KH Abdul Manaf Mukhayyar merupakan seorang tokoh pendidikan Islam. Ia merintis Pesantren Darunnajah di Jakarta. | DOK DARUNNAJAH

Mujadid

KH Abdul Manaf Mukhayyar, Perintis Pesantren di Ibu Kota

KH Mukhayyar, ulama asli Betawi, ini terinspirasi dari gerakan pendidikan Jam’iyyat Khair.

 

 

Di antara gemerlap Jakarta sebagai kota metropolitan, warna budaya dan religiositas Islam tidak turut pudar. Terbukti, cukup banyak lembaga pendidikan tradisional Islam yang berdiri di Ibu Kota.

Salah satunya yang populer adalah Pondok Pesantren Darunnajah. Pendirinya merupakan seorang tokoh Muslim Betawi yang karismatik, yakni KH Abdul Manaf Mukhayyar. Sang alim merupakan wakif yang telah mewakafkan tanahnya di kawasan Jalan Ulujami Raya, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, untuk lokasi pembangunan Darunnajah.

Ia berasal dari Kampung Kebon Kelapa, Palmerah, Jakarta. Anak keempat dari 11 bersaudara itu merupakan putra pasangan Haji Mukhayyar dan Hajjah Hamidah. Ayahnya sudah menanamkan kebiasaan beribadah dan ilmu-ilmu agama kepada seluruh anak-anaknya, termasuk Abdul Manaf. Tak mengherankan bila akhirnya sosok yang lahir pada 29 Juni 1922 itu menempuh perjalanan hidup sebagai ulama.

H Mukhayyar tergolong kaum berada. Karena itu, ia mampu mendaftarkan anaknya ke sekolah Belanda untuk mengikuti pendidikan formal. Bagaimanapun, pendidikan agama sama sekali tidak diabaikannya.

Seluruh anak-anaknya selalu diarahkan agar rutin mengaji. Maka, sepulang dari sekolah, pada sore hari Abdul Manaf kecil menuntut ilmu di madrasah dekat rumahnya. Rutinitas tersebut dijalaninya sejak masa belajar di Volksschool (sekolah dasar) hingga Vervolegschool (sekolah lanjutan). Malahan, sebelum lulus dari sekolah tersebut, dirinya gemar mengikuti majelis-majelis yang diadakan banyak ulama sepuh, semisal Haji Sidik dari Bendungan Hilir.

 
Sepulang dari sekolah, pada sore hari Abdul Manaf kecil menuntut ilmu di madrasah dekat rumahnya.
 
 

Setamat dari Vervolegschool, Abdul Manaf meminta izin kepada orang tuanya untuk belajar di sekolah Jam’iyyat Khair di bilangan Karet, Tanah Abang. Jam’iyyat Khair (harfiah: ‘Perkumpulan untuk Kebaikan’) didirikan oleh tokoh-tokoh keturunan Arab di Batavia (Jakarta) pada 1901.

Sembilan tahun kemudian, organisasi ini gencar mendirikan berbagai sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tidak hanya bagi kaum peranakan Arab, tetapi juga pribumi Muslim. Gerakannya didasarkan pada solidaritas kebangsaan dan keumatan. Karena itu, sekolah-sekolah yang didirikannya pun terbuka menerima murid dari kalangan manapun. Kelak, sistem pendidikan di sana menjadi inspirasinya dalam mendirikan Pesantren Modern Darunnajah.

Abdul Manaf mulai belajar di Jam’iyyat Khair sejak 1938. Beberapa gurunya saat itu adalah Ustadz Abdullah Arfan, Ustadz Hadi Jawa, dan Ustadz Dziya’ Syahab yang juga kepala sekolah setempat. Selain itu, ada Ustadz Hasyim, Ustadz Sholeh dari Kebon Sirih, Ustadz Ahfas dari Kebon Jeruk, dan Ustadz Haji Zakaria dari Lampung.

 
Ia berhasil menguasai bahasa Arab yang memang ditekankan sebagai alat untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam di sekolah ini.
 
 

Ia berhasil menguasai bahasa Arab yang memang ditekankan sebagai alat untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam di sekolah ini. Bahkan, ia mengikuti kursus bahasa Belanda di luar jam pelajaran meskipun prosesnya hanya bertahan dua bulan. Sebab, pada 1942 balatentara Jepang terlebih dahulu datang menguasai Nusantara.

Sejak kedatangan Jepang, pengajaran bahasa Belanda menjadi terlarang di sekolah-sekolah. Sebagai gantinya, pemerintah pendudukan Dai Nippon membolehkan murid-murid untuk menguasai bahasa Jepang dan bahasa Inggris.

Sebagai alumnus Jam’iyyat Khair, ia sesungguhnya berkesempatan meneruskan studi ke Makkah atau Mesir. Namun, opsi itu tidak diambilnya lantaran krisis ekonomi yang melanda Indonesia akibat cengkeraman imperialisme Jepang. Karena itu, ia pun berfokus pada cita-citanya, yaitu mendirikan lembaga pendidikan Islam di Jakarta.

Impian ini didukung guru-gurunya di Jam’iyyat Khair. Mereka meyakini, Abdul Manaf mampu untuk mewujudkan keinginan yang luhur tersebut. Apalagi, selama bersekolah di Jam’iyyat Khair dirinya menyaksikan sendiri betapa pendidikan adalah modal utama untuk kebangkitan masyarakat.

Konon, saat masih menjadi murid di sana, pemuda ini pernah menulis sebait syair, “idza sirtu ghaniyyan aftah madrasah lil fuqara’ majjanan” (‘seandainya kelak menjadi orang kaya, saya akan membuka sekolah gratis untuk anak-anak yang tidak mampu’).

Mendirikan madrasah

Kerja keras KH Abdul Manaf dalam mendirikan Pondok Pesantren Darunnajah tidak bermula dari nol. Dalam arti, dirinya sudah pernah merintis majelis agama di lingkungan terdekat.

Pertama-tama, lulusan sekolah Jam’iyyat Khair ini mengadakan pengajian untuk mendidik adik-adik dan saudara-saudaranya di paviliun rumah orang tuanya di bilangan Kebon Kelapa, Palmerah. Mereka diajari cara melakukan salat, dan membaca Al Quran, dan lain-lain. Hal itu dilakukan cukup lama sampai masa pendudukan Jepang.

Pada 1942, ayahnya, H Mukhayyar, mendirikan Madrasah Islamiyah di samping rumahnya. Bangunan madrasah itu tampak sangat sederhana dengan atap yang terbuat dari daun kelapa dan masih berlantai tanah. H Mukhayyar menugaskan Abdul Manaf untuk mengangani kegiatan belajar-mengajar di sana.

Madrasah tersebut tetap bertahan hingga akhir zaman penjajahan Nippon atau bahkan kemerdekaan Indonesia pada 1945. Barulah ketika masa revolusi fisik, keadaan berubah drastis. Keberlangsungan institusi ini terpaksa divakumkan untuk sementara.

Lagipula, mayoritas pemuda Muslim di Jakarta terjun dalam kancah perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Mereka mengikuti laskar-laskar perlawanan. Waktu itu, KH Abdul Manaf sudah berkeluarga. Tepat satu tahun setelah Proklamasi RI, ia dan istrinya, Tsurayya, dikaruniai seorang anak bernama Suniyati.

Akibat gempuran pasukan musuh, Jakarta kian tidak kondusif. Pemerintah RI kemudian memindahkan ibu kota ke Yogyakarta. Dalam tahun-tahun yang sulit itu, Kiai Abdul Manaf dan keluarganya hidup berpindah-pindah hingga akhirnya menetap di Kampung Sukrenda, Ciomas, Serang, Banten. Di sanalah lahir anak keduanya, Saifuddin Arief.

Pada 1949, dunia internasional menekan Belanda untuk berunding dengan RI. Keadaan dalam negeri pun, termasuk Jakarta, menjadi sedikit lebih tenang. Kiai Abdul Manaf memutuskan untuk kembali memboyong keluarganya ke Palmerah.

Tidak hanya itu, ia pun berupaya membangun lagi madrasah yang sebelumnya vakum selama tiga tahun. Masyarakat setempat pun bergotong royong membantu.

Hasilnya, madrasah yang ada tidak hanya berdiri kembali, tetapi juga lebih luas dari bentuk awalnya. Lokasinya tetap di Kebon Kelapa, Palmerah. Pada 1960, lahan madrasah itu termasuk dalam lokasi proyek Asian Games IV sehingga pihaknya menjual tanah tersebut kepada pemerintah.

Menukil dari laman resmi Pesantren Darunnajah, ada kisah mengharukan di balik pembelian tanah ini. Sebelumnya, Kiai Abdul Manaf terlebih dahulu meminta izin kepada istrinya, Tsurayya. Sang istri pun mengizinkan cincin kawinnya untuk dijual sebagai biaya pembelian tanah. “Saya ingat sekali, cincin berliannya saya ambil, saya minta dengan ikhlas. Diserahkan, saya jual, saya beli itu tanah,” begitu penuturan sang kiai.

 
Saya ingat sekali, cincin berliannya saya ambil, saya minta dengan ikhlas. Diserahkan, saya jual, saya beli itu tanah.
 
 

Bersama beberapa pemuka-pemuka masyarakat setempat, Kiai Abdul Manaf membangun madrasah dengan ukuran 11x25 meter persegi. Kondisinya lebih baik daripada madrasah sebelumnya yang dibangun di atas tanah milik orang tua. Madrasah Islamiyah di Petunduhan ini berlantai ubin, menggunakan atap genteng, dan dindingnya tembok.

Untuk mendukung kegiatan belajar-mengajar, ia merekrut guru-guru dari luar Jakarta, seperti Depok, Sumatra Barat, dan lain-lain. Ada juga guru perempuan dan tenaga tata usaha. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Kiai Abdul Manaf mengandalkan perniagaan yang dimilikinya. Ia berdagang macam-macam komoditas, termasuk materiel bangunan melalui perusahaan yang didirikannya, Perusahaan Bangunan (PB) Makmur di Jalan Petunduhan.

Menurut KH Muhammad Aminullah, Madrasah Islamiyah semula dikelola oleh Kiai Abdul Manaf dan kakak iparnya, Mukhtar Kholil. Bangunan madrasah terletak di antara rumah kedua kakak beradik itu. Pelbagai kegiatan dihelat secara teratur di sana.

Setiap akhir tahun, pihaknya mengadakan haflah, pidato, dan diskusi-diskusi. Selain untuk kegiatan pendidikan, Abdul Manaf juga kerap mengumpulkan pemuda-pemuda di Palmerah untuk bermusyawarah di madrasahnya.

Pertemuan dan diskusi yang dilakukan Abdul Manaf dan pemuda-pemuda Palmerah saat itu, pada akhirnya mengerucut ke ide membentuk yayasan yang menaungi cita-cita pembentukan pondok pesantren. Yayasan ini kemudian bernama YKMI dan diketuai Mohammad Kosim. Abdul Manaf bertindak sebagai bendahara dan Kamaruzzaman sebagai sekretaris.

photo
Para santri Pondok Pesantren Darunnajah di kawasan Jalan Ulujami Raya, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, akhir 2019 lalu. Pesantren tersebut didirikan KH Abdul Manaf Mukhayyar. - (DOK REP/Agung Supriyanto)

Berkah Doa dari Tanah Suci

Pada 1958, Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah Asian Games IV. Presiden Sukarno pun mempersiapkan berbagai infrastruktur penunjang demi suksesnya acara tersebut. Kota tempat pelaksanaan ajang olahraga internasional ini adalah Jakarta.

Madrasah Islamiyah yang didirikan KH Abdul Manaf Mukhayyar terdampak proyek perluasan kompleks Asian Games IV. Pemerintah membeli lahan yang menjadi lokasi berdirinya lembaga pendidikan itu dengan nilai kira-kira Rp 90 ribu hingga Rp 100 ribu.

Sang kiai lantas mengajak sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah. Akhirnya, mereka bersepakat untuk membeli lahan baru sebagai pengganti madrasah tersebut. Tanah yang diambil berlokasi di Kampung Peninggaran, Ulujami, yang saat itu termasuk wilayah administratif Ciledug, Kabupaten Tangerang.

Dengan harga Rp 5 per meter persegi, uang ganti rugi yang diperoleh dari pemerintah tidak mencukupi. Luas tanah yang ingin dibeli mencapai lima hektare. Dengan tulus ikhlas, sisa kekurangannya ditutupi oleh uang dari Perusahaan Bangunan (PB) Makmur, perusahaan yang didirikan Kiai Abdul Manaf. Di samping itu, ada pula sumbangan berbagai pihak. Akhirnya, lahan di Ulujami dapat dibeli lunas.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Darunnajah Jakarta (darunnajah_jakarta)

Sesudah itu, Kiai Abdul Manaf mendirikan Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Islam (YKMI). Dia dan KH Kamaruzzaman bertindak selaku bendahara, sedangkan ketuanya adalah H Muhammad Kosim.

Pembentukan YKMI disambut positif tokoh-tokoh masyarakat di Ulujami dan sekitarnya. Salah seorang dari mereka, Haji Abdillah Amin, bahkan menyerahkan lembaga pendidikan taman kanak-kanak (raudhatul athfal) di Petukangan agar bergabung dengan YKMI. Sejak 1 Agustus 1961, raudhatul athfal ini diubah formatnya sehingga juga mengadakan pendidikan dasar. Namanya pun menjadi Balai Pendidikan Darunnajah.

Pada 1962, Kiai Abdul Manaf menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya. Usai berhaji, dirinya menemui KH Abdullah Syafii. Ia pun mengungkapkan rencananya untuk mendirikan pondok pesantren di Ulujami.

 
Sebelum kerja membuat pesantren, harus ziarah dulu ke Makkah ini, ke Ka’bah ini. Insya Allah, kalau tujuan kita baik, maka akan dikabulkan oleh Allah.
 
 

“Sebelum kerja membuat pesantren, harus ziarah dulu ke Makkah ini, ke Ka’bah ini,” demikian nasihat sang perintis Perguruan asy-Syafi’iyah itu. “Insya Allah, kalau tujuan kita baik, maka akan dikabulkan oleh Allah!” sambungnya.

Kiai Abdul Manaf berterima kasih atas saran itu. Sebelum kembali ke Tanah Air, dia melakukan munajat dan shalat di depan Ka’bah. Dengan penuh khusyuk, doa-doa dipanjatkannya ke hadirat Ilahi. Ia memohon kelancaran untuk terwujudnya cita-citanya mendirikan pesantren.

Beberapa waktu kemudian, harapan itu terlaksana. Di Ulujami, YKMI dapat membangun sebuah madrasah berukuran 30×11 meter persegi. Kompleks itu terdiri atas empat lokal. Namun, belum banyak minat masyarakat untuk mendaftarkan anak-anaknya ke sana. Sebab, saat itu lokasinya cukup jauh dari jalan besar, ditambah lagi sulitnya transportasi.

Di sisi lain, suasana politik menjelang peristiwa G30S/PKI sempat merepotkan pengurus YKMI. Pada 1963, sekitar 30 orang sempat menyerobot tanah di Ulujami meskipun akhirnya kasus tersebut berhasil diatasi.

Sebaliknya, madrasah yang dikelola YKMI di Petukangan lebih maju. Memang, secara ekonomi masyarakat setempat saat itu lebih makmur daripada Ulujami. Lokasinya juga dekat dengan jalan raya Ciledug. Dibanding jumlah murid di Petukangan yang sekitar 200 orang, jumlah santri di Ulujami memang sangat sedikit.

Pada 1969 Mahrus Amin meminta izin memindahkan gedung Madrasah Ibtidaiyah yang sudah dibangun di Ulujami pada 1962 ke Petukangan untuk kegiatan belajar murid-murid tsanawiyah. Kiai Abdul Manaf mengizinkan permohonan menantunya itu.

Sejak pertengahan 1960-an, Darunnajah pun terus berkembang. Hingga kini, pondok pesantren itu memiliki belasan cabang pesantren di berbagai daerah se-Indonesia, seperti Bogor, Tangerang Selatan, Serang, Pandeglang, Bengkulu, Seluma, Mukomuko, dan Dumai.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat