Pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, KH Muhammad Yusuf Chudlori. | DOK IST

Hiwar

KH Yusuf Chudlori, Pesantren Berperan Hadapi Era Digital

Kalangan pesantren tidak boleh bersikap fatalis menghadapi era digital.

Umumnya pondok pesantren di Indonesia menghadapi tantangan zaman, khususnya yang berkaitan dengan perkembangan teknologi digital. Internet membawa banyak sekali perubahan bagi kehidupan masyarakat.

Penggunaan teknologi tersebut makin masif. Dampaknya tidak melulu positif, tetapi juga negatif.

Menurut KH Muhammad Yusuf Chudlori, kalangan santri sesungguhnya berperan penting dalam menjawab tantangan pada era digital. Pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, itu mengatakan, para kiai dan ustaz di pesantren dapat memberikan pemahaman kepada generasi muda tentang pemanfaatan teknologi digital.

"Tentu pesantren mau tidak mau juga harus memberikan pemahaman dan skill tentang penguasaan teknologi informasi," ujar sosok yang akrab disapa Gus Yusuf ini.

Putra KH Chudlori ini menuturkan, perkembangan zaman merupakan sebuah sunnatullah. Untuk menghadapinya, kaum Muslimin, khususnya kalangan pesantren, tidak boleh bersikap fatalis.

Bagaimana kaum sarungan menyongsong perubahan yang sedemikian cepat akibat kemajuan teknologi? Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, bersama Gus Yusuf, beberapa waktu lalu.

Menurut Anda, apa saja tantangan zaman terkini bagi umat dan bangsa?

Yang namanya perkembangan zaman, itu merupakan sebuah sunnatullah. Artinya, ya pasti akan selalu terjadi. Manusia dari masa ke masa mengkreasikan sesuatu yang baru dan inovasi. Mereka menghasilkan teknologi untuk memudahkan aktivitas sehari-hari.

Kalau saya melihat, pesatnya perkembangan teknologi jadi tantangan zaman tersendiri saat ini. Namun, teknologi pada dasarnya merupakan salah satu anugerah dari Allah SWT. Sebab, memang fungsinya baik, yakni memudahkan urusan manusia. Akan tetapi, yang terpenting adalah bagaimana umat Islam kemudian bisa menyikapi perkembangan zaman secara bijaksana.

Tujuan pembuatannya mungkin baik, tetapi bukankah teknologi bisa disalahgunakan?

Teknologi bisa bermanfaat ketika digunakan secara tepat. Sebaliknya, ia bisa juga menimbulkan mudarat ketika digunakan orang-orang yang tidak baik, tidak benar. Maka, dalam hal ini kaum Muslimin, khususnya lagi kalangan pesantren, harus siap untuk memanfaatkan teknologi agar betul-betul berdaya guna untuk masyarakat, untuk agama.

Kalau saya melihatnya, tantangan besar pada era digital ini berkaitan dengan kebebasan informasi. Sebab, sekarang masyarakat sudah bisa mengakses informasi atau berita, ibaratnya, dari ujung dunia satu ke ujung lainnya. Nah, kita sebagai bangsa Indonesia juga harus siap menghadapi era global ini.

Kalau tidak pandai-pandai menyaring budaya ataupun berita dari luar, kita justru bisa menjadi kor ban dari budaya global itu. Budaya yang kadang-kadang tidak sesuai dengan etika dan kebudayaan bangsa, serta tidak sesuai dengan tuntunan agama.

Lantas, bagaimana peran pesantren?

Kalau pesantren ini, tetap seperti biasanya. Dalam arti, tetap memperkuat keilmuan dan keimanan. Itu sebagai fondasi awal untuk mempersiapkan generasi muda Muslimin agar tangguh menghadapi era global.

Kedua, tentu pesantren mau tidak mau juga harus memberikan pemahaman dan skill tentang penguasaan teknologi informasi.

Teknologi informasi sekarang ini bisa menjadi senjata atau alat bagi siapa pun. Maka, pesantren juga harus memanfaatkan teknologi informasi sebagai sarana berdakwah dan alat untuk berjuang. Pesantren harus mau membuka diri, memberikan ruang dan waktu kepada santrinya untuk menguasai teknologi informasi.

Seperti Pondok Pesantren API Tegalrejo ini, misalnya. Sampai hari ini, kita tetap menyelenggarakan sistem pendidikan salaf. Namun, itu juga kita iringi dengan sistem modern. Sekarang kita mulai membuka sekolah menengah kejuruan (SMK), yang di sana diajarkan tentang teknologi jaringan, multimedia.

Santri Tegalrejo sekarang total sekitar 13 ribu peserta didik. Pendidikan di pesantren ini dahulu menggunakan sistem salaf murni. Untuk menghadapi tantangan zaman, sejak awal 2000-an kami mulai merintis pendidikan formal, sejak jenjang SD, SMP, hingga SMA. Bahkan, di sini sudah ada sekolah tingginya.

Dunia pesantren cenderung mengakar kuat pada tradisi dan budaya lokal. Bagaimana menyongsong tantangan zaman?

Ya kalau pesan saya, sederhana saja. Jadilah santri yang tidak kagetan. Harus selalu siap untuk menghadapi segala situasi apa pun. Santri harus selalu bisa melayani masyarakat dengan cara dan model apa pun. Ini yang menjadi tantangan kita bersama.

Sekali lagi, prinsipnya adalah memelihara yang lama yang baik, mengambil yang baru yang lebih baik. Al-muhafadhotu 'ala qodimis sholih, wal akhdzu bil jadidil ashlah. Dan nanti kita akan melihat apa yang dibutuhkan masyarakat. Tegalrejo akan berusaha untuk melayani sebaik-baiknya.

Jadi, Pesantren Tegalrejo akan menjaga warisan-warisan leluhur yang baik. Sebut saja, mujahadah, riyadhah, dan pelajaran kitab-kitab salaf. Selain itu, kita juga terbuka untuk mengambil budaya-budaya baru atau teknologi baru yang lebih bermanfaat, termasuk internet ini.

Kalau di Pondok Pesantren API Tegalrejo, bagaimana para santri dididik agar siap hadapi tantangan zaman?

Kami menyiapkan santri-santri yang paham dan melek soal ilmu pengetahun dan teknologi. Di samping itu, kami juga menggunakan teknologi internet sebagai media dakwah. Misalnya, kami sudah memiliki stasiun radio sendiri. Saluran (channel) Youtube pun kami manfaatkan pula secara aktif. Begitu pula dengan di Instagram, Facebook, dan lain-lain. Itu semua dikelola oleh teman-teman santri.

Maka, ini juga menjadi sarana pembelajaran bagi santri-santri agar mereka akrab teknologi, tidak gagap bergaul di dunia maya. Ke depan, kami sudah merancang untuk mempunyai saluran TV digital sendiri sebagai media dakwah sekaligus menjadi media pembelajaran bagi santri-santri.

Akrab dengan teknologi, tetapi tetap setia dengan tradisi. Kami masih tetap menggunakan kitab-kitab ulama salaf, kitab klasik sampai hari ini Tegalrejo juga masih menjaga tradisi peninggalan Kiai Chudlori (pendiri Pondok Pesantren API Tegalrejo -- Red). Misalnya, kegiatan mujahadah pada malam hari, riyadhah atau laku prihatin, dan sebagainya. Jadi, ini penting untuk menunjang aspek spritual para santri.

photo
Sosok KH Chudlori, sang pendiri Pondok Pesantren API Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, dikenang sebagai pribadi yang rendah hati dan karismatik. - (DOK NAHDLATUL ULAMA)

Khususnya bagi kalangan pesantren, bagaimana pemanfaatan teknologi yang ideal?

Salah satu tantangan pesantren yang paling berbahaya saat ini adalah masuknya budaya global dan paham-paham yang ekstrem. Kita melihat, di Indonesia kini sudah masuk paham-paham radikalisme. Dan, banyak juga yang jalur masuknya itu melalui konten-konten yang tersebar di media sosial. Makanya, ini menjadi tantangan bagi umat Islam di sini, juga bagi keindonesiaan kita.

Bahkan, banyak penganut paham-paham radikal yang sekarang itu melakukan baiat melalui media sosial. Padahal, mereka belum pernah sekali pun bertemu dengan imamnya, tetapi sudah berani melakukan tindakan-tindakan radikal. Itu akan lebih bahaya lagi.

Kalau dulu mungkin masih terkontrol karena paham radikal itu kelihatan. Namun, sekarang bisa dikatakan tidak kelihatan. Mungkin, di tetangga kita, bahkan dalam satu rumah pun bisa tidak diketahui kalau mereka sudah terpapar paham-paham radikal yang diperoleh melalui media sosial.

Karena itu, kembali tentang pesantren, kaum santri diharapkan menjadi duta-duta perspektif moderat di tengah masyarakat. Jangan sampai wasathiyah yang memang menjadi arus besar di negeri kita tergerus oleh paham-paham radikal.

Harapan dan visi Anda pada era digital ini?

Kalau harapannya, bagaimana pesantren itu tetap menjadi pelayan masyarakat dan mendapatkan tempat di hati masyarakat. Artinya, prinsip kita ini adalah tetap menjaga warisan-warisan kiai sepuh dan siap mengembangkan dengan cara-cara kekinian.

Prinsipnya adalah itu tadi, al-muhafadhotu 'ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah. Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik.

photo
ILUSTRASI Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo di Magelang, Jawa Tengah, didirikan oleh seorang ulama karismatik, KH Chudlori. - (DOK API Tegalrejo)

Aktif Berdakwah Melalui Medsos

 

KH Muhammad Yusuf Chudlori merupakan salah seorang putra ulama karismatik Tegalrejo Magelang, KH Chudlori. Ia kini meneruskan dakwah ayahnya dengan menjadi pengasuh Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah.

Di kalangan pesantren, ia lebih akrab dipanggil Gus Yusuf. Aktivitasnya sekarang tidak hanya mengajar kitab-kitab kuning di pesantren salaf tersebut, tapi juga mulai berdakwah melalui media sosial, khususnya melalui Gus Yusuf Channel.

Menurut Gus Yusuf, pada era digital ini pesantren harus mulai mem buka diri terhadap perkembangan teknologi. Karena itu, Gus Yusuf dengan dibantu para santrinya sekarang aktif mendakwahkan Islam melalui channel/Youtube.

"Ya memang eranya seperti ini, mau gak mau kita harus ke situ," ujar Gus Yusuf kepada Republika, baru-baru ini.

Kiai muda yang lahir di Magelang pada 9 Juli 1973 ini sangat terkenal sebagai ulama yang dekat dengan berbagai kalangan. Karena, cara dakwah dan ceramah Gus Yusuf penuh hikmah dan mudah dipahami oleh semua kalangan.

Dalam bidang keilmuan, pada usia dini sampai usia SD, Gus Yusuf menempa ilmu di pondok pesantren ayahnya sendiri. Selanjutnya ia melakukan rihlah keilmuan ke beberapa pondok pesantren di Jawa.

 
Karena dakwah itu tidak cukup hanya dengan modal semangat, ghirah, tapi juga harus dengan ilmu.
 
 

Setelah lulus SD pada 1985, Gus Yusuf memperdalam ilmu agama di Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur di bawah asuhan KH Idris Marzuki sampai 1994. Selanjutnya, ia mengenyam ilmu di Pesantren Salafiyah Kedung Banteng Purwokerto. Pada akhirnya, Gus Yusuf memperdalam ilmu keagamaan di Pesantren Salafiyah Bulus, Kebumen.

Gus Yusuf memandang bahwa keilmuan sangat penting untuk berdakwah di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, ia belajar keras dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Menurut Gus Yusuf, seorang pendakwah memang harus terus memperkaya keilmuannya agar bermanfaat bagi masyarakat.

Dia pun memandang positif para ustaz yang kini mulai banyak berdakwah di media sosial. Namun, menurut Gus Yusuf, semangat berdakwah itu tetap harus dibarengi dengan ilmu yang mumpuni.

"Karena dakwah itu tidak cukup hanya dengan modal semangat, ghirah, tapi juga harus dengan ilmu, agar apa yang kita sampaikan ini betul-betul bermanfaat buat masyarakat, bukan justu menimbulkan kegaduhan dan keresahan di tengah masyarakat," jelas Gus Yusuf.

Sebagai pengasuh pesantren, Gus Yusuf mengingat betul pesan ayahnya agar menjadi guru mengaji di tengah masyarakat. Menurut Gus Yusuf, Kiai Chudlori berpesan agar santri dan penerusnya selalu menjadi panutan di tengah-tengah masyarakat.

 
Bahkan, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai alumnus Pesantren Tegalrejo juga berhasil menjadi presiden keempat RI.
 
 

Menurut Gus Yusuf, Kiai Chudlori membebaskan santrinya untuk menjadi apa pun di tengah masyarakat, baik menjadi pedagang, menjadi petani, ataupun aktif di pemerintahan. Bahkan, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai alumnus Pesantren Tegalrejo juga berhasil menjadi presiden keempat RI.

"Jadi, kalau ada santri yang mau jadi pedagang silakan, tapi berdaganglah yang sesuai dengan ajaran agama dan menjadi contoh masyarakat," kata Gus Yusuf.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat