Subroto. | Daan Yahya/Republika

Narasi

Wawancara Jenderal, Dipukul Kopral

Ada cara tersendiri menembus lokasi liputan.

SUBROTO, Jurnalis Republika

Pagi itu tahun 2000, aku  ada janji untuk mewancarai Kepala Pusat Teritorial  (Kaster) TNI Letjen Agus Widjojo.  Wawancara akan dilakukan di kantornya di Mabes TNI Cilangkap pukul 08.00 WIB.

Aku sampai di Mabes TNI Cilangkap sudah hampir terlambat. Pukul 07.50 WIB  baru sampai.  Walaupun wilayah liputanku termasuk lingkungan TNI,  aku belum pernah ke kantor Kaster sendiri.

Aku melewati pintu samping dekat kantor  Kaster. Saat hendak melewati pintu pagar, seorang tentara berpangkat kopral dua mengadangku.

“Mau kemana ?” tanyanya galak.

“Saya janji wawancara dengan Kaster, Ndan,” jawabku.

Si  tentara mendelik.  Mungkin dia tak percaya. “Nanti dulu, lagi upacara,” katanya sambil menutup pintu pagar.

Aku sudah tak sabaran. Kutunggu sebentar. Sudah pukul 07.55 WIB. Kurang lima menit lagi harus sampai. Aku tak terbiasa terlambat jika ada janji wawancara, apalagi dengan tentara. Tentu saja aku khawatir .

Aku coba lagi membujuknya agar segera diperbolehkan masuk. Tetap tak bisa. Sialnya aku tak punya kartu liputan di Mabes TNI. Aku juga tak membawa ID card kantor. Jadi terpaksa menunggu sambil bersungut-sungut. 

Tak lama kemudian datang seorang perwira angkatan udara. Si kopral membukakan pintu. Tapi ketika aku mau mengikutinya masuk, kembali dia menghalangi. 

“Katanya ada upacara, tapi itu boleh masuk,” protesku. Dia tak menjawab, malah melotot.

Aku makin jengkel.  Tapi tak bisa berbuat apa-apa. Susah memang urusan dengan tentara pangkat balok-balok begini.

Tak lama kemudian, entah kenapa si kopral  beranjak dari tempatnya berjaga. ”Awas jangan masuk ya,” ancamnya.  Aku diam saja.

Dia berjalan meninggalkan pintu masuk. Kesempatan itu aku gunakan untuk membuka pintu pagar yang tak terkunci itu dan menerobos masuk.

 
Dia tak peduli. Tiba-tiba saja tinjunya sudah melayang ke arahku. Refleks aku bergerak ke samping. Untung saja tinjunya tak mengenai tepat mukaku.
 
 

Aku berjalan cepat. Sudah terlambat lima menit. 

 Tiba-tiba  terdengar suara bentakan keras si  kopral  dari arah samping. “ Hei kamu berhentiii...! “

Bukannya berhenti, aku malah lari ke arah gedung  kantor Kaster. Si tentara  mengejar. Lariku kalah cepat. “Siapa suruh masuk ?”  tanyanya marah.

”Saya sudah ditunggu Jenderal Agus,” balasku.

Dia tak peduli. Tiba-tiba saja tinjunya sudah melayang ke arahku. Refleks aku bergerak ke samping. Untung saja tinjunya tak mengenai tepat mukaku. Hanya menyentuh daun telinga. Tapi tetap saja sakit. 

 Dia  mau menendang. Tapi aku sudah lebih dulu kabur.

“Tolooong... ,” aku berteriak dan lari ke arah pos dekat gedung. Dia mengejar. 

Seorang provost yang berjaga keluar dari posnya. Si kopral itu masih berusaha menyerangku. Pasti dia kesal  karena tinju dan tendangannya tak tepat mengenai sasaran.   Si provost berusaha menahan si tentara yang marah itu.  Sejumlah orang juga berusaha menghalangi dia  sambil melindungiku dari serangannya. Aku masih memegangi daun telinga yang sakit.

Kepada provost aku jelaskan maksud kedatanganku. Dia kaget.  Ternyata dia sudah mendengar memang ada wartawan yang akan mewawancarai Kaster.

Dia mendekati si kopral. Mereka  bercakap-cakap. Aku lihat muka si kopral berubah. Tidak lagi marah, tapi  berubah pucat. Pasti dia baru  sadar bahwa orang yang dia pukul barusan akan wawancara  dengan Kaster.

Si provost mengantarku ke ruang Kaster. Aku melihat ke arah kopral dengan muka menang. “Awas loe nanti ya,” ancamku. Dia diam saja.

Sebelum sampai ke ruang Kaster, si provost memintaku agar tak melaporkan insiden itu ke Agus Widjojo. “Lihat saja nanti,” jawabku yang masih masih jengkel.

Di ruang Kaster aku sudah ditunggu Agus Widjojo.  Wawancara  itu hanya  dengan aku sendiri. Tak ada wartawan lain. Tapi aku tak mengadukan insiden pemukulan itu ke Kaster. Malu juga, wartawan  yang liputan di Mabes TNI koq dipukul tentara. Kopral lagi.

Sebelum pulang Agus sempat bertanya. “Gimana tadi di jalan, aman-aman saja ?” Tak tahu kenapa dia bertanya begitu. Apakah dia sudah mendapat laporan soal keributan tadi ?

“Aman Pak. Lancar,” jawabku.

Provost yang tadi mengantarku menanyakan apakah aku  melapor soal pemukulan itu  ke Kaster  atau tidak. Aku jawab tidak. Tapi aku ingin kopral itu diberi sanksi agar kapok.

Aku diminta untuk melapor ke kantor tak jauh dari gedung Kaster.  Disitu aku diminta menuliskan kronologis kejadian.  “Nanti kami akan tindaklanjuti Mas,” kata perwira yang menerima laporanku.

“Tapi kalau bisa Mas cabut saja pengaduannya. Kasihan dia Mas. Tentara seperti itu kan hanya menjalankan tugas. Tugas dia menjaga pintu pagar,” pintanya.

Dia memberiku nomor telepon  yang bisa kuhubungi  untuk tahu sampai sejauh mana penanganan kasus itu.

“Kalau Mas mau meneruskan  kasusnya nanti telepon saya. Tapi kalau tidak kita tutup saja. Toh Masnya nggak apa-apa,” pesannya.

Aku kembali pulang. Sepanjang jalan aku memikirkan kejadian tadi. Lucu dan memalukan. Wartawan  yang liputannya di TNI koq dipukul tentara. Kalau ada wartawan lain yang tahu kejadian itu, pasti sudah jadi berita. “Wartawan Republika Dipukuli Anggota TNI”. Mungkin begitu judul beritanya.

Lama-lama aku berpikir buat apa ya kasusnya diteruskan.  Agar aku puas membalas kopral itu? Mungkin dia kelewat disiplin menjalankan tugasnya. Kasihan juga kalau nanti  kena sanksi. 

Aku pandangi tulisan di  bloknoteku yang berisi  nomor telepon perwira tadi. Lalu halaman itu kurobek, kuremuk-remuk, dan kubuang.#

Tips menembus lokasi liputan 

- Pastikan tujuan  liputan dan siapa yang hendak ditemui

- Buat alasan yang masuk akal agar Anda diizinkan masuk

- Menyamar jika terpaksa

- Minta bantuan orang yang punya akses

- Jangan lupa bawa ID card

- Pastikan kondisi fisik Anda sehat, penting jika terpaksa kabur

- Pertimbangkan resiko jika Anda tetap memaksa masuk

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat