Siswa mengerjakan soal penilaian akhir semester (PAS) tahun ajaran 2020/2021 menggunakan layanan Jakwifi di posyandu kawasan Kelurahan Galur, Jakarta, Senin (30/11). | Republika/Thoudy Badai

Kabar Utama

Orang Tua Siswa Masih Waswas

Penyebaran Covid-19 lebih banyak terjadi di sekolah menengah dibandingkan sekolah dasar.

TANGERANG – Para orang tua siswa mengaku dilema atas keputusan pemerintah pusat yang membolehkan kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka mulai Januari 2021. Mereka khawatir terhadap risiko penularan Covid-19 di sekolah. Sementara, belajar jarak jauh yang dilakukan secara daring selama masa pandemi ini dinilai tidak efektif.

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri yang diumumkan pada Jumat (20/11), izin sekolah tatap muka menjadi wewenang penuh pemerintah daerah (pemda). Sekolah bisa menggelar KBM tatap muka asalkan memenuhi sejumlah persyaratan protokol kesehatan. KBM tatap muka tidak diwajibkan. Orang tua yang tak berkenan anaknya belajar di sekolah, tetap akan difasilitasi untuk belajar secara daring.

Kekhawatiran dan dilema atas dibolehkannya sekolah tatap muka dirasakan Nadia (29 tahun), orang tua siswa di salah satu sekolah dasar (SD) di Tangerang Selatan. Nadia khawatir anaknya terpapar Covid-19 di sekolah karena anak-anak cenderung berkelompok atau berkerumun. "Sebagai orang tua tentunya khawatir dan waswas banget,” kata Nadia, Ahad (22/11) lalu.

Ia mengakui, anaknya akan lebih mudah menyerap materi pelajaran apabila dijelaskan secara langsung oleh guru atau pembimbing secara tatap muka. Apalagi, pembelajaran secara daring dinilainya tidak efektif. Namun, di sisi lain, ia menilai belajar secara tatap muka meningkatkan risiko penularan Covid-19.

“Karena anak-anak TK, SD, SMP, belum sepenuhnya memahami bagaimana mencegah atau menjaga jarak dengan teman-temannya. Mereka senang berkerumun, bersentuhan, dan bercanda,” katanya.

Nadia berharap penerapan sekolah tatap muka dilakukan secara bertahap. Jumlah siswa yang belajar dalam satu ruangan pun harus dibatasi, jam belajar dipersingkat, dan guru melakukan pengawasan protokol kesehatan secara ketat.

“Kalau memang memang bertahap atau tidak semua anak masuk, ya saya pribadi setuju. Guru juga harus ketat melakukan pengawasan. Kemudian jam belajar dipersingkat,” ujar dia. 

Sebagai bentuk antisipasi jika nantinya sekolah tatap muka jadi diberlakukan, Nadia belakangan gencar memberkan edukasi kepada kedua anaknya yang saat ini duduk di kelas 3 dan 4 SD. "Jangan pernah lepas masker saat di sekolah. Gunakan masker medis, cuci tangan, jaga jarak. Enggak boleh bersentuhan dengan guru, salaman jarak jauh saja," kata dia menirukan ucapannya kepada anaknya.

Hal serupa dirasakan Tri Widiyantie, salah seorang orang tua siswa di Bandung, Jawa Barat. Ia mengaku senang karena anaknya yang duduk di bangku kelas 3 SD akan dapat bersosialisasi kembali dengan siswa yang lain. Namun, ia tetap merasa khawatir jika sekolah tidak melakukan pembatasan jumlah siswa yang masuk.  

"Di sekolah anak saya, satu kelas itu isinya 41 orang, kan itu berkerumun banget," ujarnya saat dihubungi, Ahad (22/11).

Ia berharap terdapat kebijakan untuk meminimalikan risiko penyebaran Covid-19 dan mengurangi kerumunan. Salah satunya dengan membagi jadwal belajar para siswa dalam satu kelas ke dalam beberapa kelompok.

Tri mengaku akan melihat kebijakan sekolah saat memberlakukan belajar tatap muka. "Jika sekolah tak memiliki protokol yang bagus, saya mungkin tetap akan mendorong anak saya untuk belajar secara daring," ujarnya.

Ia pun akan mengizinkan belajar tatap muka jika syarat minimal dipenuhi, di antaranya siswa yang belajar dibatasi. Menurutnya, pemahaman siswa pun relatif masih belum banyak terkait protokol kesehatan.

Laporan WHO

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Oktober 2020 pernah mengeluarkan laporan mengenai penyebaran Covid-19 di sekolah. Dalam laporan itu disebutkan, penyebaran Covid-19 lebih banyak terjadi di sekolah menengah dibandingkan sekolah dasar. Studi pun menyebutkan bahwa anak berumur di bawah 10 tahun, tidak terlalu rentan tertular dibandingkan anak yang umurnya lebih tua.

Dalam hal penyebaran Covid-19 di sekolah, orang dewasalah yang lebih banyak menjadi penular. Penularan banyak terjadi di antara para staf. Penularan antara staf dan pelajar lebih sedikit. Sementara penularan antara sesama pelajar jarang terjadi.  

Data yang ada dalam laporan WHO tersebut menunjukkan, anak-anak berusia 9 tahun atau lebih memiliki kerentanan yang lebih rendah terhadap penularan dibandingkan anak-anak berusia 10-14 tahun.

WHO dalam laporan yang bekerja sama dengan EPI WIN dan Infodemic Management tersebut juga memberikan contoh kasus ledakan penyebaran Covid-19 di Israel akibat pembukaan sekolah yang tidak disertai penerapan protokol kesehatan secara ketat. Israel diketahui menutup seluruh sekolah pada 13 Maret 2020 dan membuka kembali pada 17 Mei.

Pada 19-21 Mei saat terjadi gelombang panas ekstrem, Pemerintah Israel membebaskan murid-murid untuk tidak memakai masker. Jendela sekolah pun ditutup dan pendingin ruangan difungsikan terus menerus.

Sepuluh hari kemudian, lonjakan Covid-19 di sekolah menengah terjadi. Dari 1.146 pelajar yang dites, sebanyak 178 di antaranya terkonfirmasi positif Covid-19. Kemudian ada 25 staf sekolah yang positif Covid-19 dari 152 staf yang dites. 

Belajar dari kasus tersebut, pemda dan pihak sekolah harus benar-benar memastikan adanya protokol kesehatan jika ingin menggelar kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka. Saat ini, pemda dan pihak sekolah telah bersiap untuk membuka kembali sekolah pada awal tahun depan.

Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, misalnya, mengaku telah menerima usulan dari sejumlah sekolah di daerah untuk mulai membuka pembelajaran tatap muka dengan memperhatikan protokol kesehatan. Sekretaris Disdik Pemprov Sulsel Hery Sumiharto mengatakan, sekolah yang sudah mengusulkan melaksanakan proses belajar secara luring itu, di antaranya berasal dari Kabupaten Pinrang, Pangkep, Luwu Utara, Maros, Gowa dan Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap).

photo
Sejumlah murid SD Sekolah Alam berlatih tari di Sukawangi, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (30/11). Menurut pengurus Sekolah Alam, kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA tetap dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan. - (ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah)

"Jadi banyak yang mengusulkan. Pihak sekolah juga telah melakukan simulasi melalui video yang memperlihatkan kesiapan mereka dalam menerapkan protokol kesehatan," katanya, Ahad (22/11).

Dalam video simulasi yang dikirimkan itu, kata dia, menunjukkan bagaimana setiap siswa sejak masuk lokasi sekolah menggunakan masker, kemudian cuci tangan dan lainnya. "Seperti yang dikirimkan SMA 4 Sidrap yang kami terima, di sana diperlihatkan bagaimana siswa ketika tiba di sekolah, belajar, saat makan hingga waktu pulang yang dijemput pihak keluarga," ujarnya.

Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, mengaku masih menunggu usulan dari kepala sekolah terkait pelaksanaan sekolah tatap muka. Yang paling penting, katanya, ada kesepakatan dari orang tua murid, pihak sekolah dan Dinas Kesehatan Sulsel maupun kabupaten kota setempat. 

Ia menegaskan, dinas kesehatan bersama disdik akan melakukan pengecekan kesiapan setiap sekolah, kelayakan untuk dimulainya sekolah tatap muka. "Kepsek mengusulkan kepada kepala dinas, nanti dinas pendidikan dan dinas kesehatan turun melihat protokol Covid-19 dalam rangka pembelajaran tatap muka," ujarnya.

Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan, dan Arsip Daerah Provinsi Papua Christian Sohilait mengatakan, pihaknya segera mengevaluasi KBM selama masa pandemi. Hasil evaluasi tersebut akan diumumkan akhir tahun, yaitu mengenai tentang proses pembelajaran secara daring maupun luring.

"Kemudian evaluasi sarana prasarana yang menjadi pekerjaan rumah besar selama masa pandemi ,yakni sejak 17 Maret 2020 di Papua hingga akhir tahun," katanya.

Selanjutnya, kata dia, evaluasi tentang perencanaan pembelajaran yang disusun oleh setiap SMA/SMK dan SLB serta dinas pendidikan di kabupaten kota di seluruh Papua pada 2021. Evaluasi juga menyangkut perilaku yang menjadi kebiasaan hidup yang baru untuk waktu lama, seperti kebiasaan protokol kesehatan yang harus ditanamkan secara terus-menerus.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat