Prof. Dr Amany Lubis | Republika

Hiwar

Prof Amany Lubis, Memperkuat Moderasi Beragama

Moderasi beragama bukanlah sesuatu yang baru, masyarakat Indonesia umumnya selalu mengambil jalan tengah.

Moderasi beragama adalah proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang. Proses tersebut seyogianya diajarkan dan diterapkan dalam pelbagai aspek kehidupan. Hal itu disampaikan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof Dr Amany Burhanuddin Umar Lubis MA.

Menurut dia, moderasi beragama harus diperkuat dalam semua bidang, mulai dari pendidikan, sosial, hingga ekonomi. “Ketika negara mengangkatnya sebagai prinsip, diharapkan seluruh aspek kehidupan harus dilandasi dengan asas moderasi beragama,” ujar rektor perempuan pertama UIN Syarif Hidayatullah itu.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat ini menjelaskan, dari kalangan kampus dan cendekiawan Muslim saat ini terus mengupayakan pengarusutamaan moderasi beragama. Dengan demikian, seluruh elemen umat dan bangsa dapat membendung lawan dari sikap moderat, yakni ekstremisme.

Bagaimana cara yang efektif dalam memperkuat moderasi beragama di tengah masyarakat? Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, bersama alumnus Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, tersebut beberapa waktu lalu.

Apakah definisi “moderasi” dan kaitannya dengan kehidupan beragama?

Moderasi beragama memang merupakan terjemahan harfiah dari wasathiyatul Islam. Namun, sekarang ini sudah lebih diperluas menjadi sebuah konsep dalam bahasa Indonesia. Artinya, suatu keadaan masyarakat yang tangguh, di mana masyarakat dapat hidup dalam suasana harmonis, toleran, adil, peduli, dan berkasih sayang. Semua suasana yang memang membantu mereka untuk menyelesaikan berbagai masalah.

Moderasi beragama bisa juga didefinisikan sebagai sikap atau tindakan yang lebih mementingkan kepentingan bersama daripada kepentingan kelompok atau golongan. Itu menandakan bahwa sikap kita selalu berusaha untuk menjaga keadilan dan perdamaian dalam konteks bernegara dan bermasyarakat.

 

Mengapa moderasi beragama diletakkan dalam konteks bernegara?

Jadi, konsep moderasi beragama bukan hanya tentang agama atau menggali prinsip-prinsipnya dari Islam, tapi moderasi beragama juga berimplikasi dalam konteks bernegara dan bermasyarakat.

Mengapa bernegara? Sebab, seperti yang kita tahu, misalnya, waktu MUI menggelar Musyawarah Nasional IX pada 2015 di Surabaya. Di dalamnya, terdapat pembahasan tentang prinsip-prinsip wasathiyatul Islam. Termasuk di dalamnya adalah kehidupan yang berperadaban, yang inovatif dan kreatif, dan kewarganegaraan atau al-muwathanah, citizenship. Hal itu juga menjadi salah satu prinsip moderasi beragama.

Jadi, memang moderasi beragama bukan hanya dari agama Islam, melainkan juga terkait tata cara hidup dalam suatu negara-bangsa. Tujuannya adalah mewujudkan persaudaraan, keadilan, saling menghormati, peduli, dan juga saling toleran antarelemen bangsanya.

photo
Ketua MUI Bidang Perempuan Remaja dan Keluarga Amany Lubis (kedua kanan) didampingi Wasekjen Valina Singka Subekti (kedua kiri) dan Ketua Panitia Kongres Azizah (kiri) memberikan cideramata kepada Menkeu Sri Mulyani saat pembukaan kongres muslimah Indonesia ke-2 di Jakarta. Kongres tersebut mengakat tema Ketahanan Keluarga Dalam Membetuk Generasi Berkualitas diEra Globalisasi - (Republika/Prayogi)

Apa saja indikator moderasi beragama itu?

Indikasi moderasi beragama adalah menerapkan prinsip-prinsip yang mengetengahkan perdamaian. Cara-cara untuk mencapai perdamaian itu adalah dengan toleransi, saling menghormati, dan saling peduli. Tiap anggota masyarakat tidak mementingkan diri sendiri atau golongan. Kemudian, mereka juga menghindari konflik sekaligus menghormati perbedaan.

Kalau dalam konteks negara, kita harus menjaga perdamaian itu, stabilitas, serta membangun dan berkontribusi positif dalam pembangunan nasional. Baik laki-laki, perempuan, generasi muda, maupun yang senior—kita semua harus sama-sama menjaga keutuhan negara dan kesejahteraan bangsa.

Bagaimana mewujudkan moderasi di internal dan antarumat beragama?

Pertama, kalau di internal umat agama, misalnya sama-sama umat Islam maka kita harus saling memahami, menghormati, dan menghargai perbedaan. Yang terkait intraagama ini berarti harus saling menghormati. Bukan hanya menghormati persoalan ritual, melainkan juga menghargai pemikiran, tokoh-tokoh, ulama, atau cendekiawan di satu golongan.

Mengapa saya sebut satu golongan? Karena nanti kalau berhubungan dengan antaragama, yang berlaku adalah lakum diinukum waliyadiin. Artinya, hubungannya itu adalah bahwa kita tidak mencampuri urusan ritual atau ibadah agama lain.

Namun, selama kita masih satu golongan, dengan prinsip-prinsip Islam yang dijalankan maka kita harus bisa berdamai, menghormati perbedaaan, dan hidup saling mendukung. Perlu dibangun solidaritas supaya bisa membangun masyarakat dan melaksanakan pembangunan. 

Bagaimana seharusnya peran negara dalam merawat kerukunan?

Moderasi beragama yang diterapkan negara adalah menghormati semua agama. Tidak ada diskriminasi terhadap suatu agama. Kemudian, moderasi beragama itu menjadi mainstream atau prinsip utama dalam pembangunan nasional dan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Dan, memang sejak 2019 lalu pemerintah Indonesia ssudah memasukkan prinsip moderasi beragama sebagai salah satu asas dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024. Jadi, sudah menjadi mainstream. Mengapa? Karena ternyata moderasi beragama itu bukan hanya berkaitan dengan ajaran agama, melainkan juga kultur masyarakat ataupun adat istiadat.

Saya menghargai pemerintahan kini karena hal itu sudah bisa dilakukan. Namun, perwujudannya bagaimana dan sejauh mana moderasi beragama itu dipahami di semua kementerian, harus kita kawal terus. Kami dari kalangan kampus ataupun cendikiawan terus ingin mengupayakan itu.

Bagaimana dunia kampus menjadi benteng moderasi beragama di Tanah Air?

Saya kira sangat wajar dan sangat kuat sekali kalau semua kampus bisa menjalankan moderasi beragama. Tidak hanya di PTKI (perguruan tinggi keagamaan Islam) negeri atau swasta. Sama dengan prinsipnya tadi, semua kementerian harus menjalankan moderasi beragama dalam melaksanakan program-program kerjanya untuk pembangunan nasional.

Jadi, semua kampus juga bisa menerapkan moderasi beragama. Pertama, masing-masing umat beragama menjalankan ajaran agamanya dengan baik dan sempurna. Setelah itu, ketika hidup bersama yang lain, barulah melakukan toleransi. Jadi, perbedaan praktik agama-agama atau ritual ibadah tidak menjadikan antarorang berkonflik, saling membenci, atau saling menyerang. 

Di UIN Syarif Hidayatullah, bagaimana moderasi beragama diterapkan dan diajarkan?

Karena moderasi beragama sudah dicanangkan dalam program nasional, sekarang di semua kampus-kampus Islam sudah didirikan pusat kajian moderasi beragama. Kalau kami, punya dua unit, yaitu Pusat Kajian Moderasi Beragama dan Sekolah Moderasi Beragama.

Dalam Sekolah Moderasi Beragama, mahasiswa di setiap angkatan terus diberikan pelatihan. Mereka diarahkan untuk melakukan diskusi dan penguatan kapasitasnya agar bisa memahami dan menerapkan moderasi beragama di semua bidang kehidupan. Sementara itu, di Pusat Kajian Moderasi Beragama UIN Syarif Hidayatullah kami membuat pengkajian, penelitian, menganalisis, dan memberikan solusi pada pemasalahan yang ada.

Sejak dalam proses PBAK (Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan), para mahasiswa juga sudah diperkenalkan pada moderasi beragama dengan landasan ajaran Islam—lengkap dengan dalil-dalil ayat dan hadisnya. Di samping itu, kami juga terus melakukan dialog untuk membuka wawasan kebangsaan. Sebab, moderasi beragama itu intinya bermaksud menjaga keutuhan bangsa.

Bagaimana caranya agar generasi muda Muslim tak terjerumus dalam ekstremisme, sebagai lawan daripada sikap moderat?

Yang saya pahami, ajaran Islam itu selalu rasional. Jika ada hal yang tidak rasional, yang kita salahkan bukan agamanya, melainkan pemahaman keagamaan seseorang. Orang yang demikian biasanya berpegang pada pemahaman yang sempit, tidak memberi peluang bagi pemahaman baru.

Padahal, tajdid atau pembaruan itu harus terus dilakukan agar ajaran Islam bisa berlaku di setiap masa dan di mana pun. Ajaran Islam itu sendiri tidak berubah. Yang berubah adalah pemahamannya. Maka, kita harus menyesuaikan ajaran Islam supaya jangan sampai muncul ekstremisme atau terorisme. Sebab, keduanya itu tidak pernah diajarkan agama kita dan para pendahulu kita.

Sebenarnya, moderasi beragama bukanlah sesuatu yang baru bagi kita di Indonesia, masyarakat yang umumnya dikenal selalu mengambil jalan tengah, ramah, dan moderat. Maka, kita tinggal menguatkan saja karakter demikian.

Tantangan zaman kian banyak dan beragam, apalagi dengan perkembangan pesat teknologi informasi. Di media sosial, misalnya, cukup banyak yang membuat masyarakat mudah sekali terprovokasi. Jika dibiarkan, itu akan menimbulkan konflik antarsesama. Di sinilah, sekali lagi, pentingnya menguatkan sikap moderat.

 

Rektor perempuan pertama UIN Jakarta

Prof Amany Lubis merupakan salah seorang ulama perempuan Indonesia yang berkiprah tidak hanya di dalam, tapi juga luar negeri. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu menguasai berbagai bahasa asing, termasuk bahasa Inggris, Prancis, Arab, dan Turki.

Kemampuan tersebut menjadi salah satu faktor pendukung kesuksesannya dalam berdialog dengan pelbagai kalangan dan menyebarluaskan ilmu. Setidaknya, hingga saat ini dirinya telah menjelajahi 30 negara di lima benua.

 

 

Kemampuan bahasa itu menjadi modal sehingga keliling lima benua pun, alhamdulillah, tidak menjadi masalah bagi saya.

 

PROF AMANY LUBIS, Rektor UIN Syarif Hidayatullah
 

Pada 2019, pelantikannya sebagai nakhoda baru di UIN Jakarta mengukir sejarah. Sebab, untuk pertama kalinya kampus tersebut dipimpin seorang perempuan. Pemilik nama lengkap Amany Burhanuddin Umar Lubis ini lahir di Kairo, Mesir, pada 22 Desember 1963. Anak sulung dari pasangan Burhanuddin dan Prof Nabila Lubis itu sempat menempuh pendidikan dasar di Jakarta. Untuk selanjutnya, ia mengikuti kedua orang tuanya yang bekerja di Mesir.

Selama di Negeri Piramida, kakak aktor Umar Al Fattah “Umay” Lubis ini meneruskan jenjang pendidikannya hingga tingkat sarjana. Program S-1 ditempuhnya di Universitas al-Azhar pada Jurusan Sastra Inggris. Pada 1988, dirinya berhasil menyelesaikan studi tersebut dengan status lulusan terbaik dan berhak atas gelar licence (Lc).

Saat ditanya tentang kiatnya, menurut dia, itu adalah ketekunan. “Saya biasa tekun, fokus, dan serius mendidik diri dengan keras. Kebetulan, saya juga tidak suka hura-hura. Sampai dulu di Mesir enggak sempat jalan-jalan,” ucapnya.

photo
Prof Dr Amany Burhanuddin Umar Lubis merupakan rektor perempuan pertama yang memimpin UIN Syarif Hidayatullah. - (DOK IST)

Pada 1997, ia memperoleh beasiswa short course untuk Jurusan Studi Perempuan di McGill University, Kanada. Setelah itu, ia kembali ke Tanah Air untuk meneruskan studi pascasarjana di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta dalam bidang Sejarah Kebudayaan Islam. Pada 2002, gelar doktor berhasil diraihnya dari kampus yang sama. Bahkan, karya ilmiahnya didaulat sebagai disertasi terbaik kedua nasional di lingkungan Kementerian Agama RI.

Karier akademiknya terbilang mulus. Pada 2006, dirinya diangkat sebagai profesor ilmu politik Islam. Sebelum ditunjuk sebagai rektor, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut pernah menjabat wakil dekan bidang administrasi umum Fakultas Dirasat Islamiyah periode 2003-2009. Di ranah internasional, pelbagai peran dijalaninya, termasuk sebagai anggota Board of Trustees Forum for Promoting Peace in Muslim Societies, Abu Dhabi, periode 2016-2020.

“Alhamdulillah, saya juga menjadi anggota organisasi internasional, seperti di Bangkok, Den Haag, ataupun Mesir, dan juga di Emirat. Sekarang, saya menjadi mufti di Emirat itu karena mereka menilai agama Islam di Indonesia yang moderat,” ucap peraih Satyalencana Karyabhakti 20 tahun itu.

Meskipun sibuk, dirinya terus produktif berkarya. Banyak buku ditulisnya tidak hanya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga Inggris dan Arab. Di antara karya-karya terbarunya adalah Perempuan dan Islam di Indonesia serta Perempuan Bicara: Dari Dakwah Hingga Sosial-Politik.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat