Subroto | Daan Yahya | Republika

Narasi

Dibangunkan Gempa

Jurnalis harus memerhatikan waktu istirahat.

SUBROTO, Jurnalis Republika

Wartawan harus pandai membagi waktu. Termasuk waktu istirahat dan tidur. Tekanan deadline yang ketat dan liputan yang tak teratur jadwalnya sering membuat wartawan kekurangan waktu tidur. Dampaknya tentu tak bagus buat kesehatan.

Untungnya aku termasuk orang yang gampang tidur. Jangankan rebahan bertemu kasur dan bantal empuk, sambil duduk pun aku  bisa nyaman tidur. 

 Aku  juga terbiasa tidur 6-7 jam sehari. Jadi ketika jam tidur dirasa kurang, aku selalu mencuri-curi waktu di berbagai kesempatan untuk bisa  istirahat.

Saat menjadi repoter tak jarang aku tertidur di atas bis sepulang dari liputan. Suatu saat aku naik bis Patas AC  jurusan Grogol-Depok yang melewati kantor Republika di Jalan Buncit Raya. Karena terlelap, aku baru terbangun ketika bis sudah mendekati halte UI Depok.  Sudah lewat hampir 10 km dari kantor.

 
Ketika meliput  aku juga sering tidur. Apalagi kalau acaranya seminar di hotel berbintang. Duduk saja sebentar di ruangan ber AC, sudah bisa melayang ke dunia lain.
 
 

Di lain waktu aku naik Patas AC Jurusan Tanah Abang-Lebakbulus.  Saat terbangun aku terkejut karena bis sudah kosong, dan ngetem di Terminal Lebakbulus. Kantor nun jauh 5 km disana.

Ketika meliput  aku juga sering tidur. Apalagi kalau acaranya seminar di hotel berbintang. Duduk saja sebentar di ruangan ber AC, sudah bisa melayang ke dunia lain.

Saking mudahnya, aku pernah tidur saat bawa motor. Bangun-bangun di depanku  penyangga beton di fly over. Untung  tak  sampai nabrak. 

Suatu malam pulang dari kantor mobil aku parkir di halaman minimarket di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.  Aku istrahat sebentar. Bangun-bangun sudah hampir Subuh. Istri dan anak-anak sudah panik di rumah. 

Bukan hanya gampang tidur. aku juga punya ‘kelebihan’ lain, yaitu susah bangun. Ketika sedang tidur, suara-suara bising pun takkan mampu membangunkan. Bahkan gempa sekalipun. Gempa ?

Ceritanya aku meliput gempa  di Nias, Sumatera Utara tahun 2005. Saat itu aku  menginap  bersama tentara di Makodim Nias di Gunungsitoli. Aku ditempatkan di sebuah ruangan bersama sejumlah perwira. Di ruangan itu disediakan velbed untuk tidur. Tentara lain yang pangkatnya lebih rendah tidur di tenda-tenda pleton di lapangan tak jauh dari ruangan tempat aku istirahat. 

 
“Telat Mas…Telaat…. Gempanya sudah dari tadi..,” teriak seorang prajurit diiringi tawa yang lain. 
 
 

Hari  pertama di Nias gempa susulan masih sering terjadi. Guncangan tidak begitu keras, tapi cukup membuat kepala pusing jika memaksa berdiri.  Gempa susulan terjadi kapan saja, pagi, siang, dan malam.

Pertama sampai di Nias kegiatanku padat sekali. Seharian aku berkeliling Gunungsitoli yang luluh lantak.  Bangunan-bangunan tak hanya ambruk, tapi amblas ke tanah seperti di telan bumi.

Malamnya aku kembali ke Makodim dengan kelelahan. Tak seperti biasanya, aku yang gampang tidur jadi sulit memicingkan mata.  Kondisi Nias yang  porak-poranda masih membayang-bayang di mata. Mungkin aku baru bisa tidur di atas pukul 02.00 WIB. 

Belum lama tertidur,  aku terkejut  dengan suara dum..dum…dari  dalam bumi.   Suaranya mengganggu sekali.

Aku merasakan velbed bergoyang keras. Kupegang sisi kanan dan kiri velbed agar tidak terjatuh.  Ini pasti gempa, pikirku.

Dalam keadaan  panik  aku berhambur keluar melewati  pintu yang sengaja tak dikunci.  Aku mengingatkan tentara lainnya agar menyelamatkan diri. 

“Gempa, gempa…Larii..”

Aku berlari sampai ke lapangan sambil terus berteriak keras. “Gempa… Hooi… gempaaa….”  Aku berharap tentara yang lain mengikuti langkahku menyelamatkan diri.

Tapi apa yang terjadi ? Aku malah disambut  gelak tawa bersahut-sahutan.

“Telat Mas…Telaat…. Gempanya sudah dari tadi..,” teriak seorang prajurit diiringi tawa yang lain. 

Mereka terpingkal-pingkal sambil menunjuk-nunjuk ke arahku  yang masih saja bingung. Kuperhatikan suasana sekitar. Aku berdiri di lapangan masih dengan celana pendek,  dan rambut awut-awutan.   Di sekelilingku belasan tentara sudah berseragam lengkap, duduk-duduk santai sambil terus tertawa. Sampai ada yang terguling-guling saking gelinya.

Aduh, malunya setengah mati. Gempanya sudah lama ternyata.

Tips mengatur waktu istirahat

- Pastikan waktu tidur cukup sesuai dengan kebiasaan

- Jangan begadang kecuali memang penting

- Jika waktu tidur dirasa berkurang, ganti di waktu lain

- Tidur di tempat dan waktu yang aman  misalnya di atas bis, kereta, atau pesawat

- Gunakan waktu untuk istirahat saat menunggu narasumber saat liputan di  malam hari

- Perhatikan perbedaan waktu jika liputan di luar negeri

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat