Pendiri Republik Dongeng, Syamsul Yusuf, memandang ada berkah tersendiri di balik pandemi Covid-19. Sebab, fenomena bekerja dari rumah (WFH) membuat orang tua memiliki lebih banyak waktu untuk berkumpul dengan anak mereka. | DOK IST

Kabar Utama

Syamsul Yusuf, Bangun Karakter Anak Lewat Dongeng

Bagi Syamsul Yusuf pendiri Republik Dongeng, masa pandemi Covid-19 menyimpan berkah tersendiri.

 

Masih adakah tradisi mendongeng pada zaman yang serba digital kini? Para orang tua mungkin akan beralasan, tidak memiliki banyak waktu untuk menuturkan kisah-kisah sastra kepada buah hati mereka.

Di samping itu, kebiasaan membaca buku seakan-akan tergantikan oleh maraknya penggunaan gawai (gadget). Alhasil, tradisi mendongeng pun kian tersisih.

Pendiri Republik Dongeng Syamsul Yusuf mengatakan, masa pandemi Covid-19 menyimpan berkah tersendiri. Sebab, para orang tua dapat menghabiskan lebih banyak waktu untuk anak mereka di rumah. Dalam mengisi waktu itu, ayah dan ibu dapat memilih berbagai aktivitas edukatif, termasuk mendongeng.

“Pada masa pandemi ini banyak sekali orang tua yang minta untuk diajarkan teknik bercerita,” ujar pria yang akrab dipanggil Kak Syam ini.

Sebagai sebuah gerakan literasi anak-anak, Republik Dongeng pun semakin gencar menggelar berbagai pelatihan. Salah satu tujuannya ialah melatih para orang tua agar piawai berdongeng. Pelatihan digelar secara daring agar sejalan dengan protokol pencegahan virus korona.

Bagaimana cara mendongeng yang efektif untuk anak-anak? Di atas itu semua, mengapa mereka perlu ditanamkan kecintaan akan sastra sedari dini? Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, dengan alumnus Universitas Lampung itu beberapa waktu lalu.

photo
Pendiri Republik Dongeng, Syamsul Yusuf - (DOK IST)

Bagaimana sastra berperan dalam pengembangan karakter anak?

Berbicara tentang sastra, khususnya genre dongeng, tentu mengenai pengembangan karakter anak. Sebab, perannya (sastra) besar dalam hal ini. Itu bisa dilihat dari nasihat Umar bin Khattab, “Ajarkanlah sastra kepada anak-anak agar mereka menjadi pemberani.”

Esensi sastra juga tercermin dari hadis, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan.” Maka jika sastra diajarkan, diperkenalkan kepada anak-anak sedari dini, tentu mereka akan lebih cinta kepada keindahan. Bila sastranya islami, maka keindahan itu akan diarahkan pada kemahakuasaan-Nya. Akan tumbuh nilai yang lebih terhadap keadilan.

Makanya, Umar bin Khattab begitu peka dengan hal ini. Kepekaan terhadap sastra akan menumbuhkan konsep keindahan dan keadilan. Estetikanya itu akan bernuansa tauhid.

Di antara berbagai genre sastra, mengapa dongeng tepat untuk pengembangan karakter anak?

Saya coba garis bawahi terlebih dahulu. Sebab, poinnya sebenarnya bukan pada istilah “dongeng”. Sebab, itu pun masih menjadi debatable, misalnya, bagi kawan-kawan yang menyukai istilah “cerita” atau “kisah". Bagi saya, lebih kepada cara penyajiannya.

Yang saya pahami tentang hubungan antara dongeng dan (pengembangan) karakter anak itu lebih kepada penyajian dongeng itu sendiri. Sebab, kalau dari sisi bahasa, dongeng itu untuk kisah-kisah yang tidak nyata, karangan atau imajinatif.

Sementara, bagi kita Muslimin hendaknya melihat pada Alquran. Sekitar 70 persen kandungan Alquran adalah kisah. Tentu kisah-kisah itu bukan karangan, tetapi faktual, pernah terjadi di masa lalu.

Kisah-kisah itu kemudian dituliskan ulang oleh banyak penulis. Mereka menyajikannya dalam bentuk sastra. Karena itu, pokok bahasannya ialah lebih kepada penyajiannya.

Artinya, metode penyampaian cerita itu yang lebih berperan?

Menurut saya, esensi sastra adalah tauhid. Ia (sastra) mengasah hati, menjadi ruang bereskpresi. Dalam mewujudkan esensi ini, dongeng memang cocok untuk anak-anak karena medium komunikasinya yang dua arah. Ada komunikasi antara anak atau penerima cerita dan pendongeng.

Kemudian, dongeng juga tidak menggurui meskipun tetap mengajari si anak itu untuk memperhatikan, mendengarkan, serta mencerna berbagai cerita dengan pikirannya. Saat mendengarkan dongeng, imajinasi anak itu akan luar biasa bekerjanya.

Apalagi, dalam fase pertumbuhan anak-anak ada periode golden age. Fase “usia emas” ini umumnya terjadi antara usia nol hingga lima tahun.

Dahulu ada tradisi orang tua mendongeng kepada anaknya, umpamanya jelang mereka tidur malam. Menurut Anda?

Dahulu memang sangat ramai orang tua yang mendongeng. Alhamdulillah, saya termasuk generasi yang masih mendengarkan dongeng dari orang tua. Namun, kemudian situasi berubah. Mulai banyak orang tua yang tidak mendongeng lagi untuk anak-anak mereka. Mungkin karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mendongeng atau karena sibuk bekerja.

Adanya pandemi Covid-19 ini, saya katakan, menimbulkan fase baru, di mana mulai tumbuh lagi kegemaran orang tua untuk berbagi cerita kepada anak-anak. Utamanya, karena adanya kerja dari rumah atau WFH (work from home). Saya dengan dari teman-teman, pada masa pandemi ini banyak sekali orang tua yang minta untuk diajarkan teknik bercerita.

Pernah kami membuat pelatihan untuk orang tua tentang teknik bercerita kepada anak. Pelatihan secara online. Minatnya ternyata tinggi di saat pandemi ini. Maka, berkaca dari siklus naik-turun ini. Dahulu, banyak orang tua mendongeng, lalu berkurang, dan kini ramai lagi. Sebab, mereka sudah melihat sisi positif dari dongeng itu.

Apakah mendongeng berarti harus menceritakan kisah-kisah rekaan?

Tidak mesti begitu. Dalam mendongeng, bisa saja para orang tua mulai menceritakan pengalaman mereka sendiri yang ada nilai membentuk karakter si anak. Tentu saja, kisah-kisah fiksi yang sarat moral juga dapat disampaikan asalkan membentuk nilai-nilai moral anak.

Jadi, orang tua bisa bercerita, mulai dari pengalamannya sendiri. Misalnya, ketika anaknya bertanya, “Waktu dulu, ayah suka bermain tidak? Pernah ada kejadian seru atau tidak?”

Kemudian, ayahnya bisa menjawab, “Oh iya, waktu kecil ayah pernah menemukan dompet. Ayah sempat berpikir (memakai uang dalam dompet itu) buat beli mainan, tetapi kata Pak Guru, orang yang mengembalikan dompet temuan adalah orang yang jujur.” Jadi, si orang tua dapat mengajarkan teladan tentang kejujuran.

Mungkin ceritanya terdengar sedikit atau simpel. Namun, intinya membicarakan tentang karakter dan budi pekerti. Momen bercerita itu tidak hanya mendekatkan antara orang tua dan anak, tetapi juga mengajarkan perilaku yang baik. Masa pandemi ini ternyata ada sisi positifnya karena orang tua punya banyak waktu untuk bersama anak.

 

Di sekolah, bagaimana idealnya guru berperan dalam memperkenalkan sastra?

Menurut saya, saat ini terjadi semacam dikotomi antara mengembangkan sastra dengan sastra yang dapat dinikmati anak-anak. Salah satu penyebabnya, adanya peran guru yang merangkap. Guru yang mengajarkan sastra biasanya juga merangkap guru bahasa Indonesia.

Jadi, kalau bisa, di sekolah itu lebih spesifik. Ada guru bahasa, dan ada juga guru sastra. Namun, kalau guru bahasa itu memang mempunyai kemampuan dalam mengajarkan sastra, maka itu jauh lebih bagus.

Tidak cukup dengan memperkenalkan sastra. Para guru idealnya juga menanamkan pemahaman kepada anak-anak bahwa sastra itu luar biasa. Baru setelah itu, para murid akan termotivasi untuk menyukainya. Di dalam dunia sastra pun ada orang-orang yang hebat, seperti Chairil Anwar, Taufiq Ismail, dan Goenawan Mohamad. Sekarang, mungkin anak-anak tidak tahu tentang orang-orang hebat itu.

Kita juga bisa memberikan kepada anak-anak contoh karya sastra yang mendunia dari Indonesia. Setelah diberikan motivasi demikian, insya Allah mereka akan lebih cinta kepada sastra, atau bahkan tergerak untuk membuat karya-karya yang orisinal.

Menurut Anda, apakah kurikulum saat ini cukup akomodatif terhadap pengembangan karakter melalui mendongeng?

Nah, ini yang menjadi PR (pekerjaan rumah) kita bersama. Saat ini, hanya sekolah-sekolah swasta yang berani menghadirkan para pendongeng untuk memberikan muatan-muatan yang ada di luar jam pembelajaran.

Sementara, rata-rata di sekolah negeri itu bergantung pada kreativitas kepala sekolahnya. Mereka baru bisa menghadirkan pendongeng kalau ada anggaran atau menunggu inisiatif dari pihak komunitas pendongeng yang disponsori suatu lembaga.

Jadi, saat ini mendongeng itu hanya menjadi alternatif cara belajar. Untuk kurikulum atau teknik pembelajaran melalui dongeng, itu sebenarnya hanya bonus atau nilai tambah bagi guru yang bisa mendongeng.

Padahal, dongeng itu akan luar biasa jika seandainya bisa dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran. Misalnya, materi A disampaikan dengan mendongeng atau materi B diajarkan melalui metode cerita.

Bahkan, yang mendongeng itu tidak harus guru. Murid-murid pun bisa diajarkan untuk bermain peran dalam cerita dongeng tersebut. Jadi, sangat bisa sebetulnya (mendongeng) dimasukkan ke dalam kurikulum untuk pengembangan karakter anak didik.

Kurikulum ini bisa diterapkan mulai dari tingkat TK (taman kanak-kanak) hingga SD (sekolah dasar) kelas tiga karena mencakup //golden age//. Sebab, para masa itulah otak anak-anak sangat imajinatif.

photo
Menurut pendiri Republik Dongeng, Syamsul Yusuf, salah satu kiat mendongeng yang bisa diikuti orang tua ialah memilih bahan cerita. Tidak harus dari cerita rekaan, pengalaman masa kecil dapat juga disampaikan kepada buah hati - (DOK IST)

Kiat Mendongeng untuk Orang Tua

Republik Dongeng merupakan sebuah komunitas literasi yang terbentuk sejak 17 Agustus 2020, tepat di hari perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke-75. Pendirinya, Syamsul Yusuf atau akrab disapa Kak Syam, menuturkan, pembentukan komunitas itu berawal dari adanya seorang pendongeng senior yang sakit.

Sejumlah aktivis literasi kemudian turut membantunya secara finansial. Pertemuan mereka kemudian berlanjut pada inisiatif untuk mendirikan sebuah gerakan yang menyemarakkan tradisi mendongeng di Indonesia.

“Akhirnya, salah satu program Republik Dongeng ini fokus ke bidang sosial, pendidikan, dan hiburan di Indonesia,” ujar Syamsul kepada Republika, baru-baru ini.

Pihaknya menggandeng sejumlah tokoh nasional. Beberapa di antaranya duduk sebagai pembina Republik Dongeng. Mereka adalah tokoh pendidikan anak Seto Mulyani (Kak Seto), Agus DS, dan pelawak Aziz Gagap.

Syamsul sendiri sudah bertahun-tahun lamanya malang melintang sebagai pegiat literasi anak. Ia telah mendongeng di berbagai daerah, tidak hanya di dalam melainkan juga luar negeri. Bersama dengan Republik Dongeng, sejauh ini fokus kegiatannya masih pada pelatihan-pelatihan daring.

Memang, pandemi Covid-19 mengubah banyak hal. Karena itu, pihaknya mengoptimalkan media sosial, seperti Instagram dan YouTube, untuk memberikan pelatihan-pelatihan virtual, terutama kepada orang tua agar dapat mendongeng untuk anak-anak mereka.

Lantas, bagaimana kiat mendongeng yang baik? Pertama-tama, lanjut Syam, luangkan waktu. Kedua, tentunya siapkan bahan cerita. Tidak harus kisah-kisah rekaan “pada zaman dahulu kala.” Sebab, pengalaman orang tua pun dapat menjadi kisah yang menarik asalkan mengandung moral.

Bagi orang tua Muslim, bahan cerita dapat berasal dari kisah-kisah kepahlawanan Islam. Bahkan, tokoh Muslim dapat disandingkan dengan tokoh-tokoh cerita kekinian, semisal The Avengers dan sebagainya.

“Jadi ceritakanlah bahwa Nabi Sulaiman, umpamanya, juga lebih hebat dari tokoh-tokoh Avengers itu. Sebab, beliau bisa semua bahasa, mengerti bahasa-bahasa hewan,” tutur dia.

Penceritaan dilakukan secara bertahap, mulai dari prolog, konflik, klimaks, hingga penutup. Bagian akhir hendaknya menunjukkan nilai moral dari kisah yang diceritakan.

“Masuk kepada moral dari materi yang diceritakan. Misalnya, bahwa Nabi Sulaiman itu pemberani, suka menolong. Karakter-karakter baik itu yang akan tertanam pada diri anak-anak,” jelas dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat