Anggota Persatuan Wartawan Indoensia (PWI) Bengkulu mengecat tugu pers di Bengkulu, Ahad (7/2/2021). Pers bekerja berdasarkan kode etik jurnalistik. | ANTARA FOTO/David Muharmansyah

Khazanah

Kode Etik Jurnalistik dalam Perspektif Islam

Ada 10 garis besar kode etik jurnalistik berdasarkan perspektif Islam.

 

 

Jurnalisme merupakan sebuah pekerjaan yang memiliki sejumlah aturan, yang biasa disebut kode etik jurnalistik. Di dalamnya terdapat himpunan etika profesi kewartawanan. Wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada kode etik jurnalistik. Tujuannya adalah agar wartawan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, yaitu mencari dan menyajikan informasi.

Kode etik jurnalistik adalah sebagai berikut.

1. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

4. Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

5. Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

6. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

7. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

8. Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

9. Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

10. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

11. Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Dalam Islam

Lantas, adakah tuntunan Islam yang terkait dengan kode etik jurnalistik? Merayakan ulang tahunnya yang pertama, Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) berupaya membahas hal itu dalam sebuah forum bertajuk ‘’Tausiyah Memandang Kode Etik Jurnalis dalam Perspektif Islam’’ yang digelar secara virtual, Senin (8/2). 

Bertindak sebagai pembicara utama, Ustaz Abdul Somad (UAS) menyebut, perspektif Islam berarti mengambil dari tiga sumber utama, yakni Alquran, hadis atau sunah, serta interpretasi ulama berdasarkan Alquran dan sunah (ijtihad).

Berdasarkan tiga hal di atas, UAS mengatakan, ada 10 garis besar kode etik jurnalistik berdasarkan perspektif Islam. Pertama, perihal objektivitas dalam melihat suatu berita.

"Dalam Islam, manusia yang baru dilahirkan itu suci, bersih. Kalau dalam bahasa hukum, ini asas praduga tidak bersalah. Jadi, jurnalis memandang manusia bukan dari perspektif negatif atau buruk," kata dia.

Kedua, menurut UAS, seorang jurnalis yang memiliki dasar agama Islam yang baik, maka bisa membuat dasar-dasar Islam ini sebagai sebuah kode etik. ‘’Berdasarkan sifatnya yang universal, rahmatan lil ‘alamin, membawa salam dan kedamaian, maka jurnalis pun begitu," ujarnya.

Ketiga, UAS mengingatkan terkait pengecekan atas berita yang dibawa oleh seseorang. Hal ini dijelaskan dalam QS al-Hujurat ayat 6.

‘’Jadi, suatu informasi tidak boleh diterima begitu saja atau hanya melihat dari satu sisi. Wajib bagi seseorang melakukan konfirmasi ataupun klarifikasi,’’ ujar UAS.

Keempat, UAS mengingatkan, pakailah bahasa-bahasa atau diksi yang baik. Hindari penggunaan kata-kata yang dapat memicu konflik. 

Selanjutnya, UAS menyebut, dalam menulis suatu berita ada baiknya tidak menggeneralisasi. 

Poin keenam, Islam tidak membenarkan gibah atau gosip. "Peran media, saat menceritakan kebatilan seseorang, itu bukan gosip. Ini sedang menunjukkan mana yang baik dan buruk. Media berhak memberitakan agar diketahui khalayak dan menjadi pelajaran," ujar UAS.

Ketujuh, UAS menambahkan, Alquran dan sunah mencontohkan bagaimana menghindari pornografi. Dari sekian hukum yang dijelaskan dalam Alquran, disampaikan melalui diksi dan kalimat yang sangat lembut dan minim mudharat. Begitu pula yang disampaikan Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan darah haid, nifas, dan hukum lainnya yang sensitif. Karena itu, media pun seharusnya seperti itu. 

Poin kedelapan, Islam berkembang melalui jaringan atau media, yang disampaikan oleh pengikut Nabi SAW yang berkumpul dengannya dan saat kembali ke daerahnya, ilmu ini menjadi tersebar. Peran jurnalis pun sama dengan pola tersebut.

Berikutnya, UAS menyebut, amanah yang diemban seorang jurnalis dalam menyebarkan berita amat besar karena dikonsumsi secara luas.

Poin terakhir, Ustaz Abdul Somad mengingatkan perihal balasan yang diterima seorang Muslim dari perbuatannya selama ini di dunia. Karena itu, seorang jurnalis diharapkan memiliki semangat iman yang tinggi dalam mempertanggungjawabkan setiap berita yang dibuat.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat