Menkeu Sri Mulyani (kiri), Menkumham Yasonna Laoly (tengah), dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto saat menghadiri pengesahan RUU Cipta Kerja di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (5/10). | Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO

Tajuk

Wajah Lain UU Cipta Kerja

Semoga UU Cipta Kerja ini menjadi pendidikan politik yang baik bagi kita semua.

Selamat datang UU Cipta Kerja. Pengesahan UU Cipta Kerja kemarin berjalan mulus. Sepanjang akhir pekan kemarin, DPR terlihat ngebut sekali. Pembahasan keputusan di tingkat pansus berlangsung pada Sabtu, malam hari pula. Senin sudah ketok palu ambil keputusan mengesahkan.

Tercatat DPR sudah melakukan 63 rapat selama enam bulan membahas undang-undang prioritas ini. Materi UU Cipta Kerja amat kompleks. Mencakup 76 undang-undang, terutama terkait perekonomian dan otonomi daerah, 15 bab dan 174 pasal. 

Koran ini berpandangan, UU Cipta Kerja masih meninggalkan polemik. Pembahasannya yang terburu-buru serta kecenderungan di dalam pasal-pasal yang lebih menguntungkan kelompok pebisnis. Selain itu, masih ada juga anggapan UU ini tidak pro kepada buruh, berpotensi merusak lingkungan, memunculkan sentralisasi pemerintah pusat, serta mengancam kedaulatan negara karena porsi asing relatif cukup bebas.

 
Kita melihat di media massa ataupun media sosial, bagaimana publik bereaksi sangat negatif terhadap sejumlah kelonggaran berusaha yang ingin dilakukan pemerintah.
 
 

Namun, kita harus mengakui, UU ini adalah gebrakan. Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, laju investasi asing dan dalam negeri terhambat oleh berbagai hal. Omnibus Law yang digelar Presiden Joko Widodo ini bertekad menyelesaikan hambatan-hambatan investasi itu.

Tujuannya jelas: investasi asing dan dalam negeri akan lebih deras masuk, kemudahan izin berusaha, memudahkan UMKM, menegaskan pembagian fungsi pusat dan daerah, serta yang tak kalah penting adalah relaksasi aturan sertifikasi halal. Yang terakhir ini, memang ditunggu-tunggu berbagai pihak sedari lama.

UU ini juga menampilkan wajah lainnya, yakni hubungan antara para wakil rakyat dan konstituennya. Kita melihat di media massa ataupun media sosial, bagaimana publik bereaksi sangat negatif terhadap sejumlah kelonggaran berusaha yang ingin dilakukan pemerintah. Publik terutama yang didorong oleh pegiat buruh dan lingkungan bersuara keras.

Sikapnya pun jelas dan amat kritis. Namun, sikap dan suara tegas, jelas, serta kritis itu seolah senyap di Senayan. Logika kita tentu bertanya: Apakah para anggota wakil rakyat itu mendengar suara konstituen mereka terkait Cipta Kerja? 

Wakil rakyat adalah seseorang yang secara mengajukan diri secara politik dan administratif untuk mewakili suara dari daerah pemilihannya. Satu orang wakil rakyat di DPR bisa mewakili belasan ribu sampai ratusan ribu suara rakyat di dapilnya. Proses keterwakilan ini membuat konstituen memiliki suatu hak politik suara atas wakilnya. Wakil rakyat wajib mendengar dan memperjuangkan amanah konstituen itu ke pemerintah. Ada sebuah tanggung jawab moral dan politis oleh wakil rakyat tersebut.

 
Dan ini tentu harus disikapi oleh rakyat dan wakilnya. Apakah konstituen benar menyampaikan amanah penolakan ataupun kritikan itu ke wakil rakyatnya? Atau memang konstituen hanya diam?
 
 

Namun, dalam proses politiknya kita tahu kenyataan yang berjalan tidaklah demikian. Terlalu sering kita melihat praktik politik justru menjungkirbalikkan hal tersebut. Jika proses politik kita berjalan dengan benar, protes dan kritikan dari konstituen mereka terhadap UU Cipta Kerja tentu akan menggema di ruang publik. Tecermin di pembahasan Omnibus Law. Ini yang kita lihat tidak terjadi. Patut kita duga, ada sebuah proses politik yang macet dari konstituen ke atas, yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Dan ini tentu harus disikapi oleh rakyat dan wakilnya. Apakah konstituen benar menyampaikan amanah penolakan ataupun kritikan itu ke wakil rakyatnya? Atau memang konstituen hanya diam? Lalu, bagi yang memang menitipkan amanah itu, bagaimana wakil rakyat menjalankan amanah itu di sidang-sidang DPR?

UU Cipta Kerja mempertontonkan relasi konstituen-wakil rakyat ini dengan cukup gamblang. Aksi dan reaksi konstituen dihadap-hadapkan dengan sikap wakil rakyat. Ini menjadi pelajaran politik cukup berharga bagi publik dan wakil rakyat untuk masa yang akan datang. Kita berharap, di undang-undang strategis lainnya, proses politik macam ini lebih lancar dan berjalan dengan baik. Ada dampak yang jelas dan terukur dari suara konstituen kepada wakil rakyatnya di Senayan.

Untuk saat ini, kita bisa ucapkan: Selamat datang UU Cipta Kerja. Semoga undang-undang ini benar sesuai tujuannya. Mengundang investasi asing, menyejahterakan pekerja, serta tak merusak lingkungan. Kita juga bisa ucapkan bagi para konstituen: Selamat legawa menerima keputusan para wakil rakyat. Semoga UU ini menjadi pendidikan politik yang baik bagi kita semua. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat