Lukisan karya Emilio Sala Frances yang menggambarkan bagaimana seorang Yahudi dipaksa untuk berpindah iman. Ketika Reconquista terjadi pada akhir abad ke-15, umat Yahudi turut menjadi korban persekusi kaum ekstremis Salibis. Banyak di antaranya yang kemud | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Uluran Tangan Utsmani di Pengujung Andalusia

Kesultanan Turki Utsmaniyah tak hanya menolong korban ekstremisme di Spanyol, tetapi juga Yahudi.

OLEH HASANUL RIZQA

 

Riwayat kedaulatan Islam di Andalusia berakhir pada Januari 1942. Reconquista memunculkan penguasa ekstrem yang mengusir penduduk berlainan agama. Tak tinggal diam, Kekhalifahan Turki Utsmaniyah mengerahkan donasi, diplomasi, dan militer guna menyelamatkan para korban.

Simpati Utsmani Bagi Korban Reconquista

 

 

Turki Utsmaniyah menjadi kekuatan yang signifikan di seluruh kawasan Mediterania sejak abad ke-15. Tepatnya, pada 29 Mei 1453 Sultan Mehmed II berhasil merebut Konstantinopel (Istanbul) dari tangan Romawi Timur atau Bizantium.

Ibu kota kerajaan Kristen itu akhirnya dapat dikuasai kedaulatan Muslim setelah berkali-kali upaya dilancarkan. Kesuksesan raja bergelar al-Fatih, ‘sang pembebas’, itu membenarkan nubuat Nabi Muhammad SAW ratusan tahun sebelumnya.

Sabda beliau, “Konstantinopel benar-benar akan ditaklukkan. Sebaik-baik amir (pemimpin) adalah amir yang memimpin penaklukannya, dan sebaik-baik tentara adalah tentara yang menaklukkannya” (HR Bukhari, Ahmad, dan Al-Hakim).

Kerajaan-kerajaan Katolik di Eropa, khususnya yang bersatu di bawah bendera Imperium Romawi Suci (Holy Roman Empire), kian mewaspadai Turki Utsmaniyah. Apalagi, sejak kesultanan tersebut menguasai Konstantinopel.

photo
Kekaisaran Romawi Suci pada tahun 843. - (DOK Wikipedia)

Di Benua Biru, Mehmed II sudah menaklukkan nyaris seluruh Semenanjung Balkan, termasuk Roumelia, Serbia, Bosnia, dan Bulgaria. Holy Roman Empire berkali-kali kewalahan menghadapi ekspedisi militer Utsmaniyah yang mencapai Eropa tengah. Imperium tersebut tentunya tidak ingin bernasib sama seperti Bizantium.

 
Di Benua Biru, Mehmed II sudah menaklukkan nyaris seluruh Semenanjung Balkan, termasuk Roumelia, Serbia, Bosnia, dan Bulgaria.
 
 

Terpisah 3.500 kilometer jauhnya dari Turki, Spanyol menjadi salah satu kekuatan utama yang dimiliki Kristen Latin. Bahkan, Katolisisme yang dianut raja-raja Kristen di Spanyol termasuk jenis yang cukup fanatik.

Keadaan Semenanjung Iberia pada abad ke-15 memang sangat berbeda dengan masa-masa silam. Sebelumnya, kedaulatan Islam bersinar gemilang. Sejak abad ke-10, Bani Umayyah berhasil mendirikan negeri Islam di Spanyol yang disebutnya sebagai al-Andalus atau Andalusia. Meskipun diperintah dengan hukum Islam, Andalusia menampilkan watak urban dan kosmopolitan.

Alhasil, kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan dirasakan warga setempat, baik yang Muslim maupun non-Muslim. Pemimpin terbesar Dinasti Umayyah di Andalusia adalah Abdurrahman III yang sejak 929 memerintah Kordoba dengan menggunakan titel khalifah.

Tujuh puluh tahun setelah kematiannya, Kekhalifahan Kordoba terpecah-belah menjadi negara-negara mandiri yang dinamakan thaif. Hingga akhir abad ke-13, hanya ada satu thaifa yang bertahan di tengah gempuran kerajaan-kerajaan Katolik di Andalusia, yakni Granada.

Memasuki abad ke-15, Granada semakin melemah. Wilayahnya hanya sebatas kawasan antara Gibraltar, Malaga, dan Almeria. Sebab, daerah-daerah kekuasaannya di pedalaman Semenanjung Iberia telah dicaplok negeri-negeri tetangganya, seperti Castile-Leon, Aragon, atau Portugal.

Pada 1479, Castile-Leon dan Aragon mempersatukan diri. Tiga tahun kemudian, aliansi yang menjadi cikal bakal Kerajaan Spanyol itu memulai Perang Granada. Thaifa tersebut diserbu dari berbagai penjuru Eropa.

Balatentara musuh tidak hanya berasal dari militer resmi Spanyol, tetapi juga kaum bangsawan, penduduk kota, atau kalangan pedagang yang bersikap anti-Islam. Bahkan, Gereja Katolik menyerukan masyarakat Kristen di Benua Biru agar membantu pasukan yang sedang berarak menuju Granada.

Pada 2 Januari 1492, Sultan Muhammad XII Abu Abdullah akhirnya menyerah. Tamatlah riwayat Granada sebagai negeri Islam terakhir di Eropa Barat.

Bagi kerajaan-kerajaan Katolik, jatuhnya Granada menandai puncak periode Reconquista, penaklukan kembali. Mereka merasa berhasil merebut lagi Spanyol dari tangan Islam yang telah menguasai wilayah tersebut selama lebih dari lima abad.

Permulaan Reconquista terjadi sejak raja Castile-Leon Alfonso VI dapat menaklukkan Toledo pada 1085. Terhitung lebih dari 20 kali kaum Katolik melakukan pertempuran untuk meruntuhkan kekuasaan Islam dari tanah Hispania. Barulah sekitar empat abad setelahnya, pemerintahan Islam terusir dari Semenanjung Iberia.

Imbas Reconquista

Begitu menduduki Granada, Spanyol terus mengekang kebebasan kaum Muslimin setempat dalam menjalankan adat istiadat dan agamanya. Rezim Katolik itu juga menuntut pajak yang sangat besar kepada orang-orang yang berlainan agama. Karena itu, umat Islam Granada terus berjuang mempertahankan dirinya.

Perjuangan tidak hanya dilancarkan kaum Muslimin, tetapi juga ratusan ribu orang Yahudi setempat. Bagi mereka, berakhirnya riwayat pemerintahan Islam di Hispania berarti pula lenyapnya kekuasaan yang toleran terhadap perbedaan keyakinan. Karena itu, kerajaan Katolik Spanyol pun waktu itu menjadi ancaman bagi kehidupan kaum yang belakangan disebut sebagai Yahudi Sefardim (Sephardic Jews).

Kata sefardim merujuk pada Sepharad, yakni sebuah daerah yang disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama. Meskipun lokasinya diperdebatkan, kaum Yahudi sejak abad ke-10 meyakininya sebagai Hispania, sebuah provinsi di barat Imperium Romawi. Dalam bahasa Ibrani modern, kata/sefarad bermakna ‘Spanyol.’

Pada 31 Maret 1492, raja dan ratu Spanyol, Ferdinand II dan Isabella I, mengeluarkan Dekrit Alhambra. Tujuannya untuk melarang praktik-praktik ibadah umat Yahudi di seluruh wilayah Hispania.

photo
Raja Ferdinand II dari Kekaisaran Romawi Suci - (DOK Wikipedia)

Keputusan tersebut diklaim efektif untuk menjaga agar orang-orang Kristen tidak berpindah iman ke agama Yahudi. Padahal, sasaran utamanya bukanlah kaum Katolik itu sendiri, melainkan orang-orang Yahudi yang telah berikrar menjadi pemeluk Kristen sejak penaklukan atas Granada pada Januari 1492. Rupanya, rezim Spanyol mencurigai mereka tidak sepenuh hati meninggalkan kepercayaan lama.

Pada Juli 1492, sekitar 200 ribu umat Yahudi Sefardim diusir secara paksa dari Spanyol oleh Raja Ferdinand II. Satu tahun berikutnya, Uskup Agung Hernando de Talavera mengeluarkan maklumat yang menyuruh seluruh penduduk Muslim setempat untuk memeluk agama Katolik.

Jika tidak mau berpindah keyakinan, mereka pun akan diusir dari Spanyol. Tindakan nirtoleran itu terus berlangsung secara membabi-buta. Pada 1502, Ratu Isabella I menyatakan bahwa seluruh umat non-Kristen yang masih ingin tinggal di wilayah kekuasaannya wajib beragama Katolik. Kebijakan serupa juga diterapkan oleh Raja Charles V terhadap umat Islam yang bermukim di Kerajaan Aragon tahun 1526.

photo
Ilustrasi suatu pertempuran Reconquista dari Cantigas de Santa Maria. - (DOK Wikipedia)

Jasa Utsmaniyah

Sebagai sebuah imperium besar, Turki Utsmaniyah berperan cukup dominan kepada dinamika geopolitik di sekitar Laut Tengah. Tidak hanya bagian timur, tetapi juga barat kawasan perairan tersebut.

Berita tentang keadaan di Iberia telah sampai ke telinga ibu kota kekhalifahan tersebut tatkala Sultan Mehmed II al-Fatih berkuasa. Karena itu, sosok penggantinya, Sultan Beyezid II (1481-1512), tidak tinggal diam ketika Granada jatuh dan Reconquista berlangsung.

Yang luar biasa, jasa Utsmaniyah tidak hanya menolong kaum Muslimin dari serangan kaum pendukung Reconquista. Kerajaan Islam tersebut juga secara terbuka menerima para pengungsi Yahudi yang hendak menyelamatkan diri dan agamanya dari kejaran ekstremis Katolik di Hispania.

Setelah Dekrit Alhambra diberlakukan Raja Ferdinand II dan istrinya, Isabella I, maka dimulailah persekusi massal terhadap umat Yahudi dan orang-orang Yahudi yang belum lama memeluk Katolik. Yang terakhir itu turut menjadi sasaran karena mereka dituding berpura-pura menjadi Katolik, yakni tetap setia pada kepercayaan Yahudi.

Mendapati berita tentang gelombang anti-Semitisme demikian, Sultan Beyezid II mengizinkan puluhan ribu pengungsi Yahudi dari Hispania untuk menetap di kota-kota kesultanan, termasuk Konstantinopel, Bursa, Damaskus, dan Kairo.

Daerah-daerah di Semenanjung Balkan yang telah ditaklukkan Utsmaniyah juga dibukanya untuk kedatangan kelompok-kelompok imigran Yahudi Sefardim. Malahan, mereka pun dipersilakan untuk tinggal di Yerusalem. Alhasil, populasi kaum Yahudi di Yerusalem meningkat pesat, yakni dari semula sekitar 70 keluarga pada 1488 menjadi 1.500 keluarga pada awal abad ke-16.

photo
Peta yang menggambarkan migrasi kaum Yahudi Sefardim seiring terjadinya Reconquista di Andalusia atau Spanyol. Mereka tersebar di wilayah Afrika Utara, Balkan, dan Anatolia. Ketiganya waktu itu termasuk wilayah Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. - (DOK WIKIPEDIA)

Di ibu kota Utsmaniyah, Konstantinopel, komunitas Yahudi mencapai 30 ribu orang. Pemerintah kota setempat juga membolehkan berdirinya 44 sinagog baru. Sementara itu, di Salonika—kini bagian dari Yunani—kehadiran gelombang pengungsi tersebut mengubah wajah demografis kaum Yahudi setempat.

Sejak masa pemerintahan Beyezid II, jumlah orang-orang Yahudi Sefardim secara berangsur-angsur melampaui komunitas Yahudi Romania. Bahkan, budaya dan struktur sosial komunitas tersebut akhirnya melesap ke dalam tradisi Sefardim.

Dengan bertempat tinggal di wilayah Utsmaniyah, kelompok Yahudi Sefardim merasa seperti mendapati “Andalusia kedua". Ketika Hispania masih dikuasai Muslimin, mereka menikmati kehidupan yang penuh toleransi.

Pemerintahan Islam juga menerapkan meritokrasi sehingga tak sedikit pejabat negeri yang berasal dari umat Yahudi. Keadaan yang serupa juga dirasakan mereka di sana, bahkan beberapa dekade sebelum Reconquista pecah.

Pada 1453, Rabbi Isaac Tzarfati menulis surat kepada Dewan Yahudi Eropa Tengah. Tokoh Yahudi yang lari dari persekusi di Eropa Tengah itu memuji daerah tempat tinggalnya yang baru di Utsmaniyah.

Dikatakan dalam suratnya, “Negeri ini (Utsmaniyah) dirahmati Tuhan dan penuh kebaikan. Di sini (saya) menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Kami (kaum Yahudi) tidak ditindas dengan pajak yang berat. Perniagaan kami dapat berlangsung bebas. Setiap kami dapat hidup dalam damai.”

 
Negeri ini (Utsmaniyah) dirahmati Tuhan dan penuh kebaikan. Di sini (saya) menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Kami (kaum Yahudi) tidak ditindas dengan pajak yang berat. Perniagaan kami dapat berlangsung bebas. Setiap kami dapat hidup dalam damai.
 
 

Sementara itu, Utsmaniyah pun menuai buah manis dari kebijakannya yang hangat terhadap para pengungsi Yahudi Sefardim. Sebagai imbalan atas kebaikan pemerintahan Islam, mereka beserta anak keturunannya terus berkiprah di berbagai bidang, termasuk militer, perdagangan, serta ilmu pengetahuan. Kejayaan kekhalifahan pun kian berkibar.

Sebagai contoh, duo bersaudara Yahudi, David dan Samuel bin Nahmias, memasarkan mesin cetak pertama di Konstantinopel pada 1493. Mesin tersebut adalah teknologi mutakhir pada masa itu sehingga mempercepat produksi literatur dan dokumen, terutama naskah-naskah keagamaan dan birokrasi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat