Subroto | Daan Yahya | Republika

Narasi

Nonton Film Esek-Esek

Membuat ficer harus lihai menggambarkan suasana.

SUBROTO, Jurnalis Republika

Kendati sudah jadi wartawan sebelumnya, aku tetap diperlakukan sama dengan reporter baru lainnya di Republika. Belajar jurnalistik lagi dari dasar, mulai teori sampai praktik-praktiknya.

Tahap pertama yang harus kami jalani  adalah orientasi wartawan baru. Lamanya seminggu. Kami menjalani camp di Parung,  Bogor, Jawa  Barat.

Selama masa orientasi, calon wartawan Republika angkatan 1996  digembleng oleh banyak tokoh nasional dan wartawan senior.  Kami diberikan pengetahuan tentang ke-Republika-an, ICMI, dan isu-isu nasional. Dan tentu saja dasar-dasar jurnalistik, seperti melakukan reportase, menulis berita,  wawancara, kode etik jurnalistik, dan lainnya . Materi diberikan dalam bentuk teori dan praktik.

Selesai menjalani kawah candradimuka di Parung, selanjutnya kami diserahkan ke mentor. Mentor dipilih dari redaktur yang  berpengalaman. Dia bertugas mendampingi wartawan baru untuk menjadi wartawan sungguhan. Seorang mentor mendampingi 2-3 wartawan baru.Setiap hari selama sebulan penuh  mentor memberikan bermacam-macam tugas. Malam hari  sehabis  liputan, reporter baru menjalani mentoring di kantor. Mentor mengevaluasi tugas-tugas yang diberikan.

 
Setiap hari selama sebulan penuh  mentor memberikan bermacam-macam tugas.
 
 

Tugasnya  bisa aneh-aneh.  Ada yang diminta menyambangi kamar mayat malam hari, mewawancarai preman di terminal, meliput kue Subuh di Pasar Senen, atau mewancarai gelandangan di jalanan Jakarta. Kadang juga diminta meliput acara sungguhan. Hampir di tiap angkatan ada yang tak kuat menjalani masa mentoring ini.

Tugas liputan seharian itu tidak untuk dimuat. Tapi jika hasil reportasenya bagus, tak menutup kemungkinan akan muncul di koran.

Suatu malam sehabis mentoring, redaktur memanggil kami bertiga  yang berada di bawah bimbingannya.  Kami diminta untuk meliput suasana bioskop yang memutar film  seks yang banyak menampilkan adegan dewasa, alias film esek-esek. Dia menjelaskan, hasil liputan itu akan digunakan untuk tulisan ficer di halaman Siesta.

Tentu saja kami bingung dengan penugasan itu, Masa wartawan Republika diminta meliput film esek-esek ? Apa nggak salah ?

“Kan nggak cocok itu buat pembaca Republika Mas,” protesku.

“Kita mau gambarkan fenomenanya. Bukan mau mempromosikan filmnya,” kata redaktur beralasan.

 
Aku mulai mencari info bioskop yang menayangkan film esek-esek di Jakarta. 
 
 

Beberapa saat kami berdebat. Mencoba memberikan alternatif lain. Tapi redaktur bersikukuh. Ya sudah, terpaksa kujalani tugas itu.

Di era 90 an perfilman nasional dipenuhi dengan film-film bertema seks. Adegan panas dijadikan senjata utama memancing penonton datang ke bioskop. Film-film yang berisi adegan dewasa antara lain Ranjang yang Ternoda (1993),  Kabut Asmara (1994), Bebas Bercinta (1995), Gairah Tabu (1996), dan banyak lainnya.

Aku mulai mencari info bioskop yang menayangkan film esek-esek di Jakarta. Seorang teman memberitahu, salah satunya ada di dekat Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Lokasinya tak jauh dari kantor.

Sore itu  aku menyambangi bioskop itu. Harus tanya beberapa kali ke pedagang di sekitar Pasar Minggu untuk sampai di lokasi. Letaknya agak tersembunyi, sekitar 100 meter dari jalan raya.

Aku sengaja mengenakan topi agar mukaku tak kelihatan jelas. Juga mengenakan jaket yang sesekali kupakai menutup wajah.  Kan malu juga kalau  ada yang mengenaliku. Wartawan Republika koq nontonnya film kayak gitu.

Aku lupa judul film yang kutonton. Aku tak memilih filmnya.   Yang penting masuk bioskop.  Fokusku adalah menggambarkan suasana di bioskop itu dan mewawancarai pengunjung.

Aku membeli karcis,  lalu masuk ke dalam. Di dalam ruangan sudah penuh. Suasana ramai sekali.  Rata-rata  yang datang adalah  anak muda yang berpasangan. Bioskop itu seperti tak terawat.  Dindingnya kusam,  kursinya belel. Udara di dalam terasa panas.  

Sengaja aku memilih kursi di pojok paling belakang. Dari situ aku bisa melihat suasana dalam bioskop sebelum lampu dimatikan.  Aku merekam dalam ingatakan suasana itu.

 
Lampu dimatikan, film dimulai. Penonton berteriak-teriak tak jelas. Bersuit-suit.
 
 

Dengan memohon-mohon aku meminta agar orang disebelahku mau diwawancara. Dia  sempat bingung juga ada orang masuk bioskop untuk wawancara. Untung akhirnya dia mau cerita mengapa mau menonton film itu, apa yang dicari, dan apa yang didapatkan.

Lampu dimatikan, film dimulai. Penonton berteriak-teriak tak jelas. Bersuit-suit. Bila ada adegan ciuman atau adegan syur lainnya, penonton berteriak lebih keras. Kadang sampai bertepuk tangan, seolah memberi semangat.

“Diam wooi.. berisik,” teriak sebuah suara.

“Lu aja yang diem,” balas suara dari kursi lain.

Seisi bioskop tertawa.

Aku lebih konsen dengan adegan sahut-sahutan penonton bioskop dibanding filmnya. Baru kali ini nonton di bioskop dengan suasana seperti pasar.

Rasanya ingin cepat-cepat saja keluar.Sayangnya tak bisa, aku harus mewawancarai satu orang lagi sesudah menonton film.

 
Setelah baca tulisannya, ternyata hanya beberapa kalimat saja dari tulisanku yang dikutip. Padalah aku sudah menulis berpanjang-panjang dengan segenap usaha.
 
 

Setelah film usai, aku memburu penonton untuk wawancara.  Susah sekali untuk dapat narasumber yang mau diwawancarai. Lagian siapa yang mau diwawancarai soal nonton film esek-esek ? Kan malu.

Aku harus dapat komentar satu lagi penonton. Seorang target narasumber aku aku kuntit sampai ke parkir motor. Akhirnya  dia mau sedikit komentar.”Tolong nama saya jangan ditulis nama asli ya,” pesannya.

Hasil liputan itu aku  tuliskan menjadi ficer seperti arahan redaktur.  Ficer adalah tulisan khas.  Hasil liputan yang ditulis dengan gaya bercerita.

Tulisan itu dimuat menjadi ficer di rubrik Siesta. Tentu saja aku senang, tulisanku dimuat, walaupun  digabung  dengan banyak hasil liputan wartawan lain.

Setelah baca tulisannya, ternyata hanya beberapa kalimat saja dari tulisanku yang dikutip. Padalah aku sudah menulis berpanjang-panjang dengan segenap usaha.

Tak apalah,  itu masih mending. Ada juga calon reporter yang cuma berkontribusi di bagian titik saja dari tulisan panjang itu.

Tips  mengumpulkan bahan untuk tulisan ficer

- Buat perencanaan liputan sebelum terjun ke lapangan

- Tentukan target narasumber

- Cari narasumber alternatif, jika sumber utama tidak bisa diwawancarai

- Cari beberapa kemungkinan angle yang menarik, perdalam salah satunya

- Lakukan observasi di lokasi liputan

- Lengkapi bahan-bahan di lapangan dengan riset pustaka

- Beri gambaran detail tentang, lokasi, orang, dan kejadian

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat