Yaidah (51 tahun), warga Surabaya yang mengurus akta kematian hingga ke Kantor Kemendagri. | Istimewa

Jawa Timur

Saat Yaidah Kesulitan Urus Akta Kematian

Yaidah hampir gagal mengeklaim asuransi hanya karena ulah oknum petugas.

OLEH DADANG KURNIA

Sudah jatuh tertimpa tangga. Peribahasa tersebut sepertinya tepat untuk menggambarkan apa yang dialami Yaidah (51 tahun), warga Perumahan Lembah Harapan, Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri, Surabaya, Jawa Timur. Rentetan pengalaman pahit seolah tiada jeda menghantam kehidupan ibu dua anak ini.

Setelah kehilangan putra bungsunya, Yaidah hampir gagal mengeklaim asuransi hanya karena ulah oknum petugas pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispen dukcapil) Kota Surabaya.

Kisah itu bermula pada 28 Juli 2020, saat Yaidah harus mengikhlaskan putranya, Septian Nur Mu'aziz (23) yang meninggal dunia. Mua'ziz menyusul kakak perempuannya, yang beberapa tahun sebelum itu juga meninggal di usianya yang ke-27. Setelah meninggalnya Mu'aziz, Yaidah berinisiatif untuk mengeklaim asuransi sang anak.

"Bapaknya kan kerja di Kantor Pos, nah anak saya ini didaftarkan asuransinya ditanggung perusahaan," kata Yaidah diwawancara Sabtu (24/10).

Untuk mengeklaim asuransi tersebut, syarat utama yang dibutuhkan adalah akta kematian. Pada awal Agustus 2020, Yaidah pun bergegas ke kantor kelurahan untuk mengurusnya.

Yaidah berbekal surat pengantar dari rumah sakit. Di surat tersebut memang tidak dijelaskan secara rinci penyebab kematian sang anak. Hanya terdapat catatan bertuliskan DOA (Death On Arrival) untuk menggambarkan seorang pasien datang di rumah sakit dalam keadaan meninggal dunia.

"Masa wong meninggal kok karena DOA. Gak ada karena DOA," ujar Yaidah mengulang apa yang dilontarkan petugas kelurahan kepadanya saat itu.

Yaidah pun berinisiatif kembali ke rumah sakit untuk meminta penjelasan terkait penyebab meninggalnya sang anak. Belakangan diketahui sang anak meninggal gara-gara terkena angin duduk. Setelah mendapatkan penjelasan, Yaidah kembali ke kantor kelurahan untuk melanjutkan proses pembuatan akta kematian yang sempat terganjal.

photo
Yaidah (51 tahun), warga Surabaya yang mengurus akta kematian hingga ke Kantor Kemendagri. - (Istimewa)

Sayang, ternyata kantor kelurahan ditutup karena ada petugasnya yang meninggal terpapar Covid-19. Yaidah pun pulang dengan harap-harap cemas. Karena waktu yang dia miliki untuk mengajukan klaim asuransi hanya 60 hari setelah meninggalnya sang anak. Pada 25 Agustus, Yaidah kembali ke kantor kelurahan, menyampaikan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk mengurus akta kematian.

Setelah berhari-hari menunggu, belum juga ada kabar baik terkait progres pembuatan akta tersebut. Padahal hampir setiap hari Yaidah mengunjungi kantor kelurahan, hanya sekadar ingin mengetahui sejauh mana proses pengerjaannya. Alasan petugas karena sistem tidak bisa diakses.

"Lama-lama saya tanyakan juga gak ada kabar. Padahal pihak asuransi hanya memberi waktu 60 hari, waktu kan berjalan terus. Lek gak jadi terus yaopo (kalau tidak jadi terus bagai mana -- Red)?" kata Yaidah.

Kesabaran Yaidah pun mulai menipis. Pada 21 September 2020 ia mengambil berkas-berkas tersebut dari kelurahan. Yaidah pun bergegas menuju kantor Disdukcapil yang ada di Gedung Siola.

Bukan pelayanan ramah seperti yang digebor-gemborkan, melainkan sikap ketus petugas yang didapatnya. Yaidah malah diminta kembali ke kelurahan karena di tengah pandemi Covid-19 tidak ada pelayanan tatap muka.

"Belum apa-apa, saya cuma nanya aja mau mengurus akta kematian, langsung jawabnya nyolot. Kalau mengurus akta kematian itu sekarang gak ada tatap muka, Bu. Ibu harus kembali ke kelurahan," kata Yaidah menggambarkan pelayanan yang diperolehnya dari petugas.

 
Belum apa-apa, saya cuma nanya aja mau mengurus akta kematian, langsung jawabnya nyolot
 
 

Yaidah pun menjelaskan alasannya datang ke Gedung Siola, di mana berkasnya yang sudah berpekan-pekan menginap di kelurahan tidak kunjung membuahkan akta kematian anaknya. Alasannya karena tidak bisa mengakses sistem. Pada perdebatan pertama, Yaidah menang. Dia diarahkan ke lantai 3 Gedung Siola oleh petugas yang menemuinya tersebut.

Padi ditanam, tumbuh ilalang. Sambutan ramah yang diharapkan malah sikap arogansi petugas yang diterima Yaidah. Yaidah malah kembali diminta ke lantai 1. Seorang petugas perempuan mengatakan layanan untuk pembuatan akta kematian berada di lantai 1.

Yaidah pun merasa kesabarannya telah mencapai batas karena merasa dipermainkan petugas. Dengan nada tinggi, Yaidah menjelaskan kepada petugas tersebut, dirinya melangkah ke lantai 3 lantaran diminta oleh petugas yang berada di lantai 1. Akhirnya berkas-berkas yang digenggamnya diminta petugas tersebut. Dibawanya berkas tersebut ke dalam ruangan. Yaidah merasa mendapat harapan.

"Lama menunggu berjam-jam belum juga keluar. Padahal kondisi saya lagi puasa. Akhirnya keluarlah perempuan ini yang disebut oleh petugas perempuan sebelumnya," kata Yaidah.

Namun bukan juga kabar baik yang dibawa petugas tersebut. Petugas mengatakan, akta kematian sang anak sulit diakses karena ada tanda petik dalam namanya. Untuk bisa mengakses data sang anak, kata petugas, harus menunggu persetujuan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Yaidah pun menanyakan berapa lama waktu yang dibutuhkan. Karena tenggat waktu mengurusi klaim asuransi yang dimilikinya tidak banyak lagi.

"Yo lama wong yang dikirim bulan Juli aja baru jadi barusan," kata petugas sambil mengeloyor masuk.

Yaidah pun merasakan bingung tidak karuan. Dia pun meminta izin suami dan memberanikan diri berangkat ke Jakarta. Padahal tidak sedikit pun memiliki gambaran peta Jakarta. Yaidah berangkat bermodalkan tekad. Sasarannya adalah Kantor Kemendagri.

Keesokan harinya, Yaidah berangkat ke Jakarta menaiki kereta api. Sampai di Stasiun Pasar Senen, Yaidah langsung memesan ojek daring menuju Kantor Kemendagri di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.

Sesampainya di sana, Yaidah diberi tahu petugas dirinya salah alamat. Petugas mengarahkan Yaidah ke kantor Direktorat Jenderal Kependudukan Dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) yang ada di Jakarta Selatan.

"Sampainya di Jakarta Selatan, para penjaga kaget begitu tahu saya dari Surabaya. Kok mengurusnya ke sini, mengurusnya ya di sana," ujar Yaidah menirukan seorang petugas.

 
Sampainya di Jakarta Selatan, para penjaga kaget begitu tahu saya dari Surabaya. Kok mengurusnya ke sini, mengurusnya ya di sana.
 
 

Tidak lama berselang, Yaidah ditemui petugas yang kebetulan sama-sama berasal dari Jawa Timur. Tepatnya dari Krian, Sidoarjo. Setelah Yaidah menjelaskan rentetenan kronologi yang sampai membawanya ke Jakarta, petugas langsung menyimpulkan apa yang dialaminya adalah ulah oknum. Petugas itu pun menelepon salah satu petugas di Dispendukcapil Surabaya.

"Pak, ini ada warga Bapak kok sampai ke sini hanya kerena ingin mengurus akta kematian. Ini orangnya ada di depan saya. Pak tolong dijadikan (akta kematian --Red). Kasihan ini ibu jauh-jauh," kata Yaidah mengulang apa yang disampaikan petugas melalui sambungan teleponnya.

Petugas yang ada di Dispendukcapil Surabaya itu pun menyanggupinya dan menyatakan berkas akta kematian akan segera jadi. Setelah berkas itu jadi, dikirimlah soft file-nya ke gawai petugas yang ada di Jakarta. Oleh petugas tersebut kemudian diteruskan ke Whatsapp Yaidah. Tidak hanya itu saja, petugas di Jakarta juga membantu mencetak akta kematian tersebut untuk kemudian diserahkan kepada Yaidah.

"Saat itu kan yang tanggal 23 (September --Red) itu langsung dikirim ke HP di-print-kan, tanggal 24 langsung saya serahkan ke pihak asuransi pusat. Kan pusatnya di Jakarta, alhamdulillah langsung lega," kata Yaidah.

Pemkot Surabaya melalui Dispendukcapil menyampaikan permohonan maaf atas apa yang dialami Yaidah. Kepala Dispendukcapil Kota Surabaya, Agus Imam Sonhaji, mengatakan hal itu terjadi karena kesalahan komunikasi.

"Memang saat itu Mal Pelayanan Publik sedang menerapkan lockdown, sehingga petugas kita juga terbatas. Karena kebanyakan mereka bekerja dari rumah," kata Agus.

 
Memang saat itu Mal Pelayanan Publik sedang menerapkan lockdown, sehingga petugas kita juga terbatas.
 
 

Di Mal Pelayanan Publik Siola, kata Agus, Yaidah mendapat informasi dari petugas yang kurang tepat. Sebab, petugas itu tidak memiliki kapabilitas dalam menyelesaikan permasalahan Administrasi Kependudukan (Adminduk). Alhasil, Yaidah salah menangkap pesan dan mengartikan dirinya harus ke kantor Kemendagri di Jakarta untuk menyelesaikan akta kematian anaknya itu.

"Sebenarnya proses input nama yang bertanda petik ke SIAK dapat diselesaikan oleh Dispendukcapil. Progres itu juga dapat di-tracking melalui pengaduan beberapa kanal resmi Dispendukcapil," ujar Agus.

Berkaca dari pengalaman itu, pihaknya mengimbau kepada masyarakat apabila mengalami kendala atau permasalahan terkait pengurusan Adminduk supaya melaporkan informasi itu ke channel pengaduan resmi Dispendukcapil Surabaya.

Pengaduan itu juga dapat ditelusuri prosesnya, baik melalui telepon call center Dispendukcapil pada nomor 031-99254200 atau menuliskan pengaduan di laman http://dukcapilsapa warga.disdukcapilsurabaya.id.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat