang melarang dan memberi sanksi keras kepada siapa pun perancang, produsen, pengedar, dan pemakai kaus yang menegasikan surga. Surga itu bagian dari keyakinan agama yang sakral, sedangkan agama dijamin keberadaaannya oleh konstitusi di negeri ini.

Mungkin sebaliknya. Negara tidak akan campur tangan urusan kaus recehan itu. Alasannya hak asasi manusia. Jualan kaus malah membangkitkan ekonomi kreatif yang sangat diperlukan saat ini. Apalagi membawa pesan kebinekaan, pertanda “NKRI harga mati”. Urusan kaus “pilih neraka” tidak termasuk perbuatan radikal dan intoleran. Berbeda dengan perkara jilbab dan pakaian khusus keagamaan!

Keberadaan agama

Pemikiran tentang toleransi maupun intoleransi termasuk radikal dan tidak radikal dalam kehidupan kebangsaan saat ini semestinya dikembangkan secara benar dan proporsional. Patokannya harus jelas dan tidak berstandar ganda.

Pihak mana pun tidak boleh sepihak dan bias dalam menentukan parameter intoleransi. Apalagi dengan persepsi semaunya sendiri ala “kaus surga kebinekaan”. Bila anti-intoleransi keagamaan, jangan mengembangankan intoleransi kebangsaan. 

 
Kita tidak tahu apa negara akan terusik dan kemudian dalam “tempo yang sesingkat-singkatnya” mengeluarkan SKB tiga menteri.
 
 

Kebinekaan itu bukan lawan agama. Agama dan umat beragama di negeri ini mendukung kebinekaan dan segala hal positif dalam keindonesiaan. Prinsip pluralitas (kebinekaan, kemajemukan) telah menyatu dalam ajaran dan perilaku umat beragama.

Republik ini sejak perjuangan kemerdekaan hingga saat ini justru berdiri tegak karena didukung kuat oleh umat beragama. Peran umat Islam sebagai penduduk mayoritas bahkan 1.000 persen berada di garda depan dalam perjuangan, pembentukan, pendirian, dan pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Agama bagi bangsa Indonesia dapat dijadikan sebagai sumber pedoman hidup, panduan moral, etos kemajuan, dan nilai peradaban. Nilai-nilai agama dapat menumbuhkan sikap damai, toleran, moderat, kebersamaan, kepedulian sosial, serta tindakan mulia dalam kehidupan bangsa.

Umat beragama juga telah menjalankan peran signifikan dalam mencegah hal-hal buruk dalam kehidupan kebangsaan. Organisasi keagamaan sering menjalankan fungsi “cuci piring” pascapesta, yang semuanya dilakukan dengan komitmen dan tanggung jawab kebangsaan yang tulus.

Memang diakui, dalam kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk dengan kondisi yang tidak sepenuhnya sama tingkat pendidikan, pengetahuan, pengalaman sosial, serta adanya masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, dan keagamaan yang sering kali kompleks, maka tidak jarang terjadi gesekan atau konflik antarkomponen masyarakat.

Sentimen SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) masih terjadi dalam sejumlah kasus. Intoleransi masih terjadi dalam sejumlah kejadian, tetapi jangan mudah mengeneralisasi seolah Indonesia gawat darurat intoleransi. 

 
Kebinekaan itu bukan lawan agama. Agama dan umat beragama di negeri ini mendukung kebinekaan dan segala hal positif dalam keindonesiaan. 
 
 

Pada batas tertentu memang terdapat perilaku yang tidak semestinya dari sebagian umat beragama yang melakukan tindakan intoleransi dan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Namun, kasus  intoleransi, kekerasan, dan tindakan-tindakan ekstrem yang merugikan kehidupan bersama juga dilakukan oleh siapa pun, baik individual maupun kolektif yang mengatasnamakan SARA di luar unsur keagamaan.

Indonesia yang besar dan majemuk ini sangat dinamis dan tidak jarang terjadi kasus-kasus sensitif dalam relasi antarkomponen bangsa. Jangan seperti melempar nyamuk di kaca!

Negara dan pihak mana pun tidak boleh gampang membeli ide-ide ekstrem dalam menangani masalah SARA. Berbagai hasil survei maupun kasus-kasus tertentu mengenai radikalisme dan intoleransi mesti dicandra dengan sangat saksama serta tidak serta-merta menjadi dasar kebijakan yang tergesa-gesa, yang ujungnya berupa penanganan masalah yang reduktif dan kontroversi.

Apalagi bila cenderung berat sebelah dan berstandar ganda dengan meletakkan isu intoleransi, radikal, dan sejenisnya pada satu aspek dan entitas kelompok tertentu, sambil menafikan aspek serta kasus dan isu yang sama di kelompok lain hanya karena bermantelkan kebangsaan.

Negara Bertuhan

Di Negara Pancasila semestinya tidak boleh ada warga, apalagi negara, yang menegasikan dan menentang kehadiran agama. Indonesia memang bukan negara agama, tetapi bukan pula negara sekuler. Indonesia adalah negara yang secara konstitusional mengakui dan menjamin kehidupan beragama sebagaimana konstitusi Pasal 29 UUD 1945. Pancasila sebagai dasar negara bahkan mengandung sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. 

 
Negara harus benar-benar saksama serta tidak boros mengeluarkan kebijakan yang cenderung berstandar ganda atau bermasalah di kemudian hari.
 
 

Indonesia menganut paham moderat tentang agama. Negara mengakomodasi ajaran agama dan aspirasi umat beragama, tetapi tidak otomatis semua aspirasi keagamaan menjadi kebijakan negara. Bersamaan dengan itu, negara tidak boleh menerapkan kebijakan yang bertentangan dengan agama yang hidup di negeri Pancasila ini, lebih-lebih menjadi negara sekuler yang menjauhkan agama dari negara.

Pihak yang anti-agama bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi Indonesia. Paham kebinekaan tidak dibenarkan menentang keberadaan agama yang dianut bangsa Indonesia.

Jika lembaga negara, termasuk institusi pendidikan, menerapkan aturan positif bagi terlaksananya ajaran agama untuk pembentukan moral dan kemajuan bangsa maka sungguh konstruktif dan tidak bermasalah. Apalagi, UUD 1945 Pasal 29 secara tegas mengakui keberadaan agama, serta pendidikan nasional yang bertujuan untuk terbentuknya insan yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia sebagaimana Pasal 31 UUD 1945 dan UU Nomor 20 Tahun 2003.

Bila negara melarang dan bertindak netral, itu justru tidak sejalan dengan Pancasila dan konstitusi. Hanya saja, bagaimana kebijakan-kebijakan negara itu diatur secara objektif, moderat, dan proporsional agar kehidupan beragama berjalan baik sejalan prinsip Negara Pancasila.

Negara harus benar-benar saksama serta tidak boros mengeluarkan kebijakan yang cenderung berstandar ganda atau bermasalah di kemudian hari. Peraturan Daerah di suatu tempat yang mewajibkan ritual keagamaan tertentu yang menyebabkan terhentinya seluruh pelayanan publik dan aktivitas masyarakat termasuk yang berbeda agama. Demikian pula perda-perda lain yang terkait adat dan sebagainya.

Apakah perda-perda tersebut akan dicabut dan diganti dengan pelarangan? Sungguh tidaklah bijaksana bila dikeluarkan surat keputusan bersama. Pasti akan menimbulkan penentangan dan kegaduhan. Perlu perenungan yang mendalam sebelum mengambil keputusan karena dampaknya luas.

Negara dan semua pihak harus bersikap saksama, moderat, dan tidak boleh terburu-buru mengambil keputusan yang dapat bertentangan atau tidak sejalan dengan Pancasila, UUD 1945, ajaran agama,  dan kebudayaan luhur bangsa. Pendekatan-pendekatan instrumental dan situasional yang tergopoh-gopoh hanya akan menyelesaikan masalah seketika tetapi menyimpan masalah lain yang dapat menambah rumit kehidupan berbangsa dan bernegara.

Prinsip musyawarah-mufakat dan hikmah-kebijaksanaan harus menjadi acuan bagi para pejabat negara dan elite bangsa dalam mengambil kebijakan publik dan menyikapi keadaan secara adil dan saksama. 

 
Kata Bung Karno, bukan hanya warga Indonesia yang harus Berketuhanan Yang Maha Esa, “Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan!” 
 
 

Segenap warga maupun elite bangsa dan kelompok masyarakat mesti bijak dalam berbangsa serta tidak terpapar paham radikal-ekstrem dalam bentuk apa pun, termasuk yang bermuatan alergi dan cenderung anti-agama. Umat dan elite agama pun niscaya menunjukkan teladan utama dalam beragama dan berbangsa agar tetap moderat secara autentik, serta tidak memberi ruang atau membela tindakan ekstrem dan intoleran. Umat beragama dan golongan kebangsaan mesti menunjukkan integrasi berbangsa dan bernegara yang konstruktif. 

Persatuan nasional niscaya menjadi komitmen kolektif seluruh komponen bangsa. Semuanya saling asah-asih-asuh dalam spirit persatuan yang jujur dengan meletakkan kepentingan bersama di atas segalanya. Beragama dan berbangsa mesti berjalin-berkelindan disertai energi positif yang kohesif, jangan terus mengobarkan persengketaan politik tak berkesudahan.

Elite agama dan tokoh bangsa niscaya menunjukkan jiwa kenegarawanan dan sikap moderat yang berbanding lurus antara kata dan tindakan. Bila ada masalah, diselesaikan dengan dialog dan musyawarah tanpa politisasi yang kian membesarkan masalah. Letakkan keutuhan Indonesia sebagai tanggung jawab dan jalan hidup bersama.

Negara wajib saksama dan tidak tebang pilih dalam mengambil kebijakan menyangkut hajat hidup publik. Pemerintahan negara harus demokratis dan mau mendengar suara publik yang jernih. Aspek public-good menjadi pertimbangan dalam politik bernegara lebih dari sekadar pertimbangan kekuasaan.

Bila negara menentang tindakan ekstrem dan intoleran, maka jangan melakukan kebijakan yang ekstrem dan intoleran meskipun memiliki dasar politik legitimasi. Lebih-lebih berkaitan dengan urusan agama yang dijamin konstitusi. Negara harus memiliki pemihakan terhadap jaminan hidup beragama.

Kata Bung Karno, bukan hanya warga Indonesia yang harus Berketuhanan Yang Maha Esa, “Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan!” 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat