Petugas melepaskan borgol terdakwa jaksa Pinangki Sirna Malasari di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (30/9). | Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO

Nasional

Pinangki Bantah Rencana Aksi

Bareskrim Polri punya bukti kuat Irjen Napoleon disogok Djoko Tjandra

JAKARTA – Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi Pinangki Sirna Malasari membantah semua tuduhan jaksa penuntut umum (JPU) terkait action plan atau rencana aksi pembebasan Djoko Sugiarto Tjandra dan semua nama yang disebut di dalamnya. Dalam nota pembelaan yang dibacakan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (30/9), Pinangki mempertanyakan munculnya rencana aksi, nama, dan inisial dalam dakwaan JPU pada Rabu pekan lalu. 

Pinangki menegaskan, penyebutan nama-nama tersebut bukan didasarkan oleh pernyataannya. Jaksa tersebut melihat, ada pihak yang sengaja menggunakan kasus ini untuk kepentingan tertentu, khususnya kepada nama-nama yang disebutkan dalam action plan

“Dapat kami sampaikan dalam momen ini, penyebutan nama pihak-pihak tersebut bukanlah atas pernyataan terdakwa dalam proses penyidikan, namun karena ada orang-orang yang sengaja mau mempersalahkan terdakwa, seolah-olah dari terdakwa-lah yang telah menyebut nama pihak-pihak tersebut. Terdakwa sejak awal dalam penyidikan menyampaikan tidak mau menimbulkan fitnah bagi pihak-pihak yang namanya selalu dikait-kaitkan dengan terdakwa,” ujar kuasa hukum Pinangki, Aldres Napitupulu, membacakan eksepsi Pinangki. 

Dalam sidang pada Rabu (23/9), Pinangki bersama tersangka Andi Irfan Jaya disebut mengajukan action plan pembebasan Djoko Sugiarto Tjandra dari pidana kasus korupsi hak tagih Bank Bali 2009. Dalam action plan pembebasan melalui fatwa Mahkamah Agung (MA) itu, disebut nama jaksa agung Sanitar Burhanudin dan mantan ketua MA Hatta Ali. 

JPU kemudian mendakwa Pinangki dengan tiga dakwaan. Pertama, Pinangki menerima suap 500 ribu dolar AS dari 1 juta dolar AS yang dijanjikan oleh Djoko Tjandra. Dakwaan kedua terkait tindak pidana pencucian uang (TPPU) hasil suap tersebut dan ketiga terkait pemufakatan jahat untuk menyuap pejabat di Kejakgung dan MA senilai 10 juta dolar AS. 

Dijelaskan dalam eksepsinya, Pinangki menegaskan, tidak mengenal secara personal dan tidak pernah berkomunikasi dengan Hatta Ali. Terkait ST Burhanudin pun, Pinangki menegaskan, hanya merupakan atasannya di Kejakgung. Pinangki mengaku, tidak pernah berkomunikasi dengan Burhanuddin. 

“Perihal nama Bapak Hatta Ali dan Bapak ST Burhanudin yang ikut dikait-kaitkan namanya belakangan ini dalam permasalahan hukum terdakwa, sama sekali tidak ada hubungannya dan terdakwa tidak pernah menyebut nama beliau dalam proses penyidikan dan penuntutan perkara terdakwa,” ujar kuasa hukum Pinangki lainnya, Jefri Moses. 

Pinangki menyebut, dakwaan terkait pemufakatan jahat sangat dipaksakan. Sejak awal pemeriksaan di penyidikan, Pinangki mengaku, tidak mau berspekulasi dengan nama-nama yang ada dalam action plan karena tidak tahu dari mana asal proposal rencana aksi tersebut. Seandainya pun benar ia membantu Djoko mengurus fatwa MA, secara fakta, tuduhan itu tidak jadi dilaksanakan. 

photo
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra, Pinangki Sirna Malasari (tengah) memasuki ruang sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (30/9). - (Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO)

“Karena Djoko Sugiarto Tjandra telah menyatakan action plan proses fatwa tersebut tidak masuk akal dan memilih untuk menempuh jalur pengajuan peninjauan kembali (PK) melalui pengacara Anita Kolopaking,” kata pengacara Aldres. 

Sementara, soal harta miliknya yang dikaitkan dengan TPPU dan gratifikasi, Jaksa Pinangki mengaku, mendapatkan sejumlah harta benda dari mantan suaminya yang juga bekas pejabat di Kejaksaan Agung, Djoko Budiharjo. Suami Pinangki meninggalkan banyak harta karena menyadari tidak akan bisa mendampingi Pinangki yang terpaut beda usia 41 tahun.

"Saat almarhum (Djoko Budiharjo) berprofesi advokat inilah terdakwa mengetahui almarhum suami menyimpan uang dalam bentuk Banknotes mata uang asing yang menurut almarhum adalah untuk kelangsungan hidup istrinya," kata pengacara Jefri.  

Sepanjang persidangan, Pinangki yang mengenakan gamis biru telur asin lengkap dengan jilbab warna senada itu hanya duduk mendengarkan nota keberatan yang dibacakan penasihat hukumnya. Hakim memutuskan menunda sidang dan dilanjutkan pada Rabu (7/10) untuk mendengarkan pendapat JPU atas eksepsi tersebut.

Namun, saat keluar dari ruang persidangan, Pinangki memberikan sepucuk surat berisi tulisan tangan kepada para pewarta. Seakan ingin melengkapi eksepsinya, surat itu berisi permohonan maaf kepada Hatta Ali dan Burhanuddin.

Isi eksepsi Pinangki itu jauh dari harapan Kejaksaan yang membayangkan Pinangki akan mengungkap lebih detail kasus itu dalam persidangan. Jampidsus Kejakgung, Ali Mukartono, mengatakan, penyidikan masih buntu terkait aktor lain dalam skandal Djoko Tjandra, termasuk inisial DK dan IF yang ada dalam action plan.

Ali pun berharap, dalam persidangan Pinangki, inisial tersebut dapat terungkap. “Mudah-mudahan yang bersangkutan (Pinangki) mengungkapkan itu di persidangan,” terang Ali, Selasa (29/9) malam. 

Kasus Napoleon 

Sementara, Penyidik Bareskrim Polri memastikan telah mengantongi bukti kuat terkait penerimaan uang dari tersangka Tommy Sumardi kepada Irjen Napoleon Bonaparte senilai Rp 7 miliar. Uang tersebut terkait kompensasi untuk penghapusan red notice buronan terpidana Djoko Sugiarto Tjandra dari daftar pencarian orang interpol dan sistem imigrasi.

Pemberian itu, dikatakan penyidik, diberikan langsung di ruang kerja mantan Kadiv Hubinter Mabes Polri di lantai 11 TNCC Mabes Polri.

photo
Irjen Napoleon Bonaparte seusai sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin, (28/9). - (Bambang Noroyono/Republika)

“Sampai dong (uang Rp 7 miliar). Jabarkan saja, waktu (Tommy) datang bawa papper bag. Masuk (ke ruang Napoleon). Datang bawa paper bag, pulang nggak bawa,” kata penyidik Bareskrim Polri MLY saat ditemui usai sidang keempat praperadilan Napoleon di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (30/9). Sidang itu beragendakan pemeriksaan barang bukti dan saksi ahli Polri.

Kegiatan Tommy yang memasuki ruang Napoleon dengan membawa bungkusan, kata MLY, terekam dalam CCTV yang menjadi bukti di pengadilan nantinya. Isi dalam paper bag tersebut akan terjawab dalam sidang yang menghadirkan Napoleon sebagai terdakwa.

“Apakah paper bag itu dibakar atau apa, kita belum katakan. Tetapi, itu nyampe, datang bawa (paper bag), pulang enggak bawa. Ke mana paper bag-nya?” terang MLY.

MLY menerangkan, dalam jawaban Polri atas gugatan praperadilan Napoleon sudah disampaikan tentang kronologi dan bukti-bukti permulaan yang akurat terkait rangkaian kasus tersebut. Pada 13 April 2020 Tommy mendatangi Napoleon di ruang kerjanya di lantai 11 TNCC Mabes Polri. “Untuk membicarakan red notice,” terang MLY.

Dari pembicaraan tersebut, Napoleon memerintahkan bawahannya AKBP Tommy Arya mengadakan rapat terkait red notice Djoko Tjandra. Rapat berujung pada keputusan Napoleon menerbitkan berita faksimile yang ditujukan kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan (JAM Bim) di Kejaksaan Agung (Kejakgung).

Pada 14 April faks tersebut dikirimkan ke Kejakgung dengan nomor NCB-Div HI/Fax/529:IV/2020. Isinya tentang konfirmasi perkara dan status red notice Djoko Tjandra alias Joe Chan. “Bahwa berdasarkan fakta yang diperoleh dari penyidikan, faksimile tersebut sebenarnya yang mengawali terjadinya tindak pidana tersebut,” terang MLY. Sejatinya, Napoleon sudah mengetahui status red notice Djoko. 

Terkait tentang penerimaan uang, MLY menerangkan, pemberian tersebut terjadi pada April dan Mei 2020, ketika Tommy menyerahkan kepada Napoleon uang sebesar Rp 7 miliar. Uang tersebut, dikatakan, dalam bentuk dolar AS dan Singapura yang diberikan bertahap sepanjang April sampai Mei. “Setiap pemohon (Napoleon) melaksanakan prestasinya dalam bentuk penerbitan surat-surat tersebut, terjadi penerimaan uang per termin, sejumlah total keseluruhan sebesar Rp 7 miliar,” terang MLY.

Napoleon kembali membantah penerimaan uang tersebut. Meskipun ia mengakui bertemu dengan Tommy di ruang kerjanya, ia tegaskan, tak ada pembicaraan uang. “Dari mana itu? Saya tidak tahu. Mungkin dia sudah kasih duit ke orang lain ya. Tapi, kepada saya tidak, apa tujuannya, saya tidak tahu itu,” kata Napoleon usai sidang kemarin. 

Pengacaranya, Gunawan Raka, pun mengakui, dalam kronologi kasus, rentetan uang Rp 7 miliar itu memang ada. Tetapi, ia menolak tudingan Bareskrim Napoleon ikut mengantongi uang tersebut. “Bukti rentetan uang (Rp) 7 miliar itu memang ada. Tetapi, uangnya nggak ada,” kata Gunawan sambil mencolek Napoleon yang ada di sebelahnya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat