Subroto | Daan Yahya | Republika

Narasi

Merasakan Gas Air Mata

Meliput demonstrasi yang berpotensi konflik perlu persiapan.

 

SUBROTO, Jurnalis Republika

Situasi di Jakarta, Mei 1998 panas. Demo mahasiswa terjadi dimana-mana. Mahasiswa bergerak menuju Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta. Mereka menuntut reformasi, menuntut Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden.

Saat itu aku masih meliput di  desk ekonomi. Tapi naluri wartawan kadang tak mengenal pos liputan. Jadi aku usahakan meliput ke  Gedung MPR/DPR yang menjadi pusat  aksi demo mahasiswa. Aku harus jadi bagian sejarah yang menyaksikan dan mencatat peristiwa itu. Begitu tekadku.

Sehabis liputan di pos ekonomi,  aku hendak mendatangi  gedung MPR/DPR Senayan.  Ribuan mahasiswa mengalir ke Senayan. Barisan polisi berjaga-jaga di berbagai sudut. Lengkap dengan peralatan huru-hara, water cannon, dan gas air mata.  Sulit untuk menembusnya.

Aku  memilih masuk dari arah Stadion Utama Senayan (GBK) dan berjalan  kaki melewati  depan Studio TVRI di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan. Jalanan sudah padat  dengan demostran. Mereka berteriak-teriak meminta Presiden Soeharto mundur.   

 
Beberapa detik kemudian asap sampai ke wajahku. Aku berusaha menutup mulut dan hidung dengan tangan. Tapi terlambat. Asap itu terlanjur terhirup. 
 
 

Menjelang fly over Senayan, tiba-tiba dari arah berlawanan mahasiswa berlarian. Batu-batu dan botol berhamburan entah dari mana datangnya.

“Munduur….,” teriak seorang mahasiswa memberi aba-aba.

Teman-temannya tak mendengarkan. Yang lain tetap saja merangsek maju sambil melemparkan benda-benda di sekitarnya.

Aku mencoba menghindari aksi lempar-lemparan itu, melindungi kepala dengan ransel. Nekad saja terus berusaha menuju ke gedung wakil rakyat bersama dengan para mahasiswa. Belum jauh melangkah, tiba-tiba terdengar suara seperti letusan. Sebuah benda berasap jatuh di depanku. Kira-kira 10 meter jaraknya. Asap itu membumbung ke atas dan dibawa angin ke arahku.

Beberapa detik kemudian asap sampai ke wajahku. Aku berusaha menutup mulut dan hidung dengan tangan. Tapi terlambat. Asap itu terlanjur terhirup. 

Asap itu adalah gas air mata atau lacrimator.  Gas air mata adala semacam senjata kimia berupa gas  yang biasa digunakan untuk melumpuhkan. Polisi paling sering memakainya untuk membubarkan demonstrasi.  Bentuknya semprotan, bisa juga granat. 

Gas ini terdiri dari senyawa padat aerosol atau senyawa cair yang diuapkan. Gas air mata mengakibatkan iritasi pada selaput lendir di mata, hidung, mulut, dan paru-paru. 

Dampaknya langsung terasa.  Hidungku terasa perih. Mata apalagi, rasanya nyeri.  Air mata mengalir keluar begitu saja. Pandangan kabur. Dadaku juga  terasa sesak. Baru kali ini aku merasakan gas air mata.

 
Suasana benar-benar kacau. Granat asap dibalas dengan hujan batu. Arah lemparan sudah tak karuan. 
 
 

Granat asap kembali meletus. Kali ini jumlahnya lebih banyak. Asap putih membumbung memenuhi jalanan. Para demonstran kocar-kacir. Hanya yang membekali diri dengan masker yang masih bertahan.

Suasana benar-benar  kacau.  Granat asap dibalas dengan hujan batu.  Arah lemparan  sudah tak karuan. Segera saja  aku berlari berbalik arah menjauhi granat  asap dan lempar-lemparan batu itu. Aku sampai di depan Gedung TVRI dengan napas terengah-engah. Dada makin sesak diikuti batuk.

Aku juga merasa pusing yang sangat. Padahal jarakku cukup jauh dari jatuhnya granat asap tadi. Segera saja aku minum dan mencuci mukaku dengan air mineral. Itu cukup membantu mengurangi perih di mata dan sesak di dada. Aku pun istirahat, rebahan di pinggir trotoar. 

Setelah istirahat sekitar setengah jam, perih di mata hilang. Tapi pusingku belum sirna. Aku coba rebahan lebih lama, tapi rasa pusing tak kunjung reda.  Dalam kondisi seperti itu  tak mungkin meneruskan memaksa diri ke Senayan. Apalagi lempar-lemparan  di jalan arah  Senayan masih belum berhenti. 

Aku berjalan lesu dengan kepala yang masih terasa sakit. Terpaksa kembali ke kantor. Salahku liputan demonstrasi tak siap menghadapi kondisi. Saat berangkat sebenarnya badanku tak terlalu fit. Aku juga tak membekali diri dengan masker untuk melindungi diri dari gas air mata.  

Aku meninggalkan arena liputan yang aku inginkan itu. Pulang dengan perasaan kecewa karena tak bisa menembus Gedung MPR/DPR Senayan.

Demonstrasi mahasiswa diikuti oleh kerusuhan di Jakarta. Mulai tanggal 13 Mei 1998 Jakarta  membara. Pembakaran  terjadi dimana-mana.  Penjarahan melanda pusat-pusat  perbelanjaan.  Ada yang sampai dibakar habis sampai rata dengan tanah. Massa seperti marah entah pada siapa.  

 
Cerita pilu bermula saat mal itu dijarah massa. Ketika penjarahan terjadi, ada yang membakar mal. Akibatnya mereka yang berada di dalam terjebak, terinjak-injak dan tewas.
 
 

Aku  sempat  meliput lokasi kerusuhan di Klender Jakarta Timur.  Jogja Plaza, pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta Timur saat itu,  ludes dilalap api. Diperkirakan ada sekitar 400 orang yang terjebak dan terbakar di dalamnya.

Saat aku datang mal masih dipenuhi asap. Banyak warga berkumpul mencari saudaranya yang terjebak di dalam. Mereka bertangis-tangisan. Tak ada yang bisa masuk. Selain api masih menyala di beberapa titik, ada kekhawatiran mal akan ambruk.

Cerita pilu bermula saat mal itu dijarah massa. Ketika penjarahan terjadi, ada yang membakar mal. Akibatnya mereka yang berada di dalam terjebak, terinjak-injak dan tewas.

Tanggal 18 Mei mahasiswa berhasil menduduki Gedung MPR/DPR Senayan. Mereka bertahan hingga  Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998 . Dia digantikan wakilnya, BJ Habibie.

Jika mengenang peristiwa Mei 1998,  salah satu  yang kuingat adalah kegagalanku  menembus Senayan karena gas air mata. Perih di mata bisa hilang, tapi sesal di dada tak pernah pergi.

Tips Meliput Aksi Demonstrasi

- Pastikan kondisi tubuh prima

- Gunakan pakaian lapangan yang nyaman

- Bawa ID card,  kalungkan di leher

- Siapkan makanan dan minuman

- Siapkan peralatan mengatasi  gas air mata, seperti masker dan air mineral

- Jika kondisinya kurang aman, jangan mengeluarkan alat perekam ketika wawancara

- Waspada  ketika mengambil foto dan video

- Tetap di pihak yang netral

- Jaga jarak aman dari kerumuman

- Jangan memaksakan diri masuk jika terjadi bentrokan

- Tetap tenang jika terjadi kerusuhan

- Usahakan melengkapi diri dengan asuransi

 

 

 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat