Perwakilan Muspida dari TNI menjalani penyuntikkan vaksin COVID-19 Sinovac saat vaksinasi tahap pertama di Rumah Sakit Kesrem, Lhokseumawe, Aceh. Rabu (10/2/2021). | ANTARA FOTO/Rahmad

Nasional

Upaya Persuasif Penolak Vaksinasi Diutamakan

Sanksi bagi penolak vaksinasi merupakan upaya terakhir, edukatif dan persuasif diutamakan.

JAKARTA -- Pemerintah mengeluarkan jurus baru agar program vaksinasi Covid-19 berjalan lancar dengan menerapkan sanksi bagi yang menolak divaksin. Namun, sanksi tersebut akan menjadi upaya terakhir bagi pemerintah dengan mengedepankan upaya-upaya yang edukatif dan persuasif terlebih dahulu.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, penegakan hukum bagi masyarakat penolak vaksin sebenarnya hanya dilakukan dalam kondisi mendesak. Maksudnya, sanksi tersebut diterapkan jika ada kejadian yang membuat pendekatan persuasif tak bisa diandalkan lagi seperti masifnya gerakan anti-vaksin di sebuah daerah.

“Jika pendekatan persuasif tak bisa diandalkan berpotensi memperlambat kesuksesan pencapaian herd immunity. Pada masa pandemi ini, segala sesuatu berjalan dinamis sehingga setiap momennya berharga demi keselamatan bersama,” ujar Wiku kepada Republika, Senin (15/2).

Dia berharap agar dengan sendirinya muncul kesadaran masyarakat untuk mendapat vaksin Covid-19 tanpa perlu ada paksaan. Namun, dari sisi pemerintah, Wiku menilai, memang perlu ada upaya persuasif sekaligus promosi yang masif agar program vaksinasi Covid-19 diikuti seluruh masyarakat yang memenuhi kriteria.

Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan, aturan mengenai pengenaan sanksi dibuat untuk memastikan 181,5 juta penduduk Indonesia menjalani vaksinasi. Angka peserta vaksinasi Covid-19 ini perlu dicapai sebagai syarat mutlak terbentuknya kekebalan koelompok terhadap penularan Covid-19.

“Penerapan sanksi dilakukan di level pelaksana, dalam hal ini pemerintah daerah melalui perda (peraturan daerah),” ujar Nadia.

Lampu hijau yang diberikan pemerintah pusat kepada pemda untuk menyusun sanksi administrasi bagi penolak vaksin Covid-19 juga mengantisipasi upaya kelompok tertentu untuk memasifkan gerakan anti-vaksin. Pemerintah, Nadia menyebut, memang perlu menyiapkan langkah tegas agar program vaksinasi Covid-19 berhasil memunculkan herd immunity. Harapannya, pandemi bisa benar-benar hilang dari Tanah Air.

photo
Kutipan Perpres 14/2021 mengenai sanksi penolak vaksinasi. - (Perpres 14/2021)

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19, poin mengenai pengenaan sanksi administratif bagi penolak vaksin Covid-19 disebutkan dalam Pasal 13A. Di Pasal 13B juga dicantumkan, setiap warga yang memenuhi kriteria tapi tidak mengikuti vaksinasi Covid-19 bisa dikenakan sanksi sesuai ketentuan UU tentang Wabah Penyakit Menular.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, Jateng bakal mengutamakan upaya-upaya persuasif, edukasim, serta sosialisasi terkait vaksinasi Covid-19. Persoalan sanksi tegas tidak akan diberikan sepanjang upaya tersebut efektif untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat yang menolak vaksinasi.

Jika ada warga Jawa Tengah yang enggan atau menolak divaksin, pilihannya adalah ditunda. “Karena keluar aturan tentang sanksi, saya tidak mau ada perdebatan soal itu. Jadi, yang belum setuju kita arahkan ‘tarik ke belakang’ saja atau ditunda,” ujar dia.

Sebab jika ada masyarakat yang enggan, bahkan menolak untuk divaksin, menurut Ganjar, itu karena mereka butuh diyakinkan dan butuh diberi data agar lebih jelas. Harapannya, tentu mereka akan yakin dan pada akhir tahun nanti bisa mendapat vaksin sesuai target Presiden Joko Widodo.

“Anggap aja ini diedukasi dulu beberapa bulan dan nanti di ujung (akhir tahun) mau divaksin dan seiring dengan selesainya program vaksinasi pada tahun ini,” ujar Ganjar.

 
Anggap aja ini diedukasi dulu beberapa bulan dan nanti di ujung (akhir tahun) mau divaksin dan seiring dengan selesainya program vaksinasi pada tahun ini.
GANJAR PRANOWO
 

Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Sandrayati Moniaga, mengatakan, setiap orang memiliki hak menentukan pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya berlaku dalam kondisi umum. Namun, dalam kondisi wabah penyakit menular ada ketentuan khusus yang berlaku.

“Pasal 5 UU 36/2009 dibaca pada konteks pelayanan kesehatan primer bagi penyakit yang tidak menular. Maka UU 4/84 berlaku khusus (lex specialist) karena konteksnya menular,” kata Sandra.

Menurut Sandra, kebijakan pemerintah dapat merujuk pada UU 4/84 tersebut. Hal tersebut bisa dijalankan dengan asumsi bahwa pemberian vaksin tersebut diyakini dapat menjadi cara efektif untuk penanggulangan wabah. Soal efektivitas, kata dia, merupakan ranah IDI dan komunitas ahli kesehatan lainnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat