Sunarsip | Daan Yahya | Republika

Analisis

Mendiskursuskan Kembali Peran BUMN?

Mendiskursuskan kembali peran BUMN memang perlu dilakukan, terutama untuk meletakkan kedudukan BUMN secara tepat menurut konstitusi.

 

SUNARSIP

Diskursus mengenai peran BUMN tak akan pernah berhenti. Perbedaan sudut pandang tentang peran BUMN akan terus terjadi, tak terbatas ruang dan waktu. Termasuk pula, diskursus mengenai bentuk badan hukum yang tepat bagi BUMN.

Belakangan ini muncul wacana agar BUMN yang mengemban tanggung jawab “pelayanan sosial atau publik” sebaiknya diarahkan menjadi perusahaan umum (perum). Namun, sejumlah pihak berpendapat sebaliknya, sebaiknya seluruh BUMN dikorporatisasikan. Artinya, seluruh BUMN diarahkan berbadan hukum perseroan yang berorientasi bisnis sehingga tidak ada lagi dikotomi BUMN sebagai pengemban pelayanan publik dengan BUMN sebagai institusi bisnis.

Berbagai pandangan ini hal biasa. Kebenarannya juga relatif, tidak mutlak. Ini mengingat, terutama dalam tataran praktis, BUMN kita sebenarnya telah menjalankan kedua peran tersebut tanpa terkendala bentuk badan hukum. Contoh, kita memiliki BUMN berbadan hukum perum, seperti Bulog. Dalam praktiknya, Bulog juga dituntut mengembangkan diri menjadi institusi bisnis yang mampu memupuk pendapatan dan laba agar dapat mengurangi beban public service obligation (PSO) dari pemerintah.

 

 
Mendiskursuskan kembali peran BUMN memang perlu dilakukan, terutama untuk meletakkan kedudukan BUMN secara tepat menurut konstitusi. 
 
 

 

Kita juga memiliki BUMN berbadan hukum perseroan, seperti PLN, Pertamina, KAI, BUMN keuangan, BUMN konstruksi, dan lainnya, tapi mereka juga menjalankan tanggung jawab sebagai pelaksana PSO. Dan ternyata BUMN yang perum maupun perseroan mampu menjalankan kedua peran tersebut (layanan sosial dan bisnis) sesuai tanggung jawab yang diberikan negara.

Mendiskursuskan kembali peran BUMN memang perlu dilakukan, terutama untuk meletakkan kedudukan BUMN secara tepat menurut konstitusi. Pemerintah telah cukup lama menyiapkan revisi UU No 19/2003 tentang BUMN. Kita berharap revisi UU BUMN ini justru mampu mengantarkan BUMN bergerak lebih lincah, secara bisnis maupun tanggung jawab pelayanan publik.

Sehubungan dengan ini, saya mengusulkan sebaiknya dihindari upaya memformat ulang bentuk BUMN yang telah //settled// dalam ruang hukum korporasi. Ini mengingat, mengubah BUMN yang telah berbadan hukum perseroan menjadi perum akan memiliki implikasi lebih luas dibanding sebaliknya, mengubah perum menjadi perseroan.

Saya mengusulkan agar dikotomi peran BUMN sebagai pengemban layanan publik versus entitas bisnis tidak terlalu mendominasi pembahasan revisi UU BUMN. Diskursus topik ini akan banyak menghadapi tantangan dalam tataran praktisnya.

 
Berawal dari ketentuan inilah masalah akan berpotensi muncul bila kita terlalu fokus dalam mendiskursuskan peran BUMN sebagai badan usaha maupun penyelenggara pelayanan publik.
 
 

Sejauh ini belum ada definisi baku tentang “pelayanan publik” dan kedudukan BUMN sebagai penyelenggara layanan publik. Definisi “pelayanan publik” sejauh ini diatur dalam UU No 25/2009 tentang pelayanan publik. Itu pun kalau ketentuan dalam UU ini dipakai secara utuh, akan menimbulkan masalah tersendiri bagi BUMN. Bagaimana penjelasannya?

Di Pasal 5 UU No 25/2009 dinyatakan, ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif. Ruang lingkup pelayanan meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya. Sementara, yang disebut sebagai penyelenggara layanan publik, selain instansi pemerintah, juga termasuk korporasi atau badan usaha. Berawal dari ketentuan inilah masalah akan berpotensi muncul bila kita terlalu fokus dalam mendiskursuskan peran BUMN sebagai badan usaha maupun penyelenggara pelayanan publik.

Mengacu pada Pasal 5 UU No 25/2009 di atas, ternyata ruang lingkup layanan publik sangat luas, tidak terbatas pada PSO, sebagaimana terminologi pelayanan publik yang sering diperdengarkan oleh kalangan BUMN. Perbankan, misalnya, ternyata juga perlu tunduk pada ketentuan pelayanan publik menurut UU ini.

Menurut Pasal 27 UU No 25/2009 disebutkan, saham penyelenggara yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang berkaitan dengan pelayanan publik dilarang dipindahtangankan dalam keadaan apa pun, baik langsung maupun tidak langsung melalui penjualan, penjaminan, atau hal-hal yang mengakibatkan beralihnya kekuasaan menjalankan korporasi atau hilangnya hak-hak yang menjadi milik korporasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Terkait hal ini, lalu bagaimana dengan BUMN perbankan, misalnya, yang sahamnya telah dimiliki publik?

Dari sini terlihat bahwa diskursus terkait peran BUMN dalam konteks layanan publik berpotensi menimbulkan komplikasi, menguras energi, pikiran, dan waktu yang belum tentu dapat menemukan solusi tepat. Dalam konteks inilah, di atas saya mengusulkan agar pembahasan mengenai BUMN sebagai penyelenggara layanan publik tidak mendominasi diskursus dalam revisi UU BUMN. Lalu, apa yang lebih penting dibahas dalam revisi UU BUMN nanti?

Saya melihat, setidaknya ada tiga hal yang memperoleh prioritas dalam pembahasan revisi UU BUMN. Pertama, BUMN membutuhkan regulasi yang memberikan ruang bagi BUMN untuk lebih mudah melakukan aksi korporasi, seperti investasi, merger, dan akuisisi. Langkah konsolidasi yang memang dibutuhkan untuk memperkuat BUMN membutuhkan pijakan hukum lebih kuat agar lebih mudah dilakukan. Hambatan hukum dan politik, seperti pada proses konsolidasi sebelumnya, perlu dipecahkan melalui UU BUMN yang baru.

Kedua, memperjelas kedudukan BUMN sebagai badan usaha (termasuk insan BUMN) dalam lingkup keuangan negara maupun sebagai penyelenggara negara. Bila mengacu pada UU No 17/2013 tentang Keuangan Negara, modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan demikian, semestinya sistem pengelolaan BUMN tidak menganut sistem yang berlaku dalam pengelolaan keuangan negara atau APBN, tetapi mengacu pada prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Sayangnya, regulasi yang ada belum memungkinkan BUMN lepas dari sistem pengelolaan yang berlaku di ranah keuangan negara.

 
Kelompok BUMN yang kebetulan berada dalam industri yang well-regulated, seperti BUMN perbankan, harus memenuhi kewajiban tata kelola (governance) yang lebih luas dibanding BUMN di industri lainnnya. 
 
 

Hal ini terbukti, misalnya, dengan digolongkannya pengelola BUMN sebagai penyelenggara negara, sebagaimana diatur pada UU No 28/1999. Akibatnya, setiap kebijakan korporasi yang diambil para pejabat BUMN berpotensi masuk dalam ranah hukum tindak pidana korupsi, tidak lagi sekadar hukum korporasi. Kerugian perusahaan akibat kebijakan pejabat BUMN berpotensi dimasukkan sebagai kerugian keuangan negara atau korupsi. Padahal, tidak seluruh kerugian perusahaan merupakan tindak pidana. Nah, kedudukan pengelola BUMN ini perlu diperjelas di UU BUMN nanti.

Ketiga, memperkuat peran organ BUMN agar lebih maksimal dalam menjalankan perusahaan. Regulasi terkait organ BUMN dalam UU No 19/2003 masih jauh dari memadai. Hal yang terkait dengan kejelasan kewenangan, tanggung jawab, hak, dan kewajiban dari organ BUMN tidak lengkap dan belum best practices. Tata kelola BUMN yang melibatkan seluruh organ perusahaan, baik pemegang saham (pemerintah dan publik), direksi, dewan komisaris, maupun jajaran manajemen lainnya antarsatu kelompok industri BUMN masih belum seragam.

Kelompok BUMN yang kebetulan berada dalam industri yang well-regulated, seperti BUMN perbankan, harus memenuhi kewajiban tata kelola (governance) yang lebih luas dibanding BUMN di industri lainnnya. Hal ini perlu diselaraskan dan nantinya UU BUMN yang baru akan menjadi pijakan bagi pemegang saham untuk menyusun regulasi teknisnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat