IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

200 Meter Menjadi 200 Kilometer

Jarak yang mestinya 200 meter menjadi 200 kilometer. Tembok pembatas menjadi penyebabnya.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Jarak 200 meter itu jauh atau dekat? Siapa pun akan mengatakan dekat, kecuali Mustofa, warga Tepi Barat, Palestina ini. Berikut potret keluarga Palestina yang hidup menderita dan penuh perjuangan di bawah pendudukan Zionis Israel.

Mustofa, sang kepala keluarga, berusia 40-an tahun. Istrinya Salwa, 35-an tahun. Mereka hidup bahagia bersama tiga anak di sebuah desa di Tepi Barat. Tembok pemisah dibangun Israel, memaksa Mustofa terpisah dari istri dan anak-anaknya.

Mustofa hidup di satu sisi tembok dan keluarganya di sisi lain. Untuk ke tempat keluarganya, ia mesti beberapa kali melewati terowongan sempit dipenuhi pejalan kaki dan harus mematuhi perintah tentara Israel, yang memberhentikannya di pos-pos penjagaan.

Masalahnya lebih buruk ketika polisi Israel tidak mengizinkan Mustofa menyeberang ke desa, tempat tinggal keluarganya di wilayah pendudukan. Alasannya, ia tidak memiliki izin sebelumnya dari otoritas Israel. Itu membuat Mustofa mengambil risiko.

 
Panjang tembok yang dibangun sejak Intifadah Palestina II (perang rakyat semesta) pada 2000-2005 ini sekitar 712 km, terbuat dari kawat berduri, parit, kabel listrik, dan dinding beton bertulang setinggi 9 meter.
 
 

Ia menggunakan transportasi ilegal untuk ke rumah sakit, tempat putranya dirawat akibat kecelakaan lalu lintas. Perjalanan itu berjam-jam karena jarak yang mestinya hanya 200 meter menjadi 200 kilometer. Tembok pembatas menjadi penyebabnya.

Panjang tembok yang dibangun sejak Intifadah Palestina II (perang rakyat semesta) pada 2000-2005 ini sekitar 712 km, terbuat dari kawat berduri, parit, kabel listrik, dan dinding beton bertulang setinggi sembilan meter. Sekitar 85 persen dinding ini terletak di Tepi Barat yang diduduki Israel. 

Dalam satu waktu, Mustofa berteriak marah ketika pengemudi terus mengomel sepanjang perjalanan karena harus melalui gang-gang sempit dan jalan tikus, untuk menghindari pos-pos penjagaan Israel.

Mustofa sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, tempat anaknya dirawat. "Istri dan anak-anak saya hanya berjarak 200 meter dari saya di balik tembok itu." Dia berteriak. Mustofa sebenarnya tidak sedang marah kepada si pengemudi, tapi kepada si keparat Israel.

Kisah Mustofa dan keluarganya dikemas apik dalam film berjudul "200 Meter", yang digarap sutradara muda Palestina, Amin Nayfeh. Menurut sutradara 30 tahun ini, Mustofa adalah kisah nyata sehari-hari para keluarga Palestina.

Film "200 Meter" terinspirasi kisah pribadi sang sutradara sendiri. Akibat tembok pemisah, ia mengalami kehidupan getir semasa kecilnya, pengalaman yang terus terukir saat ia dewasa. Termasuk saat ia tak bisa menemani neneknya pada hari-hari terakhir sebelum meninggal.

Film berdurasi 1,5 jam ini diawali pidato Presiden Amerika Serikat Donald Trump saat merilis rancangan damai buat mengakhiri konflik Israel-Palestina. Adegan berikutnya, langsung fokus ke persoalan keluarga Mustofa dan istrinya Salwa.

Kritikus film dari Italia, Nina Roth, mendeskripsikan film ini sebagai keberhasilan sang sutradara menggambarkan, tanpa melebih-lebihkan, penderitaan sehari-hari warga Palestina. Mereka telah kehilangan hak asasi manusia yang paling mendasar.

Tentang aktor utama yang tidak hidup bersama istri dan anak-anaknya di sisi seberang ‘Tembok Israel’, sang sutradara punya jawaban. Menurut dia, bila itu dilakukan berarti ia harus melepaskan identitas Palestina, hanya untuk mendapatkan identitas Israel.

Dan itu, katanya, mustahil dilakukan karena ia berasal dari Generasi Intifada, sementara istrinya berasal dari "Arab 48". Generasi Intifada adalah generasi yang ikut perang semesta melawan penjajah Israel.

Sementara itu, "Arab 48" merupakan warga Palestina yang terpaksa hidup di bawah pendudukan Israel sejak 1967. Yang menarik, komunikasi sang aktor utama dengan istri dan anaknya, yang dipisahkan tembok Israel, dilakukan lewat telepon atau video call.

Masing-masing berdiri di balkon apartemen mereka. Terkadang juga melalui bahasa isyarat, lewat lampu yang dinyalakan dan dimatikan.

 
Bagi bangsa Palestina, seni pada umumnya dan film pada khususnya, bisa jadi, kini menjadi senjata perlawanan paling ampuh.
 
 

Semua yang terlibat dalam film "200 Meter" ini orang Palestina, termasuk sang produser perempuan Mai Odeh. Aktor utama Mustofa diperankan Ali Suleiman dan aktor utama perempuan dimainkan  Lina Zureik.

Film "200 Meter" mendapatkan berbagai penghargaan di sejumlah festival film, baik di negara Arab maupun di Eropa. Mulai Januari 2021, film ini akan diputar serentak di sejumlah negara, antara lain, Mesir, Yordania, Tunisia, Turki, dan Prancis.

Film yang dikerjakan selama tujuh tahun ini dijadwalkan akan mewakili Yordania pada gelaran Piala Oscar 2021 di Los Angeles, AS. Selain warga Palestina, sutradara Amin Nayfeh juga berkewarganegaraan Yordania.

Nayfeh tak menampik, selain karya seni, film yang ia tukangi ini juga menyampaikan pesan politik, di tengah normalisasi hubungan beberapa negara Arab dengan Israel. Kalau tidak ada pengingat, menurut dia, masalah bangsa Palestina bisa terlupakan.

Bagi bangsa Palestina, seni pada umumnya dan film pada khususnya, bisa jadi, kini menjadi senjata perlawanan paling ampuh dan yang tersisa, yang dapat diandalkan untuk mempertahankan perjuangan. Terutama untuk memengaruhi dunia tentang kekejaman penjajah. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat