Pemandanga sisa pembakaran hutan untuk pembukaan lahan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Kabupaten Nagan Raya, Aceh. | ANTARA FOTO

Opini

Antisipasi Ancaman Ekosida

Ini kejahatan lingkungan yang masuk kualifikasi ekosida.

SUPARTO WIJOYO, Akademisi Hukum Lingkungan dan Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

Tahun 2020 dicatat dalam tarikh peradaban manusia sebagai tahun pandemi Covid-19, yang secara global mengonstruksi komitmen agar sains dan teknologi tidak tunduk pada pagebluk.

Pandemi pada kisahnya melahirkan manusia inovatif yang menyodorkan temuan vaksin Covid-19 sehingga terdapat optimisme publik untuk beranjak bangkit mengarungi 2021.

Stimulus ekonomi, stabilitas politik, dan kehadiran pemimpin lokal baru produk Pilkada 9 Desember 2020, mengikuti bahasa Erich Fromm (1968), menjadi garansi pemantik “revolusi harapan ke arah renaisans humanisme” pada 2021.

Belajar dari kesengsaraan

Pandemi Covid-19 sepanjang 2020 amat menyengsarakan dan memukul telak sendi-sendi khalayak. Resesi ekonomi melanda dunia, yang di Indonesia nestapanya makin kompleks dengan bencana hidrometeorologi  yang direkap BNPB sebanyak 2.939 kejadian.

 
Rentetan prahara ekologi pada 2020 merupakan produk  kebijakan lingkungan yang telah lama dipancangkan. 
 
 

Kejadian ini berupa 16 gempa bumi, tujuh erupsi gunung api, 326 karhutla, 29 kekeringan, 1.070 banjir, 575 tanah longsor, 879 puting beliung, dan 36 gelombang pasang.

Bencana ini menimbulkan korban: 370 meninggal, 39 hilang, 536 luka-luka, 6.441.267 menderita dan mengungsi, 42.758 rumah hancur, dan 1.542 fasilitas umum rusak.

Kelam akibat pandemi Covid-19 pun makin menyekat hati karena dana bansosnya disinyalir mengalir ke arena pilkada sehingga demokrasi kala pandemi tak menumbuhkan empati para petinggi.

Pergerakan kasus positif Covid-19 mutlak diwaspadai dan membutuhkan solusi ilmu yang multidisiplin.

Berbagai program mengatasi korona melalui corona protocol merupakan kontribusi rumpun hukum dengan ragam figurnya: surat edaran atau keputusan presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota, camat, lurah, kepala desa, rektor, termasuk kepala sekolah. Inilah momentum yang hendaknya menyadarkan kaum yuris yang selama ini “monodisiplin”  bersedia menoleh ke ruang multidisiplin.

Para ekonom lazim menyebut homo economicus dan perspektif antropologis mengenai fungsi hukum model Alain Supiot (2007) memperkenalkan istilah homo juridicus atau manusia sebagai makhluk hukum.

Dalam lingkup ini, penulis memaknai Covid-19 mampu menciptakan transformasi legislasi multidisiplin dari para pemimpin dunia. Opsi WHO dengan riset vaksin dan penetapan lockdown adalah peristiwa sains, medis, teknis, sekaligus yuridis-politis.

Pada telisik inilah dirajut “jahitan regulasi” untuk mengatasi Covid-19 dalam atribut coronavirus juridicus (dengan harapan pendidikan tinggi hukum makin inovatif-solutif).

Mengantisipasi ekosida

Rentetan prahara ekologi pada 2020 merupakan produk  kebijakan lingkungan yang telah lama dipancangkan. Selama ini kita berbuat destruktif terhadap hutan, bentang alam, pekarangan, sawah ladang, sungai, dan lautan yang membentang.  

Berpuluh tahun, kawasan lindung  dipaksa bunuh diri ekologi (ecological suicide) dengan konversi lahan tanpa kendali. Hutan-hutan digerus, diubah menjadi area pergudangan, kawasan industri tanpa konservasi, maupun properti yang nirekologi.

Penjungkirbalikan pemanfaatan ruang dipertontonkan dengan vulgar di mana-mana. World Resources Institute (2020) merekam data dari University of Maryland bahwa daerah tropis kehilangan 11,9 juta hektare tutupan pohon pada 2019.

 
World Resources Institute (2020) merekam data dari University of Maryland bahwa daerah tropis kehilangan 11,9 juta hektare tutupan pohon pada 2019.
 
 

Hampir sepertiga kehilangan tersebut, yaitu 3,8 juta hektare, terjadi di hutan primer tropis basah yang penting bagi keanekaragaman hayati dan penyimpanan karbon. Ini setara kehilangan hutan primer seluas lapangan sepak bola setiap enam detik sepanjang tahun.

Realitas itu semakin perih dengan niatan memberi karpet merah kepada investor melalui rekayasa hukum. Investasi tak haram, asal bervisi ekologi dengan menaati instrumen lingkungan.

Deforestasi melalui skema pengalihfungsian lahan demi menggenjot pertumbuhan ekonomi tetapi abai pada aspek ekologi adalah “babak penyisihan” menuju “pembunuhan ekosistem”. Ini kejahatan lingkungan yang masuk kualifikasi ekosida (ecocide).

Terminologi yang diperkenalkan Raphael Lemkin, yuris Polandia yang mengistilahkan ekosida sebagai istilah hukum dengan kategori kejahatan sangat luar biasa.

Kejahatan terhadap lingkungan, yaitu pemusnahan lingkungan hidup (ecocide), sangat erat dengan kejahatan genocide, culture genocide, dan ethnocide (M Ridha Saleh, 2020).

Merehabilitasi, mereboisasi, dan mengonservasi kembali setiap teritori dengan membangun hutan kota dan hutan desa adalah kebijakan praktis yang mudah direalisasi.

Tidakkah bencana selama ini memberikan pelajaran yang keras? Mengikuti saran Jared Diamond melalui karyanya, Collapse (2014): siapa pun, perorangan, badan usaha, dan negara dapat menemukan cara mencegah peradaban ambruk karena dunia tak kuat menanggungnya.

Bukankah ini ajakan terbaik mengembalikan bumi ke posisi keseimbangan ekologis?

Rakyat berharap kehidupan tenteram pada 2021 dan itu dimulai dari sekarang. Peter Senge dan kawan-kawannya mengungkapkan dalam The Necessary Revolution: “... the future is now” dan kita menyadarinya dengan sungguh-sungguh. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat