Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Al Makin. | DOK UIN Sunan Kalijaga

Hiwar

Prof Al Makin, Pelajari Faktor Kemajuan Umayyah-Abbasiyah

Kepemimpinan Prof Al Makin menginspirasi dinamika pendidikan UIN Sunan Kalijaga.

Sejarah peradaban Islam tidak lepas dari riwayat kemajuan yang dicapai Dinasti Bani Umayyah (661–750) dan Bani Abbasiyah (750–1517). Keduanya wangsa tersebut membawa umat Islam ke dalam masa keemasan, yakni ketika sains, ilmu pengetahuan, seni dan budaya berkembang dengan sangat pesatnya. Berkaca dari masa lalu, menurut Prof Al Makin, kunci kegemilangan mereka adalah pada daya adaptasi dan bertahan hidup (survival).

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu mengatakan, pemerintahan yang berlangsung pada kedua dinasti tersebut bersikap terbuka. Mereka menyerap dari banyak peradaban besar yang muncul sebelumnya, semisal Yunani, Romawi, Persia, atau India.

“Kemajuan dari dua dinasti yang diunggul-unggulkan pada masa keemasan tersebut sebetulnya adalah karena sikap akomodatif terhadap unsur non-Arab,” ujar guru besar ilmu filsafat itu.

Sejarah dibaca dengan kacamata harapan. Karena itu, ia berharap refleksi atas masa lalu dapat menimbulkan semangat untuk berbuat lebih baik pada masa kini dan mendatang. “Indonesia punya potensi yang luar biasa. Indonesia ini adalah negara besar yang mempunyai keragaman yang luar biasa dan punya watak akomodatif,” kata alumnus Pondok Pesantren Adnan al-Charis itu.

Bagaimana sejarah dapat memberikan pelajaran dan perenungan untuk Muslimin saat ini, khususnya di Tanah Air? Berikut petikan perbicangan wartawan Republika, Muhyiddin, bersama dengan profesor kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur, itu beberapa waktu lalu.

photo
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Al Makin. - (DOK UIN Sunan Kalijaga)

 

Peradaban Islam muncul dari Jazirah Arab yang sebelumnya “terabaikan” kekuatan-kekuatan besar dunia, semisal Bizantium dan Persia. Bagaimana menurut Anda?

Kekuatan-kekuatan besar dunia itu turut mempengaruhi peradaban Islam setelahnya (pascawafatnya Nabi Muhammad SAW –Red) yang muncul pada abad kedelapan sampai 12. Utamanya, masa Daulay Umayyah dan Abbasiyah. Jadi, saat Dinasti Umayyah memindahkan ibu kota dari Madinah ke Damaskus, Suriah, maka di situlah peradaban Islam mulai berekspansi ke luar Jazirah Arab.

Pendiri Dinasti Umayyah, Muawiyah bin Abu Sufyan, merupakan seorang yang punya policy (kebijakan) luar biasa. Pertama, dia memang masih mempertahankan tradisi Arab, seperti melalui syair. Ya,  dia suka sekali dengan syair Arab. Begitu pula dengan silsilah atau nasab, yang menjadi fakta sosiologis-antropologis suku-suku Arab.

Namun, yang mengejutkan adalah, dia juga suka mempelajari budaya dan sejarah asing. Ini yang disebut qishoh. Dia suka mengundang qusshash (tukang cerita) ke istananya. Mereka berasal dari luar, seperti Afrika, Romawi dan Persia.

 

Mulai dari Dinasti Umayyah, peradaban Islam menyerap unsur-unsur luar atau non-Arab?

Ya dari situlah. Maka kemajuan pun dirasakan Dinasti Bani Umayyah. Pada era Damaskus itu, peradaban Islam mengokomodasi tradisi Romawi Timur (Bizantium) dan tradisi Suriah. Kemudian, para khalifah setelah Muawiyah melanjutkan hal itu. Misalnya, Abdul Malik bin Marwan, yang mengadopsi mata uang Bizantium. Tak hanya urusan moneter, sistem militer dan birokrasi atau kepegawaian pun ia mengadopsi dari Bizantium. Begitu pula dengan sistem politik. Intinya, Dinasti Umayyah masa itu sudah mulai melirik tradisi non-Arab.

 

Apakah penyerapan tradisi non-Arab itu hanya di lingkungan istana?

Tidak juga karena dalam hal ilmu pengetahuan dan bahasa pun ada penyerapan. Makanya, proses penerjemahan naskah-naskah asing pun dimulai. Misalnya, penerjemahan dari bahasa Suryani atau Suriah ke dalam bahasa Arab. Ada banyak juga karya-karya dalam bahasa Yunani yang sudah dikemas ke dalam bahasa Suryani kemudian diterjemahkan. Salah satunya ialah naskah-naskah tentang filsafat.

Orang-orang Islam pada masa itu tidak menguasai semua bahasa. Karena itu, ada banyak orang Kristen Timur yang ikut berkontribusi. Mereka menerjemahkan (naskah-naskah) dari bahasa Suryani ke bahasa Arab, dan juga dari bahasa Yunani ke Suryani, untuk kemudian dialihkan ke bahasa Arab.

Begitulah awal kebesaran dari Dinasti Umayyah. Mereka membangun sebuah peradaban yang bertumpu pada sisi ilmu pengetahuan, budaya, dan birokrasi politik. Jadi, pada dasarnya Umayyah itu memiliki sikap akomodatif, penerimaan terhadap unsur budaya-budaya pra-Islam, semisal Romawi dan Persia.

 

Apakah akulturasi itu diteruskan dinasti berikutnya, Abbasiyah?

Ya, pada masa Daulah Abbasiyah bahkan jauh lebih terbuka lagi. Dinasti ini didirikan Abu al-'Abbas Abdullah bin Muhammad as-Saffah. Ada dinamika pada awal-awalnya. Namun, kemajuan yang paling monumental terjadi saat (Abbasiyah) dipimpin khalifah yang kedua, al-Mansur. Dialah yang memberikan fondasi bagi pendirian dan perkembangan Baghdad.

 

 
 
 
Lihat postingan ini di Instagram
 
 
 

Sebuah kiriman dibagikan oleh UIN Sunan Kalijaga (uinsk)

Apa bedanya Umayyah dan Abbasiyah dalam melakukan akulturasi itu?

Kalau Daulah Umayyah, arahnya lebih ke Romawi. Sementara itu, Daulah Abbasiyah melihat pada tradisi Persia. Bagaimanapun, yang dilakukan Umayyah dalam meningkatkan geliat ilmu pengetahuan diteruskan. Penerjemahan buku-buku dari (bahasa) Yunani ke dalam bahasa Arab dilanjutkan, malahan menjadi lebih masif lagi.

Misalnya, pada era Khalifah Harun al-Rasyid. Waktu itu, ada Bait al-Hikmah, yaitu perpustakaan yang melakukan penerjemahan berbagai naskah secara besar-besaran. Tidak hanya menerjemahkan dari bahasa Yunani. Ada juga pada waktu itu yang menguasai bahasa India sehingga penerjemahan dilakukan.

 

Secara garis besar, apa yang melatari kejayaan kedua dinasti Islam itu?

Utamanya karena sikap akomodatif mereka terhadap unsur-unsur non-Arab, seperti tradisi Persia, Romawi, India, dan lain-lain. Maksudnya, keduanya—Daulah Umayyah dan Abbasiyah—mengadopsi, mengadaptasi, dan melakukan harmonisasi budaya peradaban-peradaban yang jauh lebih besar (daripada Arab) sebelum Islam. Semuanya lantas diharmoniskan ke dalam tradisi Arab dan utamanya Islam.

Ada banyak filsuf Muslim pada era Abbasiyah, misalnya al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Miskawaih, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan sebagainya. Mereka semuanya mempunyai buku yang ada benang merahnya dengan (pemikiran) para filsuf Yunani. Sebutlah Plato, yang menulis Politeia—dalam bahasa Latin artinya Republik. Karya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi Siyasah atau sering juga disebut Madinah.

Intinya, para pemikir dan filsuf Muslim pada zaman keemasan itu turut mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Mereka tidak memandang filsafat Yunani, misalnya, hanya untuk orang Yunani. Mereka mengambil dan mempelajarinya, mendiskusikannya. Geliat filsafat itu tidak berhenti. Dan, itulah kunci kemajuan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam.

 

Berkaca pada zaman sekarang, mengapa peradaban Islam cenderung lemah dan terpecah-belah?

Kalau kita bandingkan dengan Umayyah dan Abbasiyah, mungkin kita belum bisa mengadaptasi dan mengakomodasi tradisi-tradisi yang lebih maju. Jika Abbasiyah mengadopsi Persia dan Umayyah mengadopsi Romawi, maka saat ini tidak ada pilihan selain kita harus mengikuti dengan cara yang sama.

Artinya, kita harus mencari tahu, tradisi mana sekarang yang maju di dunia ini. Lalu, kita harus siap mengadopsi, mengakomodasi, dan mengharmonisasinya juga. Misalnya, sekarang yang maju adalah tradisi Barat, Cina, Jepang, dan Korea. Maka, kita harus siap belajar kepada mereka. Kalau tidak begitu, maka kita akan mundur terus-menerus.

Dan, ingatlah bahwa Barat juga dahulu melakukan hal yang sama persis dengan Abbasiyah dan Umayyah terhadap peradaban Islam. Mereka belajar dari tradisi Islam yang kala itu lebih maju daripada mereka.

 

Bukankah kondisi zaman silam dan kini amat berbeda?

Kalau saya melihatnya, kita negara-negara Islam tidak kencang belajar kepada negara-negara lain yang mayoritas non-Muslim. Coba kita lihat Jepang. Mereka dari abad pertengahan sudah belajar teknologi kepada Barat. Ketika Uni Soviet runtuh lantaran menggunakan sistem tertutup, Cina juga cepat belajar. Mereka (Cina) mulai berubah ke wajah ekonomi kapitalisme, tidak lagi melulu komunisme.

Karena itu, idealnya, tidak ada perpecahan dalam peradaban Islam. Yang ada adalah saling berkompetesi. Nah, cara untuk bersaing itu ya harus bekerja sama. Kalau konflik di beberapa negara Arab itu sudah maklum. Meskipun, ada juga beberapa negara yang sangat maju secara ekonomi, seperti negara-negara Teluk. Lalu kenapa ada negara-negara Islam yang masih berkonflik? Karena, di dalam negeri mereka memang tidak stabil, tidak membangun politik yang baik dan akuntabel. Mereka tidak membangun demokrasi yang sebenarnya, cuma basa-basi.

 

Bagaimana kondisinya dengan Indonesia?

Kita ingat, Umayyah dan Abbasiyah itu maju karena juga merawat keberagaman. Mereka berbineka. Sementara, kita sudah punya modal itu semua. Tinggal bagaimana kita menghargai kebinekaan ini. Jadi, sebagai negeri yang mejemuk, Indonesia memiliki potensi besar untuk bangkit.

Berbeda dengan negara-negara di Timur Tengah yang terus atau rawan berkonflik. Kalau ada berbedaan politik atau mazhab, mereka bertengkar. Jadilah negara mereka terpecah-belah. Sementara, di Indonesia—meskipun tak sepi dari konflik atau salah paham juga—tidak sampai berperang saudara.

Malahan, di sini ada banyak agama. Pun di dalam umat Islam sendiri, ada banyak organisasi. Sampai saat ini, aman-aman saja walaupun ada juga pihak-pihak yang masih memaksakan kehendak, tapi mereka tidak banyak.

Intinya, orang Indonesia itu rata-rata bisa saling bekerja sama, menerima, dan memahami. Kalau semua itu dipertahankan, insya Allah Indonesia akan bisa menjadi seperti Daulah Umayyah dan Abbasiyah suatu ketika.

Santri yang Menjadi Guru Besar

 

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Al Makin memiliki latar belakang santri. Guru besar ilmu filsafat itu merupakan putra Haji Rohani, seorang kiai langgar di Bojonegoro, Jawa Timur. Sejak kecil, dirinya rutin mengaji Alquran, termasuk di bawah bimbingan ayahandanya.

Menginjak usia remaja, Al Makin menimba ilmu di Pondok Pesantren Adnan al-Charish. Lembaga itu merupakan bagian dari Pondok Pesantren Abu Dzarrin, Kendal, Bojonegoro. Mulai dari sanalah ia belajar menguasai bahasa Arab. Berbagai kitab dipelajarinya, seperti I’lal, Jurumiyah, serta Tafsir Jalalain. Meskipun menghabiskan banyak waktunya di rihlah keilmuan pesantren, dirinya justru tertarik pada dunia kampus, alih-alih berdakwah sebagaimana ulama tradisional.

Untuk meneruskan jenjang pendidikan tinggi, lelaki yang lahir pada 2 September 1972 itu mendaftar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta—kala itu masih berstatus sebuah institut agama Islam negeri (IAIN). Jurusan yang diambilnya ialah tafsir dan hadis. Sebagai mahasiswa, ia aktif mempelajari banyak ilmu pengetahuan, termasuk kemampuan berbahasa Inggris.

“Saya baca buku-buku dalam bahasa Inggris jauh lebih bagus dan lebih dalam sehingga saya ingin ke luar negeri. Dan alhamdulillah doanya dikabulkan,” ujar Al Makin kepada Republika baru-baru ini.

Begitu lulus pada 1995, ia melanjutkan studi master di McGill University, Kanada. Tesisnya membahas kitab tafsir karya Sayyid Qutb beserta biografi sang mufasir. Adapun studi S-3 ditempuhnya di Universitas Heidelberg, Jerman. Disertasinya mengenai kemunculan Islam dan situasi Jazirah Arab pada abad ketujuh.

Al Makin semakin sering berinteraksi dengan akademisi dari berbagai negara. Apalagi saat dirinya menjadi peneliti dan dosen tamu di Jerman, Singapura, Australia, dan Amerika Serikat. Baginya, komunitas akademik di negara-negara maju mengingatkannya pada situasi era keemasan Islam.

“Mereka sama seperti para ilmuwan era Daulah Umayyah dan Abbasiyah. Mereka total. Mereka juga mendapatkan support sehingga mendedikasikan hidupnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Itu yang semestinya kita tiru di Indonesia,” ucapnya.

Pada 2018, ia dikukuhkan sebagai guru besar filsafat. Pidato pengukuhannya bernada kritik-reflektif terhadap situasi akademik di Tanah Air. Judulnya, “Bisakah Menjadi Ilmuwan di Indonesia?: Keilmuan-Birokrasi dan Globalisasi.”

Sejak Juli tahun ini, Al Makin diangkat sebagai rektor UIN Sunan Kalijaga. “Semboyan saya, ‘UIN Sunan Kalijaga untuk Bangsa, UIN Sunan Kalijaga Mendunia’. Artinya, ilmu pengetahuan pendidikan yang kita lakukan ini untuk perbaikan bangsa dan seluruh dunia. Karena tidak mungkin menghindari globalisasi saat ini,” simpulnya.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat