Anak-anak menelepon guru saat belajar di Kampung Gudang Garam, Skanto, Keerom, Papua, Kamis (27/8).Sebanyak 50-an anak tingkat SD di Kampung Gudang Garam belajar dengan buku panduan yang akan dikonfirmasi via telepon seluler | Indrayadi TH/Pewarta

Opini

Menekan Kesenjangan Pendidikan

Kesenjangan kualitas pendidikan kian meningkat antara pembelajaran daring dan luring.

TATANG MUTTAQIN, Direktur Aparatur Negara Bappenas, Menyelesaikan PhD dari Rijksuniversiteit Groningen, Belanda dan Executive Education di Harvard Kennedy School, AS

Kehadiran virus korona (Covid-19) telah memorakporandakan tatanan kehidupan, tak terkecuali pendidikan. Sebagian besar anak tidak bisa belajar di sekolah atau kampus karena risiko penularan semakin mengkhawatirkan.

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan memanfaatkan teknologi daring menjadi alternatif yang tak terhindarkan. PJJ membantu banyak anak untuk bisa tetap melakukan pembelajaran. Namun, tak sedikit anak yang tidak bisa mengikutinya karena tak memiliki gawai atau komputer, ketiadaan jaringan internet, dan tak mampu membeli kuota.

Di sinilah, kekhawatiran mulai mengemuka. Kesenjangan kualitas pendidikan akan semakin meningkat antara yang punya akses pembelajaran daring dan yang hanya mampu belajar dengan luring.

Kekhawatiran tersebut cukup beralasan. Kendala ekonomis dan geografis sering berkelindan serta tak bersifat substitusional.

 

 
Ditilik dari aspek mutu pendidikan, Indonesia masih perlu berjuang lebih keras. Di tingkat regional, ASEAN misalnya, capaian siswa Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains, terendah kedua.
 
 

 

Padahal, beragam ikhtiar pemerintah menekan kesenjangan dilakukan sejak lama dan hasilnya cukup menggembirakan. Sebagai contoh, kesenjangan akses jenjang pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi semakin mengecil.

Akses pendidikan untuk anak dari keluarga paling miskin meroket, dari hanya sekira 23 persen pada 2000 menjadi 66 persen pada 2018 [Direktorat Pendidikan dan Agama Bappenas, 2020].

Ditilik dari aspek mutu pendidikan, Indonesia masih perlu berjuang lebih keras. Di tingkat regional, ASEAN misalnya, capaian siswa Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains, terendah kedua, dengan juru kunci Filipina (PISA 2018).

Namun, bila capaian siswa Provinsi DKI Jakarta dan DI Yogyakarta dipilah, ada selisih skor besar antara dua provinsi tersebut dibandingkan skor rerata nasional, yang menunjukkan ketimpangan kualitas antara dua provinsi tersebut dibandingkan wilayah lainnya. (Puspendik Kemendikbud, 2019 dan Direktorat Pendidikan dan Agama Bappenas, 2020).

Dengan jaringan lebih baik dan harga kuota lebih terjangkau sekalipun, PJJ tetap berpotensi memperlebar kesenjangan jika tak dilakukan upaya inovatif dari kepala daerah dan kepala satuan pendidikan, sebagai ujung tombak pembelajaran.

 
Dengan fakta-fakta tersebut, mutu pendidikan sangat ditentukan faktor status sosial ekonomi (SSE) orang tua.
 
 

Jika menelisik lebih lanjut data PISA, ada tiga hasil analisis Puspendik Kemendikbud (2019) yang juga patut dijadikan rujukan. Pertama, persentase siswa mengulang kelas sebesar 15-18 persen ternyata berkorelasi dengan kemampuan membaca.

Kedua, siswa di perdesaan berkemampuan membaca lebih rendah sehingga jika PJJ tidak efektif di perdesaan akan semakin memperlebar kesenjangan desa dan kota.

Ketiga, siswa yang pernah masuk TK atau pendidikan prasekolah, memiliki kemampuan membaca lebih baik. Ketika partisipasi pendidikan prasekolah belum mencapai 50 persen, masih banyak anak yang tertinggal kemampuan bacanya.

Dengan fakta-fakta tersebut, mutu pendidikan sangat ditentukan faktor status sosial ekonomi (SSE) orang tua. Disertasi Suharti (2013) menunjukkan, sekitar 66 persen prestasi siswa ditentukan SSE.

Dengan demikian, sisanya, 34 persen dipengaruhi peran sekolah yang berbagi dengan peran teman bermain, lingkungan, dan faktor lainnya. Sistem masuk sekolah negeri yang masih mengandalkan prestasi juga berkontribusi dalam memperlebar kesenjangan.

Siswa berprestasi yang biasanya dari keluarga mampu, bisa menikmati sekolah negeri yang secara rerata lebih baik kualitasnya dibandingkan sekolah swasta (Newhouse & Beegle, 2006).

Pembelajaran digital

Pada masa pandemi Covid-19, secara teoretis pembelajaran daring merupakan terobosan besar karena mampu memasifikasi pertukaran informasi dan keterampilan (mutu), menjangkau siswa di lokasi sulit (Hill, 1997; Webster & Hackey, 1997).

 
Namun, pembelajaran daring juga tidak mudah dan bisa merugikan karena tanpa kedisiplinan, pembelajaran menjadi tak efektif.
 
 

Hal ini semakin dijustifikasi dengan adanya fakta pembelajaran klasik di luar jaringan (luring) kurang memperhatikan perbedaan kebutuhan siswa dan terbatas dalam melatih “berpikir tingkat tinggi”. (Banathy, 1994; Hannum & Briggs, 1982).

Kedua argumen tersebut bisa benar jika semua siswa dapat mengakses pembelajaran daring dan bisa menikmati beragam aplikasi pembelajaran yang baik, seperti dari platform Ruangguru.

Namun faktanya, bukan hanya biaya berlangganan Ruangguru yang berat, melainkan kuota dan gawai pun menjadi persoalan bagi sebagian anak dari keluarga tak mampu. Tragisnya, keluarga tak mampu banyak tinggal di daerah perdesaan, yang sebagiannya tidak memiliki jaringan internet yang dapat diandalkan.

Di perkotaan juga untuk anak-anak dari keluarga beruntung, dengan segala keterbatasannya, pembelajaran daring setidaknya memiliki empat keuntungan: murah karena bisa dilakukan dari rumah, waktu yang fleksibel, berbasis kebutuhan dan kemampuan anak, juga lebih modern (Easy LMS, 2020).

Namun, pembelajaran daring juga tidak mudah dan bisa merugikan karena tanpa kedisiplinan, pembelajaran menjadi tak efektif. Jadi, pembelajaran daring mensyaratkan kedisiplinan agar tujuan akhir pembelajaran tercapai.

Problem lainnya, peluang besarnya plagiarisme dan menyontek sehingga guru perlu kreatif membuat pertanyaan secara acak, dengan waktu yang lebih ketat dan diarahkan pada problem.

Mengamati pembelajaran anak-anak, peran guru dan mode pembelajaran menjadi sangat penting. Collins (2010) menawarkan formula linking, emotion, anchor, repetition, novel, story atau dikenal dengan LEARN.

Pembelajaran berbasis formula LEARN ini lebih ramah daya tangkap dan otak anak karena menekankan pada pengalaman siswa sebagai inspirasi dan pembelajaran juga mampu memupuk inovasi.

Keduanya berintikan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Hasilnya memang tak secepat model pembelajaran instruksional untuk meraih nilai ujian tinggi, tapi lebih pada pemahaman, keterampilan, dan refleksi penerapan dalam kehidupan keseharian.

Pembelajaran ini sejalan dengan semangat “Merdeka Belajar”, yang diperkenalkan Kemendikbud saat ini. Dalam praktiknya, perlu ada penahapan karena semuanya dalam proses belajar, termasuk gurunya.

Sekalipun teknologi cukup membantu karena memungkinkan inovasi pembelajaran, tetap saja konten dan penguasaan guru sangat penting. Dalam hal ini, target pembelajaran perlu direlaksasi sehingga guru dan siswa tidak berkejaran dengan target, tetapi menikmati proses untuk sampai pada tujuan target pembelajaran.

Jika melihat praktik pembelajaran daring saat ini, seperti memindahkan pembelajaran di kelas ke dalam pembelajaran yang berbasis teknologi, guru, anak, dan orang tua mengalami stres berjamaah.

Relaksasi dan pembelajaran yang lebih inovatif merupakan solusi bersama agar semua menikmatinya. Dengan begitu, dapat meningkatkan kegembiraan dan daya tahan tubuh.

Tak kalah pentingnya, mobilitas terbatas dalam rumah membuat guru, siswa, dan orang tua membutuhkan gerakan dan olahraga tambahan. Jadi, baik juga jika dalam setiap memulai pembelajaran terlebih dahulu mereka berolahraga.

Penyerapan pembelajaran akan efektif dalam tubuh yang fit, jiwa yang senang, dan sikap prososial yang terus dirawat dan dipupuk sebagai pengejawantahan pendidikan karakter. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat