Ilustrasi Mahasiswa meneliti dan mendeteksi bakteri Tuberculosis (TB) sebelum pandemi Covid-19. | ANTARA FOTO

Nasional

Pasien TB Butuh Perhatian Serius

Pasien tuberculosis (TB) mengalami tantangan yang semakin berat di masa pandemi Covid-19.

JAKARTA — Pasien tuberculosis (TB) membutuhkan perhatian serius di masa pandemi Covid-19. Sebab hak-hak mereka kerap terabaikan, karena pelayanan kesehatan banyak difokuskan untuk penanganan corona.

Pegiat di Yayasan pejuang Tangguh TB-RO (PETA) Jakarta, Binsar Manik mengatakan pasien TB mengalami tantangan yang semakin berat di masa pandemi ini. Bukan saja banyaknya rumah sakit yang beralih untuk menangani Covid-19, namun juga mempengaruhi psikologi pasien yang cemas untuk berobat. 

“Padahal, kalau berobat (TBC) seharusnya tidak boleh ditunda. Tapi mereka lebih memilih untuk tidak keluar berobat yang dapat menyebabkan mereka ketemu pasien Covid-19,” terangnya dalam pertemuan virtual bersama Kementerian Kesehatan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan penyintas TB pada Jumat (2/10). 

Sebagai pendamping pasien tuberkulosis, Binsar juga mengalami kendala tersendiri. Selain karena protokol kesehatan Covid-19, namun juga komunikasi selama pandemi. Mereka tidak punya alat komunikasi, mereka sulit bertemu dengan petugas karena dibatasi dengan kendala yang ada. 

Binsar sendiri pernah mengidap penyakit tersebut pada 1997. Ketika itu dia harus putus sekolah, karena menjalani pengobatan TB hingga beberapa bulan. Tantangan penyintas TB menurutnya ada pada konsistensi mengonsumsi obat. Banyak dari mereka yang harus terus didorong mengonsumsi obat secara teratur dan mengonsultasikan perkembangan pengobatan secara berkala.

Pada masa pandemi ini, tantangan penyintas Tuberculosis semakin berat. “Banyak penyintas TB yang lebih memilih untuk diam di rumah, menunda konsultasi medis secara berkala dan pemeriksaan fisik, karena Covid-19,” kata Binsar.

Penanggulangan penyakit TB perlu mendapat perhatian serius di tengah pandemi Covid-19. Selain banyaknya pengidap TB di Indonesia, dampak yang ditimbulkannya pun berbahaya.

 

 

Banyak penyintas TB yang lebih memilih untuk diam di rumah, menunda konsultasi medis secara berkala dan pemeriksaan fisik, karena Covid-19

 

BINSAR MANIK, penyintas TB.
 

Di tengah pandemi Covid-19 ini, Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia  (STPI), Heny Akhmad mengatakan masalah TB semakin terpinggirkan. Bahkan, kampanyenya seolah mundur akibat atensi masyarakat yang lebih berfokus ke Covid-19.

“Karena Covid-19, (TB) jadi mundur 4 atau 5 tahun lalu. Bukan berarti beban penanganan TBC berkurang drastis karena ribuan kasus tidak ditemukan, tapi karena semua layanan fokus ke Covid-19,” tegasnya. 

Situasi ini justru semakin menimbulkan kekhawatiran, karena penyakit ini dapat menular. Ketika para penyintas tidak ditangani dengan cepat dan tepat, maka sangat mungkin dia menularkan penyakitnya kepada orang sekitarnya. Mereka yang terpapar juga akan menularkan penyakit yang disebabkan bakteri tersebut ke orang di dekatnya. 

Karena itu pemerintah jangan kendor untuk menangani TB. Puskesmas dan rumah sakit harus melayani mereka. Pemda harus mendukung penanganan TB di daerahnya. Masyarakat harus gencar mempromosikan pola hidup sehat dan pencegahan TB. “Dengan begitu kita sama-sama mempersempit celah penularan dan penambahan kasus TB,” katanya.

Data WHO dan kasus TB di Indonesia

photo
Dokter memeriksa pasien TB di sebuah rumah sakit pemerintah, Allahabad, India pada 2014. - (AP)

Berdasarkan data yang dirilis pada 2019, WHO menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga di dunia kasus TB terbanyak, setelah India dan Cina (2,4 juta kasus dan 889 ribu kasus). 

WHO mencatat kasus TB di Indonesia mencapai 845 ribu, sekitar 24 ribu kasus resisten obat. Dari angka tersebut, hanya 69 persen atau sekitar 540 ribu kasus yang ditemukan dan diobati. Total kematian mencapai 98 ribu jiwa.

Kasus tuberkolosis di Kota Sukabumi  Jawa Barat sepanjang 2020 mencapai sebanyak 754 kasus. Kondisi ini disikapi Pemkot Sukabumi dengan fokus pada penanganan TB. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Sukabumi, Lulis Delawati menjelaskan data ini menjadikan pemda harus mengantisipasi bertambahnya kasus.

Data kasus TB di Sukabumi menunjukkan perkembangan yang fluktuatif. Misalnya pasien TB yang ditemukan di Kota Sukabumi pada 2018 sebanyak 1.535 orang terdiri dari penduduk Kota Sukabumi dan Luar Kota Sukabumi.

Sementara pada 2019 sebanyak 1.820 orang penduduk Kota Sukabumi serta kasus TB pada 2020 sampai triwulan tiga sebanyak 754 orang penduduk Kota Sukabumi. Lulis menuturkan, percepatan penanganan kasus TB di daerah yang melibatkan pemerintah daerah melalui Rencana Aksi Daerah (RAD TB) sampai saat ini belum terealisasi. RAD TB ini yang diharapkan terbentuknya peraturan wali kota yang mengatur penanganan kasus TB.

TB sebagai masalah nasional

photo
Pasien Positif COVID-19, Yohanes Tentua berusia 71 tahun (kedua kiri) mengangkat tangan sebagai ucapan syukur usai dikarantina selama 14 hari di Balai Diklat Kampung Salak, Kota Sorong, Papua Barat, Senin (11/5/2020). Yohanes merupakan salah satu pasien positif COVID-19 dengan riwayat penyakit bawaan Tuberculosis (TB) yang dinyatakan negatif usai perawatan dan karantina selama 14 hari di Balai Diklat Kota Sorong bersama keluarganya - (OLHA MULALINDA/ANTARA FOTO)

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, Achmad Yurianto menekankan pentingnya penanganan TBC ini semestinya bukan hanya sebagai masalah sektoral namun nasional. 

“Di Indonesia bukan hanya masalah Kemenkes, tapi masalah negara,” ujar Yurianto dalam forum yang sama. 

Berkenaan ini, Yurianto menyebut, Presiden Joko Widodo pun sempat menyinggung agar persoalan TB ini perlu segera menjadi perhatian negara lewat kebijakan atau regulasi. Seperti, Perpres guna mempercepat penanggulangan penyakit yang mudah menular ini, layaknya Covid-19.

Sosialisasi menyoal TB yang efektif pun perlu didorong lebih efektif. Menurutnya, para pemangku kebijakan juga perlu menggaet berbagai pemangku kebijakan untuk turut menyosialisasikan kesadaran atas TBC seperti sosialisasi pencegahan TBC sesuai bahasa lokal masyarakatnya. 

“Untuk menjawab permintaan masyarakat terhadap informasi (TB), dari kita tak memaksakan harus berbahasa Indonesia misalnya,” ucapnya. 

Anggaran belum ideal

Pemerintah mengalokasikan anggaran pengendalian penyakit Tuberculosis (TB) pada rancangan APBN 2021 sebesar Rp 2,8 triliun. Menanggapi hal itu, anggota Komisi IX DPR RI drg. Putih Sari mengapresiasi langkah pemerintah untuk menaikkan anggaran dalam penanganan kasus TB di Indonesia.

“Untuk penanganan TBC, saya sangat apresiasi anggarannya tahun 2021 diajukan jauh meningkat. Ini menunjukkan konsistensi pemerintah menjadikan pengendalian TBC sebagai salah satu prioritas di bidang kesehatan,” ujar Putih Sari di Jakarta, Sabtu (5/9).

Walaupun anggaran belum ideal dan tidak sesuai dengan usulan anggaran penanganan TB yang seharusnya Rp 9,5 triliun, tetapi menurut Putih Sari, alokasi sebesar Rp 2,8 triliun ini tetap harus dimaksimalkan. “Saya mendorong kementerian kesehatan bisa memaksimalkan penanganan penyakit Tuberkulosis dengan adanya kenaikan anggaran penanganan TB dalam rancangan APBN 2021, dan menyisir distribusinya dalam program dan kegiatan agar tidak overlaping dengan pembiayaan yang berasal dari bantuan organisasi donor global,” kata anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra ini.

Peran media massa

Pertemuan ini juga diramaikan dengan diskusi pemberitaan seputar isu TB. Hal ini dimaksudkan untuk berbagi informasi tentang TBC secara umum, kondisi terkini, peran pemerintah lewat berbagai regulasi, dan peran pemangku terkait, kepada jurnalis di seluruh Indonesia. 

Terdapat saran strategis dari 15 editor media massa terkait dengan peliputan tentang TB. Dari masukan para editor tersebut, memang perlu bagi media dalam memperkuat liputan TB untuk mencegah penularan yang lebih masif. 

Adapun lingkup pemberitaan yang perlu ditingkatkan terkait dengan TB adalah kejelian redaksi media untuk menyajikan data serta menuliskan fenomena yang relevan terkait TB. Penekanan terkait dampak serius penyakit ini juga perlu diekplorasi oleh jurnalis.

Dalam menggali isu tuberculosis, jurnalis pun mesti lebih kritis untuk memantau implementasi aturan serta program pemerintah, di samping terus mendorong agar narasumber tidak hanya normatif dalam menjawab persoalan TB yang penting ini.   

“Untuk mendukung upaya-upaya pemberitaan yang baik dan benar, AJI Jakarta bersama STPI berkeinginan untuk mengadakan fellowship peliputan seputar TBC. Selain itu, TOR untuk panduan pemberitaan TB pun akan kami galakkan,” kata Afwan Purwanto, Sekretaris AJI Jakarta.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat