Subroto | Daan Yahya | Republika

Narasi

Susah Gampang Masuk  Republika

Lolos tes menjadi wartawan Republika susah-susah gampang.

 SUBROTO, Jurnalis Republika

Dalam berbagai kesempatan aku sering ditanya mahasiswa,  apa persyaratan menjadi wartawan ? Apakah harus berasal dari fakultas komunikasi atau jurnalistik ? Apa  saja yang harus dipersiapkan sebelum menjadi wartawan ? 

Sejumlah media menerapkan model rekrutmen wartawan yang berbeda. Tapi secara umum standarnya sama. Lulus S1 dan tidak harus dari jurusan komunikasi. Materi tes yang diuji biasanya adalah  pengetahuan umum,  wawancara, psiko test, bahasa Inggris, dan kesehatan.

Lolos  tes menjadi wartawan Republika susah-susah gampang. Gampang kata yang sudah berhasil bergabung. Tapi susah juga, buktinya banyak figur yang menjadi tokoh saat ini, dulu tak lolos dalam tes menjadi wartawan di Republika. Bahkan tak lulus syarat administrasi.

Bulan Agustus 1996 aku melihat ada lowongan kerja di Harian Republika. Berbagai persyaratan diminta, lulus S1, IPK minimal 2,7, bisa berbahasa Inggris, bersedia ditempatkan di mana saja, dan lainnya.  

 
Banyak tokoh, intelektual, dan aktivis bergabung di Republika saat itu.
 
 

Aku tentu tertarik. Sejak kuliah aku sudah membaca Republika. Saat liputan di Bekasi sebagai reporter Berita Yudha (BY) aku sering jalan bersama wartawan Republika Andi Nurman Nurusman (almarhum) dan Guntoro Soewarno. Jadi aku tahu banyak tentang Republika.  

Republika adalah koran nasional, didirikan oleh ICMI yang diketuai BJ Habibie. Banyak tokoh, intelektual, dan aktivis bergabung di Republika saat itu.

Aku yang baru saja kehilangan pekerjaan di Berita Yudha (baca tulisan Dipecat Membawa Nikmat) segera mengirim berkas lamaran.  Menurutku, aku memenuhi syarat administrasi yang ditentukan.

Sekitar dua minggu  setelah melayangkan surat lamaran, panggilan mengikuti   tes datang. Pelaksanaan tes 2 September 1996 pukul 07.00-17.00 di Ruang Reog Madura, Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.

Tes pertama adalah pengetahuan umum dan psikologi. Pesertanya mencapai 600 orang. Jumlah itu  adalah yang lolos dari  dari sekitar 3.000 pelamar.

Tes psikologi diisi dengan mengerjakan soal-soal semacam TPA, menggambar, dan tes Pauli (tes Koran). Bagiku yang berat justeru tes Pauli. Bukan susah menjawabnya, tapi  tanganku sampai kram menulis jawaban 2.000 an soal yang diberikan.

Tes ini sebenarnya sederhana,  hanya menghitung bilangan 0 sampai 9.  Bentuknya selembar kertas berukuran besar yang berisi deretan angka-angka yang tersusun secara membujur dan berbentuk jalur-jalur.  Peserta diminta untuk mengisi jawaban. 

photo
Jadwal rekruitmen calon reporter Republika pada 1996. - (Dok Mahladi)

Model tes psikologi yang dikembangkan oleh Richard Pauli ini  banyak digunakan pada proses penerimaan karyawan. Tes ini mengukur aspek kepribadian. Semakin banyak peserta tes  melakukan kesalahan, menunjukkan dia tidak teliti, kurang hati-hati, dan kurang punya daya tahan menghadapi tekanan dalam pekerjaan.

Bagiku tes ini sangat menguras tenaga.  Harus menjawab hitungan sederhana, tapi mesti cepat, dan waktu dibatasi tiap bagiannya. Selesai tes ini jari-jari tanganku kaku beberapa saat. Benar-benar tak bisa digerakkan.  Butuh beberapa lama kuurut sendiri, sebelum akhirnya normal.

 Pertanyaan tes pengetahuan umum berbentuk essay. Soalnya menguji pengetahuan tentang isu-isu terkini dan juga pengetahuan umum lainnya.

Tak begitu sulitlah, karena aku sudah menjadi wartawan selama enam bulan di BY.  Tiap hari hari aku membaca koran dan mengikuti perkembangan peristiwa di dalam dan di luar negeri.

Hasil tes  pertama diumumkan di Harian Republika edisi Ahad 8 September 1999. Senang sekali rasanya  melihat nomor pesertaku muncul di antara deretan nomor peserta lain.

 
Aku juga ditanya apakan wartawan boleh menerima amplop ? Kujawab tidak. 
 
 

Tes kedua adalah  wawancara . Lokasinya di Hotel Kemang, Jakarta Selatan.  Pelaksanaannya 11-12 September 1996.  Jumlah peserta sudah menyusut menjadi 118 orang.  Kami dibagi menjadi enam grup dengan jadwal wawacara yang berbeda.

Saat wawancara aku  ditanya apa kelebihan dan kekurangan Republika. Jawabanku lancar, karena  aku sudah menduga akan ada pernyataan seperti itu. 

Aku juga ditanya apakan wartawan boleh menerima amplop ? Kujawab tidak. Ketika bekerja di BY pun kami wartawan dilarang menerima amplop. Pertanyaan lainnya adalah  latar belakang pribadi, keluarga, kegiatan saat kuliah, motivasi menjadi wartawan,  dan rencana ke depan.

Tes kedua diumumkan di Harian Republika edisi Sabtu 14 September   Aku juga termasuk calon yang ikut  tahap berikutnya.  Kegiatannya adalah tes psikologi lanjutan. Jadwalnya 16-18 September 1996. Tes dilakukan PT Surindo Utama di Duren Tiga, Jakarta Selatan. 

Para peserta tes  berhadapan dengan penguji satu per satu. Aku diajukan sejumlah pertanyaan tentang aktifitas pribadi. Juga mengerjalan soal-soal dalam bentuk praktek seperti menyusun balok-balok menjadi bentuk bangunan.

Anehnya,  aku mampu mengerjakan tugas-tugas yang sulit, tapi tak bisa menyelesaikan soal-soal yang dianggap mudah oleh penguji. Kurang percaya dengan hasilnya, dia mengulang kembali mengujiku dari  awal. Tetap saja aku tak bisa menyelesaikan soal yang mudah. Begitu tes yang sulit, aku lancar saja mengerjakan.

 “Koq bisa ya ?” tanyaku heran.

Sang penguji hanya tersenyum.

Hasil tes psikologi tidak diumumkan tersendiri, tapi bersama dengan tes Bahasa Inggris.  Tes Bahasa Inggris dilakukan di Lembaga Bahasa LIA di Jalan Pramuka, Jakarta Timur, Kamis 19 September 1996.

Bentuk tes  tertulis. Mirip dengan tes TOEFL.  Sebenarnya dalam tes wawancara juga ada bahasa Inggris, tapi  saat itu cuma diminta memperkenalkan diri dan menjelaskan tentang kegiatan keseharian.

Hasil tes psikologi lanjutan dan bahasa Inggris diumumkan di Harian Republika edisi 5 Oktober .  Ini momen yang sangat mendebarkan.  Dua kali menanti pengumuman di koran sudah harap-harap cemas. Kali ini lebih cemas lagi,  karena ini adalah pengumuman terakhir siapa yang lolos menjadi calon repoter Republika.

Alhamdulillah. Ternyata nomorku masuk dalam 30 orang yang diterima di Republika. Ini adalah angkatan terbanyak dalam sejarah  rekrutmen reporter baru di Republika. Jumlah ini masih ditambah lagi dengan lima fotografer dan sejumlah lima awak iklan.

Ternyata setelah pengumuman  itu  prosesnya belum beres juga. Kami harus menjalani wawancara lanjutan dua hari kemudian. Wawancara dilakukan di gedung Harian Republika di Jalan Warung Buncit No 37, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. 

Hari itu, Senin 7 Oktober 1996 adalah  kali  pertama aku menginjakkan kaki di kantor Harian Republika. Gedungnya nyeni. Bentuknya lebih mirip rumah dibandingkan gedung perkantoran.  Tidak ada lift.  Untuk naik lantai demi lantai sampai ke  lantai 4 harus melewati tangga yang bentuknya meliuk-liuk.

Kami calon reporter baru dikumpulkan  ruangan basemen. Diberikan penjelasan tentang proses rekrutmen selanjutnya.  Yang memberi penjelasan Yayan Sofyan, manajer SDM.

 
Pelajaran pertama menjadi wartawan sudah didapatkan: Jangan mudah percaya dengan informasi dari orang  apalagi yang baru Anda kenal.
 
 

Yayan mengatakan, walaupun sudah diumumkan lolos, kami harus menjalani tes terakhir,  kesehatan.  Pria yang berkepala plontos dan ramah itu  menambahkan tes kesehatan itu hanya formalitas.  Semua lolos, kecuali yang memang punya sakit berat. 

“Atau misalnya  ada yang buta wana, ” katanya sambil tertawa.

Kami semua pun  tertawa. 

“Apakah kalau buta warna tidak diterima ? Karena saya buta warna.” tanya seorang calon repoter.

Tak ada jawaban dari Yayan. Ruangan menjadi hening seketika.

Tes kesehatan dilaksanakan di Direktorat Kesehatan  TNI AU  Lakespra Saryanto, Jakarta Selatan pada Selasa 8 Oktober 1996. Tempat ini biasa digunakan untuk menguji kebugaran para pilot TNI AU. Jadi standarnya tinggi.

Lucunya, saat tes ada peserta yang tak mengenakan celana dalam. Rupanya dia dikerjai oleh calon reporter lainnya. Dia diberitahu tes kesehatan itu tak boleh pakai celana dalam. Dia percaya saja.

Pelajaran pertama menjadi wartawan sudah didapatkan: Jangan mudah percaya dengan informasi dari orang  apalagi yang baru Anda kenal.

Yang mengagetkan, saat diperiksa di bagian mata, ternyata aku dinyatakan buta warna. Tentu saja aku kaget. Aku tak bisa menerima. Selama ini aku merasa mataku baik-baik saja.

Aku  berdebat dengan petugas kesehatan yang memeriksa,  karena tak merasa buta warna. Tapi berberapa kali tes  diulang, hasilnya tetap sama. Aku tak bisa membaca seluruh angka yang ditunjukkan petugas. Mataku ternyata agak lemah terhadap warna hijau. 

photo
Jadwal wawancara calon reporter Republika. - (Dok Mahledi)

Ya Allah, bagaimana ini ?  Aku jadi ingat pernyataan Yayan Sofyan soal buta warna. Apakah dia serius ? Waduh, gawat kalau aku tak jadi lolos gara-gara buta warna.  Sepulang dari tes kesehatan aku terus memikirkan soal itu.  

Besoknya, kami dikumpulkan di basemen  Harian Republika lagi.  Diumumkan bahwa semua yang ikut  tes kesehatan lolos. Alhamdulillah.   Buta warna ternyata  tak dijadikan syarat menjadi wartawan . Lagian apa hubungannya wartawan dengan buta warna ? Yayan  Sofyan hanya bercanda ternyata.

Hari itu  kami bertemu dengan pemimpin redaksi dan pemimpin umum  Republika Parni Hadi (PH). Selama ini aku hanya tahu PH dari cerita dan baca tulisannya. PH bertubuh tinggi besar. Pria  asal Madiun, Jawa Timur  itu  bicaranya tegas dan bersemangat.  

“Selamat datang di Republika. Jadikan ini seperti rumah you sendiri,” kata PH.

Kamipun resmi menjadi  wartawan Republika dengan status calon reporter (carep). Tahapan untuk menjadi reporter Republika  masih panjang. Bisa setahun lamanya sebelum akhirnya benar-benar lolos menjadi wartawan Republika.

Tips mempersiapan diri menjadi wartawan

- Banyak membaca

- Belajar menulis, fotografi, dan video

- Bergabung dengan pers kampus atau mengikuti pelatihan-pelatihan jurnalistik

- Mempelajari cara kerja wartawan 

- Menguasai bahasa asing

- Aktif dalam kegiatan mahasiswa

- Memastikan diri bahwa pilihan menjadi wartawan adalah keinginan sendiri

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat