Ustaz Koko Liem dibimbing oleh seorang kiai pesantren di Siak, Riau, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pertama kalinya | DOK IST

Oase

Ustaz Koko Liem: Mensyukuri Hidayah Allah

Hidayah-Nya sangat berarti dan telah menerangi jalan kehidupannya.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

Mubaligh ini tidak seperti kebanyakan pendakwah lainnya yang telah menjadi Muslim sejak lahir. Ustaz Koko Liem melalui banyak rintangan dan tantangan sebelum memeluk Islam pada 1994 lalu.

Sejak saat itu, ia terus berkutat dalam dunia syiar Islam. Bahkan, dirinya didaulat menjadi pengasuh suatu pondok pesantren yang berfokus pada pembinaan kaum mualaf.

Ustaz Koko Liem lahir pada 17 Januari 1979 di Dumai, Provinsi Riau. Kedua orang tuanya bersuku etnis Tionghoa, yakni Liem Guanho dan Laihua. Anak ketujuh dari 10 bersaudara itu sejak kecil diasuh dalam lingkungan yang cukup religius.

Ayahnya yang juga aktivis Klenteng selalu mengajarinya untuk taat beribadah. Kelak, ketegasan bapaknya itu menjadi salah satu faktor yang membuat keislaman dirinya tak mudah diterima keluarga inti.

Liem menghabiskan masa kecilnya di kota tempat kelahirannya itu. Masyarakat setempat mayoritas beragama Islam. Alhasil, sejak masa kanak-kanak dirinya cukup akrab dengan berbagai aspek ritual keislaman, seperti kumandang azan atau perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Ia pun memiliki banyak teman yang Muslim.

Saat diwawancarai Republika beberapa waktu lalu, ia mengenang, sejak masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) ia sudah tertarik pada ajaran Islam. Apalagi, dalam soal ibadah dan sifat Tuhan. Waktu itu, dirinya sudah mengerti perbedaan mendasar antara Islam dan agama-agama lain. Agama yang berdasarkan ajaran Alquran dan sunnah Nabi Muhammad SAW itu menyembah hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Ia mengaku, sejak kecil dirinya sudah merasa memiliki pemikiran yang berbeda daripada kebanyakan anggota keluarganya terkait masalah agama. Namun, saat itu ia tidak sampai pada taraf mendiskusikan atau mendebat keyakinannya kepada orang-orang terdekat.

 
Sejak kecil dirinya sudah merasa memiliki pemikiran yang berbeda daripada kebanyakan anggota keluarganya terkait masalah agama.
 
 

Keadaannya berubah sejak dirinya masuk sekolah menengah pertama (SMP). Liem mengatakan, waktu duduk di kelas dua SMP, ia mulai tertarik untuk selalu mengikuti mata pelajaran agama Islam di sekolahnya. Saat pelajaran tersebut akan dimulai, sang guru mempersilakan seluruh siswa yang beragama non-Islam untuk keluar kelas. Bukan berarti mengusir, tetapi hanya mereka diperkenankan untuk tidak mengikuti materi yang akan berlangsung.

Akan tetapi, Liem tidak mau beranjak dari tempat duduknya. Ia memilih tetap berada di kelas sembari terus menyimak pelajaran dari sang guru agama Islam. Lama kelamaan, hal itu sudah menjadi kebiasaannya. Bahkan, ia merasa saat itu sangat antusias begitu mendengarkan kisah-kisah tentang para nabi dalam Islam atau sekadar ajaran agama ini.

Liem pun mengenang saat pertama kali mengikuti penuturan tentang kisah Nabi Ibrahim kala mencari Tuhan. Sungguh, cerita itu sangat mengagumkan baginya. Keberanian Sang Khalilullah untuk menyatakan kebenaran di hadapan ayahnya sendiri --yang merupakan penyembah berhala-- meninggalkan kesan mendalam bagi diri Liem muda.

"Saya berpikir, rasa-rasanya kisahnya Nabi Ibrahim hampir mirip dengan saya. Sebab, ayah saya seorang penyembah berhala," ujar Ustaz Koko Liem saat dihubungi Republika baru-baru ini.

Liem saat itu masih tetap rutin mengikuti pelajaran tiap kelas agama Islam dimulai. Akan tetapi, ia juga tidak meninggalkan pelajaran agama Buddha. Apalagi, kelas yang terselenggara tiap hari Ahad itu menjadi salah satu acuan nilai rapornya tiap akhir caturwulan.

Ternyata, efek dari pelajaran agama Islam di sekolah membuatnya semakin merasa nyaman dengan Islam. Sebagai contoh, lanjut Ustaz Koko Liem, dirinya tidak lagi acuh tak acuh ketika azan berkuman dang dari arah masjid. Ia selalu terdiam, menyimak suara sang muazin, yang merdu meskipun waktu itu dirinya belum memahami bahasa Arab sama sekali.

Bahkan, sesekali ia menitikkan air mata saat men dengar suara azan. Apalagi, dalam momen malam takbiran menjelang hari raya, ketika gema takbir bersahut-sahutan di langit. Ada rasa haru yang ditahannya diam-diam agar tak diketahui keluarga.

photo
Saat masih duduk di bangku SMP, Ustaz Koko Liem mulai tertarik untuk mempelajari Islam. Ia bahkan rutin mengikuti mata pelajaran agama Islam meskipun tidak diwajibkan kurikulum sekolah. - (DOK IST)

Bersyahadat

Hingga suatu saat, Koko Liem mulai coba-coba untuk tak lagi rutin beribadah ke klenteng. Saat itu, kedua orang tuanya mengharuskan anak-anak untuk beribadah sesudah matahari terbenam. Demi menghindari ritual tersebut, ia terpaksa mencari-cari alasan. Misalnya, harus pergi ke rumah teman untuk mengerjakan tugas kelompok atau pekerjaan rumah (PR) dari sekolah.

Namun lambat laun, ayahnya memperhatikan perangai anaknya itu. Begitu kedapatan menghindar dari ibadah harian, Koko Liem pun dihukum. Setelah peristiwa itu, ia justru memberanikan diri untuk pergi dari rumah. Waktu itu, ia sampai-sampai menghubungi kakaknya yang nomor dua yang telah memeluk Islam, Muhammad Abdul Nasri.

"Karena keyakinan ini semakin kuat dengan Islam, saya memutuskan untuk memeluk Islam. Ini dengan dukungan kakak saya yang lebih dahulu memeluk Islam," kata ustaz yang juga tokoh Muslim Tionghoa itu.

Bersama kakak perempuan dan adik laki-lakinya, Koko Liem pergi meninggalkan rumah. Setelah beberapa hari kemudian, dengan diantar kakaknya ia menemui seorang kiai yang juga pengasuh Pondok Pesantren Modern Jabal Nur, Siak, Riau.

KH Ali Muchsin, demikian nama ulama tersebut, menerimanya dengan baik. Setelah berdiskusi panjang lebar, Koko Liem memantapkan tekadnya untuk memeluk Islam.

Pada 21 Juli 1994, ia mengucapkan dua kalimat syahadat untuk pertama kalinya. Dengan bimbingan Kiai Ali Muchsin, Koko Liem melafalkan satu per satu ujaran agung tersebut, Asyhaduan Laa Ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah. Inilah momen yang mengharukan dalam hidupnya. Seolah-olah, dirinya lahir kembali sebagai manusia seutuhnya.

Kiai Ali tidak hanya membimbingnya bersyahadat, tetapi juga bersedia untuk menjadi orang tua asuhnya. Hal itu terutama setelah dirinya tak lagi kembali ke rumah. Koko Liem selanjutnya merantau ke Duri, Riau, dan juga melanjutkan sekolah di sana. Ia pun menjadi santri Pesantren Jabal Nur. Sejak menjadi Muslim, dirinya memiliki nama baru, yakni Muhammad Utsman Ansori.

 
Kiai Ali tidak hanya membimbingnya bersyahadat, tetapi juga bersedia untuk menjadi orang tua asuhnya.
 
 

Ia mengenang, sejak detik pertama dirinya menjadi Muslim, komitmennya kuat untuk terus mendalami Islam. Satu pekan setelah bersyahadat, ia belajar bahasa Arab melalui buku Iqra. Beberapa pekan lamanya, ia meneruskan pada tadarus Alquran secara perlahan-lahan.

Tiap bakda subuh, ia tak pernah absen mengikuti kajian agama yang digelar di Masjid Pesantren Jabal Nur. Ada banyak gurunya di sana, antara lain Ustaz Faisal. Darinya, ia banyak belajar tentang pelafalan huruf-huruf Arab sehingga semakin membuatnya lancar membaca Alquran.

Hari-harinya diisi dengan belajar. Masuk waktu zuhur ia mengikuti kelas di madrasah diniyah setempat.

Dari ashar hingga maghrib, ia bersama dengan anak-anak yang umurnya lebih muda ikut mengaji di taman pendidikan Alquran (TPA). Bakda maghrib, ia ikut menyimak kajian tafsir Alquran yang dipimpin seorang buya.

photo
KH Zainuddin MZ. Salah satu tokoh panutan Ustaz Koko Liem dalam dunia syiar Islam di Tanah Air ialah KH Zainuddin MZ - (Republika)

Mengagumi 'Dai Sejuta Umat'

Pada tahun pertama sejak keislamannya, Ustaz Koko Liem terus giat belajar. Ia diterima di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Modern Dar El Qolam, Banten. Empat tahun lamanya lelaki berdarah Tionghoa ini menuntut ilmu di sana.

"Setelah lulus dari Dar El Qolam, saya meneruskan ke pondok pesantren di Malang, Jatim (Jawa Timur) untuk menghafal Alquran dan mempelajari kitab-kitab kuning. Selama 1,8 bulan saya telah hafal 30 juz," kata Ustaz Koko Liem kepada Republika beberapa waktu lalu.

Pada 2005, ia melanjutkan studi di Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ). Setelah lulus, program magister (S-2) di jurusan ilmu tafsir Alquran pun ditempuhnya. Semua itu menjadi bekal yang amat berharga baginya untuk kelak berkiprah di dunia dakwah.

"Menjadi dai adalah sebuah panggilan Allah, bukan semacam cita-cita. Karena, awalnya saya bercita-cita sejak kecil jadi dokter," kenang dia.

Bagi Ustaz Koko Liem, tantangan terberat adalah mencontoh dan menerapkan akhlak Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi, dirinya hingga kini menempuh jalan dakwah.

Salah satu tokoh panutannya dalam dunia syiar Islam di Tanah Air ialah KH Zainuddin MZ. Menurut dia, mubaligh yang tersohor dengan julukan dai sejuta umat itu sangat inspiratif. Ia pun mengoleksi banyak rekaman dakwah tokoh yang wafat pada 2011 itu sebagai acuan belajar.

"Saya senang menyampaikan kebaikan dengan cara khas Koko terutama dalam cara dakwah dan pakaian yang berbeda," jelas dia.

Ustaz Koko Liem mengaku sangat bersyukur ke hadirat Allah SWT. Hidayah-Nya sangat berarti dan telah menerangi jalan kehidupannya. Ia menuturkan, suatu kali seorang anggota keluarga besarnya pernah menawarinya uang dengan syarat, dirinya kembali memeluk agama lama. Tak sedikit pun hatinya goyah. Berbagai ujian hidup pun dihadapinya dengan terus berikhtiar dan memegang teguh keyakinan ikhlas.

"Setiap manusia yang hidup pasti punya masalah. Itu sunnatullah. Makanya, jadikan Alquran pedoman kita. Harus terus ber tawakal kepada Allah. Dalam surah at-Talaq ayat tiga, Allah berfirman, "Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya," pesan sang ustaz.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat