Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa membagikan masker kepada pedagang dan pekerja di Pasar Kapasan, Surabaya, Jawa Timur, Senin (29/6). | MOCH ASIM/ANTARA FOTO

Opini

Semua Bisa Jadi Pahlawan

Pahlawan tidak identik dengan peperangan. Siapa pun bisa menjadi pahlawan.

KHOFIFAH INDAR PARAWANSA, Gubernur Jawa Timur

Hari Pahlawan sering diidentikkan dengan Jawa Timur, khususnya Surabaya. Sebab, tonggak sejarah Hari Pahlawan terjadi di Surabaya. Tepatnya, saat arek-arek Suroboyo melawan pasukan sekutu pada 1945.

Sejenak merunut rentetan sejarah yang terjadi pada Oktober hingga November 1945. Kala itu, pasukan sekutu mendarat di Surabaya. Intervensi pasukan sekutu terhadap bangsa Indonesia terus dilakukan. Perlawanan muncul.

Semua bergerak bersama. Masing-masing memainkan peran sesuai kapasitasnya. Warga NU bergerak dengan ditandai seruan Resolusi Jihad. Keinginan pasukan sekutu menguasai kembali Indonesia semakin menjadi. Perlawanan dari rakyat Indonesia terus bergelora.

Kondisi kala itu semakin panas setelah komandan pasukan Britania Brigadir A W S Mallaby tewas. Pasukan sekutu mengeluarkan ultimatum. Rakyat Indonesia diminta untuk menyerahkan semua senjata dan menghentikan perlawanan.

Batas ultimatum adalah 10 November 1945 pukul 06.00. Rakyat Indonesia menganggap ultimatum itu sebagai penghinaan. Utamanya, masyarakat Indonesia sudah terbentuk milisi yang bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

 
Hari ini, Hari Pahlawan. Definisi pahlawan saat ini bukanlah pejuang yang bergerak di medan perang dengan senjata.
 
 

Serangan diluncurkan pasukan sekutu. Rakyat Indonesia terus melawan. Ribuan orang meninggal pada pertempuran tersebut. Untuk mengenang jasa mereka, pemerintah menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan.

Tradisi memperingati perjuangan para pahlawan itu pun terus diabadikan. Misalnya, aksi teatrikal perobekan bendera merah putih biru selalu menjadi tontonan dari tahun ke tahun. Lokasinya di depan Hotel Yamato yang kini bernama Hotel Majapahit.

Tradisi yang memberi manfaat luar biasa. Masyarakat mengenang perjuangan pahlawan pada masa itu melalui drama. Langkah tersebut juga bagian dari edukasi serta peningkatan nasionalisme masyarakat.

Hari ini, Hari Pahlawan. Definisi pahlawan saat ini bukanlah pejuang yang bergerak di medan perang dengan senjata. Secara bahasa, pahlawan diartikan sebagai sosok yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya.

Subjeknya tidak selalu sosok yang sedang ikut peperangan. Bisa jadi, pahlawan dilekatkan pada pribadi seseorang. Karena itu, semua orang bisa menjadi pahlawan. Orang tua adalah pahlawan bagi anak-anaknya.

 
Pada masa pandemi Covid-19, semua orang juga bisa menjadi pahlawan. Sebagian besar orang beranggapan, tenaga medis dan dokter adalah pahlawan pada masa pandemi ini. 
 
 

Mereka bekerja, membesarkan, serta mendidik anak dari kecil hingga dewasa, tanpa pamrih. Mereka melakukan dengan dasar ikhlas, tanggung jawab, dan selalu diselimuti kasih sayang. Itu bentuk orang tua sebagai pahlawan bagi anak-anaknya.

Pada masa pandemi Covid-19, semua orang juga bisa menjadi pahlawan. Sebagian besar orang beranggapan, tenaga medis dan dokter adalah pahlawan pada masa pandemi ini. Fakta di lapangan memang tampak seperti itu.

Mereka rela meninggalkan keluarga, menahan kantuk, bekerja dari pagi hingga sore menggunakan alat pelindung diri, hanya untuk menyelamatkan dan merawat pasien Covid-19. Pantas jika dedikasinya menjadikan masyarakat menilai dia sebagai pahlawan.

Tapi, apakah hanya tenaga medis dan dokter yang menjadi pahlawan? Tentu tidak. Manusia biasa pun bisa menjadi pahlawan. Yakni, menjaga diri untuk melindungi diri dan orang lain dari penyebaran virus Covid-19.

Langkah tersebut merupakan bentuk pengorbanan yang bisa dirasakan orang lain. Itulah pahlawan. Sesuai sabda Rasulullah, ‘’Sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain’’.

Penerapan disiplin protokol pencegahan Covid-19 adalah bentuk perilaku yang memberi manfaat bagi orang lain. Mereka peduli. Mereka tidak ingin menjadi perantara penularan virus tersebut. Sangat pantas disebut sebagai pahlawan.

 
Masih ada waktu untuk menjadi pahlawan. Tak perlu bertanya dari mana untuk memulai menjadi seorang pahlawan. 
 
 

Pada momen ini, masyarakat perlu merenung. Pahlawan tidak identik dengan peperangan. Siapa pun bisa menjadi pahlawan. Hanya konteks yang diperjuangkan berbeda.

Renungan diri akan menemukan apa yang menjadi harapan dan cita-cita. Untuk mewujudkannya, butuh kerja keras dan pengorbanan. Tak jarang, seseorang harus mengernyitkan dahi untuk meraih harapan dan cita-cita itu.

Pengorbanan itu yang menjadikan dia sebagai pahlawan. Yakni, pahlawan untuk keluarga, sahabat, serta orang lain.

Generasi muda harus mampu mengambil peluang. Julukan pahlawan tidak hanya untuk kaum tua. Kelompok milenial pun bisa meraih gelar itu. Caranya, dengan menjadi sumber daya manusia yang unggul. Kiprah mereka akan memberi kontribusi besar kepada negara.

Pemuda yang seperti itu bisa menginspirasi orang lain. Menjadi panutan serta contoh yang baik. Secara tidak langsung, perilaku tersebut turut membantu pemerintah membentuk karakter pribadi masyarakat yang kuat.

Masih ada waktu untuk menjadi pahlawan. Tak perlu bertanya dari mana untuk memulai menjadi seorang pahlawan. Sebab, jawabannya ada di lubuk hati. Semua dimulai dari diri sendiri, lingkungan, dan orang lain.

Mari bersama-sama, melakukan yang terbaik untuk bangsa dan negara. Menjadi bagian dari keluarga yang luar biasa, serta menguatkan keakraban dan solidaritas dengan rekan dan sahabat. Pahlawan bisa berawal dari situ.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat