Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Masyarakat Sipil: Tantangan

Eksistensi masyarakat sipil sangat krusial dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH AZYUMARDI AZRA

Eksistensi masyarakat sipil (MS) sangat krusial dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. MS pertama-tama penting untuk adopsi, penguatan, konsolidasi, dan keberlanjutan demokrasi. Demokrasi tidak bisa tumbuh sehat tanpa kehadiran MS.

Namun, tidak hanya sampai di situ. MS juga memainkan peran penting dalam pemberdayaan dan penguatan publik atau masyarakat umumnya.

Dengan kapasitas dan jangkauan terbatas, negara yang diwakili pemerintah, tidak mampu memberdayakan masyarakat secara keseluruhan. Tanpa dukungan dan bantuan MS, ada bagian masyarakat yang tertinggal.

Peran MS yang luas itu, juga terkait dengan meluasnya pengertian dan cakupan MS. Sampai pertengahan 1990-an, cakupan MS biasanya terbatas pada civil society organization (CSO).

 
Dengan kapasitas dan jangkauan terbatas, negara yang diwakili pemerintah, tidak mampu memberdayakan masyarakat secara keseluruhan. 
 
 

CSO biasanya diidentikkan dengan non-government organization (NGO) atau organisasi nonpemerintah (ornop). CSO atau NGO juga disebut sebagai ‘sektor ketiga’ masyarakat yang berbeda dengan atau di luar pemerintah dan sektor bisnis.

Mereka ini bergerak dalam pemberdayaan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat, advokasi HAM, demokrasi, dan kesetaraan gender. Juga ada yang mengadvokasi toleransi dan harmoni antaragama dan antaretnis.

Masih ada pula yang bergerak dalam konservasi lingkungan hidup, penyelamatan hutan, atau pemeliharaan keragaman hayati. Dengan pengertian dan cakupan terbatas itu, MS sampai menjelang akhir 1990-an cenderung dipandang sebagai kekuatan alternatif bagi rezim penguasa.

Persepsi ini terkait pengalaman CSO atau NGO yang menghadapi rezim otoriter di banyak negara Eropa Timur dan Amerika Latin.

Selain itu, kelompok NGO atau ‘sektor ketiga’ berkolaborasi dengan kelompok kedua MS yang terdiri atas asosiasi profesional, seperti guru, dosen, dan serikat pekerja atau buruh.

Kelompok MS kedua ini, umumnya tidak tertarik pada isu politik, tetapi terpusat pada peningkatan kesejahteraan dan fasilitas kerja lebih baik bagi mereka.

 
Selain itu, isu dan agenda yang mereka perjuangkan dianggap elitis karena terbatas pada lingkungan masyarakat tertentu.
 
 

Memang ketika gelombang demokrasi berhasil menumbangkan rezim otoriter di Eropa Timur atau Amerika Latin, ada tokoh NGO atau asosiasi profesional atau serikat buruh yang menjadi penguasa. Kemunculan tokoh MS ke puncak kekuasaan tidak selalu sukses.

Sebagian mereka gagal karena tidak punya pengalaman memadai untuk menggerakkan dan menangani birokrasi. Meski kedua kelompok besar MS memainkan peran penting, masing-masing menghadapi berbagai masalah terkait dengan karakternya.

Sedikit banyak, masalah ini mengganggu aktualisasi peran mereka masing-masing. NGO atau LSM, umumnya relatif kecil, baik dalam kepengurusan, manajemen, maupun keanggotaan. Inilah alasan utama mereka dianggap elitis.

Selain itu, isu dan agenda yang mereka perjuangkan dianggap elitis karena terbatas pada lingkungan masyarakat tertentu, tidak menjangkau lingkungan lebih luas. Masalah lain terkait pendanaan. Kebanyakan NGO atau LSM bergantung pada pendanaan atau donor asing.

Karena itu, sering mereka dituduh sebagai ‘agen’ atau ‘kaki tangan’ pihak asing yang punya kepentingan sendiri. Padahal, program yang mereka jalankan mendatangkan banyak manfaat bagi kalangan masyarakat.

Salah satu tantangan utama NGO sejak waktu lama adalah mendapat dana atau donor secara memadai dari sumber dalam negeri, termasuk dari pemerintah. Tetapi tidak mudah. Dana pemerintah terus kian berkurang.

Banyak program yang dulu dijalankan LSM, kini juga dilaksanakan pemerintah atau lembaga negara tertentu. Selain itu, juga tidak banyak dana filantropis yang digunakan untuk kegiatan LSM.

 
Untuk kepentingan penguatan dan konsolidasi demokrasi, perlu pemberdayaan jaringan di antara MS dengan lingkungan masyarakat lebih luas. 
 
 

Tradisi penyediaan dan penyaluran dana filantropis dalam jumlah besar untuk advokasi masyarakat belum terbentuk. Kebanyakan dana filantropis digunakan masih untuk kepentingan relief, kuratif, dan konsumtif khususnya pada waktu terjadi bencana alam.

Sementara itu, kelompok kedua MS, boleh dikatakan tidak bergerak dalam advokasi masyarakat. Mereka umumnya berjuang untuk kepentingan profesi dan pekerjaan mereka. Inilah yang terjadi ketika mereka melakukan aksi semacam unjuk rasa, misalnya.

Karena itu, kelompok kedua MS tidak memerlukan dana untuk advokasi masyarakat karena memang tidak menjalankan program pemberdayaan masyarakat.

Jika mereka memerlukan dana, itu adalah untuk kepentingan persiapan dan logistik mereka sendiri dalam melakukan aksi tertentu, untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing profesi.

Dari sudut pengembangan dan penguatan demokrasi, masyarakat bisa berharap pada MS kelompok pertama, tidak pada kelompok kedua. Untuk kepentingan penguatan dan konsolidasi demokrasi, perlu pemberdayaan jaringan di antara MS dengan lingkungan masyarakat lebih luas. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat