Pelajar penemu wadah makanan ramah lingkungan Richadatul Aisy Tsulisa Kahfi (kiri), Kholida Rohma Alia (tengah) dan Tazkiya Salsabila Yusa (kanan) mempraktikkan cara pembuatan temuannya di MAN 2, Kudus, Jawa Tengah, Rabu (18/11/2020). MUI minta SKB soal s | ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho

Kabar Utama

MUI Minta SKB Seragam Sekolah Direvisi

MUI menilai revisi SKB tiga menteri tidak memicu polemik, kegaduhan, serta ketidakpastian hukum.

 

 

JAKARTA -- Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama tentang Penggunaan Pakaian Seragam Sekolah disoroti serius oleh ulama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta SKB tiga menteri tersebut direvisi.

Sejumlah legislator dari partai politik Islam pun sepakat dengan MUI. MUI menilai revisi ini bertujuan agar SKB tiga menteri tidak memicu polemik, kegaduhan, serta ketidakpastian hukum. 

Dalam Tausiyah MUI terkait SKB tiga menteri, Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan menyampaikan, MUI menekankan agar SKB ini dibatasi pada pihak yang berbeda agama. Ia menjelaskan, klausul pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, dan mengimbau penggunaan seragam dengan kekhasan tertentu bisa dimaknai luas dan beragam. 

"Implikasi ini harus dibatasi pada pihak (peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan) yang berbeda agama sehingga terjadi pemaksaan kekhasan agama tertentu pada pemeluk agama yang lain," kata Amirsyah melalui pesan tertulis yang diterima Republika, akhir pekan lalu.

Amirsyah mengatakan, bila kewajiban, perintah, persyaratan, atau imbauan itu diberlakukan terhadap peserta didik yang seagama, pemerintah tidak perlu melarang. Sekolah bisa saja memandang itu sebagai bagian proses pendidikan agama dan pembiasaan akhlak mulia terhadap peserta didik. 

"Hal itu seharusnya diserahkan kepada sekolah, bermusyawarah dengan para pemangku kepentingan, termasuk komite sekolah, untuk mewajibkan atau tidak, mengimbau atau tidak. Pemerintah tidak perlu campur tangan pada aspek ini," ujarnya.

 
Hal itu seharusnya diserahkan kepada sekolah, bermusyawarah dengan para pemangku kepentingan, termasuk komite sekolah, untuk mewajibkan atau tidak, mengimbau atau tidak.
AMIRSYAH TAMBUNAN, Sekjen Majelis Ulama Indonesia
 

Meskipun meminta revisi, MUI tetap menghargai sebagian isi SKB tiga menteri tersebut dengan dua pertimbangan. Pertama, SKB ini bisa memastikan hak peserta didik menggunakan seragam dengan kekhasan agama sesuai keyakinannya dan tidak boleh dilarang oleh pemerintah daerah dan sekolah. Pertimbangan kedua, SKB ini melarang pemerintah daerah dan sekolah memaksakan seragam kekhasan agama tertentu pada penganut agama yang berbeda.

"Implikasi pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh melarang penggunaan seragam dengan kekhasan agama tertentu patut diapresiasi karena memberi perlindungan pelaksanaan agama dan keyakinan masing-masing peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan," ujar dia. 

Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai, SKB seragam sekolah menuai penolakan karena semangat yang tertuang di dalamnya tidak sesuai dengan fakta. Dia menjelaskan, SKB tiga menteri memiliki semangat untuk mengakomodasi semua pihak. 

"Namun, faktanya SKB ini malah membatasi dan bernuansa melarang-larang. Bahkan, pendekatan yang dilakukan bukan persuasif, melainkan malah pendekatan represif pelarangan dan pencabutan budaya dan kesepakatan lokal yang sudah ada. Jadi, silakan dikaji (usulan MUI untuk merevisi)," kata Faqih kepada Republika, Ahad (14/2).

 
Pendekatan yang dilakukan bukan persuasif, melainkan malah pendekatan represif pelarangan dan pencabutan budaya dan kesepakatan lokal yang sudah ada.
 
 

Ia juga melihat ada semangat sentralistik dalam SKB tersebut. Padahal, kata dia, pendidikan mestinya adalah urusan yang sudah desentralisasikan secara konkuren. "Perguruan tinggi di pusat, SMA/SMK dan pendidikan dan/atau layanan khusus di provinsi dan SMP ke bawah di kabupaten/kota. Sesuai UU 23/2014 tentang Pemda," katanya.

Faqih berpesan agar pemerintah ke depannya melibatkan semua pemangku kepentingan dalam menerbitkan kebijakan. Tujuannya agar tidak membuat ketidakstabilan dalam dunia pendidikan.

Anggota Komisi X DPR Illiza Sa’aduddin Djamal dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengatakan, pemerintah semestinya tak terburu-buru dan terlebihi dahulu meminta pendapat tokoh agama dan masyarakat sebelum mengeluarkan aturan SKB seragam sekolah. Hal tersebut karena Indonesia mempunyai kearifan lokal masing-masing daerah yang harus diperhatikan.

"Jangan sampai keputusan pemerintah beririsan tajam dengan kearifan lokal tersebut," ujarnya.

Menyikapi desakan MUI yang meminta SKB seragam sekolah untuk direvisi, Illiza menilai, hal tersebut sudah tepat dan harus dijadikan pertimbangan. Jangan sampai, dia menyebut, SKB ini menjadi polemik dan cikal bakal perpecahan dan perdebatan di masyarakat. 

Ia pun mengkritisi ketentuan sanksi yang tertuang dalam SKB seragam sekolah. Menurut dia, harus ada jenjang kategori sanksi. "Misalnya, sanksi bentuk peringatan untuk mendapatkan pembinaan. Sehingga tidak bisa langsung diberikan sanksi dengan sekali melakukan kesalahan. Jangan asal memberikan sanksi atau hukuman," kata dia. 

Para menteri terkait belum bisa dimintai komentar mengenai permintaan MUI untuk merevisi SKB. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (PAUD Dikdasmen Kemendikbud) Jumeri ketika coba dikonfirmasi mengenai sikap Kemendikbud tak bisa berkomentar banyak. 

"Yang diminta kan tiga menteri, kita tunggu," ujar Jumeri.

 
Belum ada koordinasi antarmenteri untuk menanggapi kritik terhadap SKB tiga menteri yang disampaikan sejumlah pihak.
JUMERI, Dirjen PAUD Dikdasmen Kemendikbud
 

Menurut dia, belum ada koordinasi antarmenteri untuk menanggapi kritik terhadap SKB tiga menteri yang disampaikan sejumlah pihak. Ia menyebutkan, kemungkinan tidak ada pembahasan lebih lanjut atas SKB ini. Dia juga mengaku tidak mengetahui SKB ini akan direvisi atau tidak. "Belum tahu," kata Jumeri. 

SKB tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut di lingkungan sekolah diberlakukan di seluruh sekolah negeri mulai Rabu (3/2), kecuali untuk Provinsi Aceh. Salah satu isi SKB adalah melarang pewajiban seragam beratribut keagamaan di sekolah negeri. Sekolah yang melanggar aturan itu diancam dengan pencabutan dana bantuan pemerintah.

Di dalam SKB ini, para murid serta orang tua dan guru tenaga kependidikan adalah pihak yang berhak memilih penggunaan seragam. Baik itu seragam dan atribut tanpa kekhususan agama atau dengan kekhususan agama. Pihak selain individu tersebut tidak diperkenankan membuat peraturan yang memaksa penggunaan atau pelarangan terhadap atribut keagamaan.

Penerbitan SKB berselang tak lama setelah kemunculan polemik di Padang, Sumatra Barat. Salah seorang orang tua murid memprotes pihak SMK Negeri 2 Padang karena merasa anaknya dipaksa memakai pakaian berkerudung di sekolah. Protes tersebut menjadi viral karena disebarkan melalui akun media sosial Facebook yang bersangkutan.

Pihak sekolah berdalih kewajiban itu hanya untuk siswi Muslimah. Meski begitu, sejumlah siswi non-Muslim di sekolah itu yang ditemui Republika memang ada yang mengenakan jilbab. Aturan tersebut dilandasi instruksi Wali Kota Padang bernomor 451.442/BINSOS-iii/2005 yang dikeluarkan pada 2005. Aturan daerah tersebut juga hanya mengatur kewajiban berjilbab bagi siswi Muslimah.

Para pihak terkait di Padang menyatakan persoalan tersebut sudah diselesaikan. Murid bersangkutan juga sudah bersekolah kembali tanpa mengenakan kerudung.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat