Sejumlah orang berusaha merebut kotak suara Pilkada Klaten dari petugas saat Simulasi Sispamkota Pilkada Klaten di Polres Klaten, Jawa Tengah, Selasa (22/9). | Aloysius Jarot Nugroho/ANTARA FOTO

Opini

Pilkada di Pusara(n) Covid-19

Tanggung jawab jika pilkada di pusaran Covid-19 berubah menjadi pusara massa.

M NASIR DJAMIL, Anggota DPR-RI FPKS

Masih ingatkah tragedi kematian petugas penyelenggara Pemilu 2019? Total 894 petugas meninggal dan 5.175 lainnya sakit.

Meski banyak mendapat kritikan, kesimpulan medisnya, mereka yang "syahid" dalam jihad demokrasi itu dalam kondisi sangat melelahkan, baik fisik maupun psikis. Hiruk-pikuk dan haru biru kematian mereka akhirnya lenyap ditelan bumi.

Bayangan kematian di atas, kini sepertinya ditampakkan lagi, menyusul keputusan pemerintah dan DPR menggelar pilkada serentak pada Desember 2020, melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak.

Pemerintah berkukuh, proses suksesi kepemimpinan kepala daerah di sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota harus dilaksanakan meski di bawah bayang kematian akibat horor pandemi Covid-19. Penerbitan perppu ini, menurut penulis, keputusan politik berani dan mahal.

 
Keputusan politik menjadi mahal karena bukan hanya akan muncul klaster kontestasi antarkandidat, melainkan juga menjadi arena menantang makhluk mikroskopis Covid-19.
 
 

Berani karena pemerintah dan penyelenggara seakan menutup mata terhadap tren jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia. Ditambah, laporan teranyar WHO menyatakan, tingkat kematian Covid-19 di Indonesia 4,7 persen, lebih tinggi dari rata-rata dunia 3,34 persen.

Lebih 100 dokter syahid akibat lambat dan lemahnya perlindungan negara kepada mereka. Amnesty International mencatat, angka kematian di Indonesia ini menyumbang 2,5 persen dari total kematian tenaga kesehatan di seluruh dunia dalam kurun waktu sama.

Keputusan politik menjadi mahal karena bukan hanya akan muncul klaster kontestasi antarkandidat, melainkan juga menjadi arena menantang makhluk mikroskopis Covid-19.

Menyiasati pilkada di tengah pandemi, KPU menetapkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Alam Non-Alam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Substansi PKPU ini menyesuaikan seluruh tahapan pilkada dilaksanakan dengan memperhatikan secara ketat protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19. Pengadaan alat pelindung diri menjadi bagian utama kelengkapan logistik pilkada serentak.

Kekhawatiran tetap muncul, utamanya pelaksanaan di lapangan. Pada tahapan awal, yaitu pendaftaran bakal pasangan calon (bapaslon) pada 4-6 September, protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Covid-19 sama sekali tidak menjadi acuan bagi kontestan.

Berdasarkan catatan Bawaslu, 243 bapaslon melanggar PKPU No 6 Tahun 2020. Mereka memobilisasi massa pendukung dan melakukan arak-arakan berlebihan. Setahu penulis, KPU belum membuat peta jalan bagaimana rekayasa pilkada di daerah zona merah.                                                                  

Menunda pilkada

Pilkada serentak ditunda telah disuarakan saat perppu ini akan diketuk palu. Namun, argumentasi pemerintah, pilkada akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi regional, tetapi mengabaikan pandemi, apakah sesuai dengan semangat perlindungan yang termaktub di pembukaan UUD 1945?

Desakan pilkada serentak Desember 2020 ditunda datang dari Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Komnas HAM. Atas nama hak untuk hidup, hak atas kesehatan, dan hak atas rasa aman, Komnas HAM merekomendasikan kepada KPU, pemerintah, dan DPR menunda pilkada.

Komnas HAM juga merujuk Pasal 201 A Perppu Nomor 2 Tahun 2020, yang mengatur penundaan pemungutan suara karena bencana nonalam dan dapat dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam berakhir. Pandemi Covid-19 dan daya rusaknya adalah bencana nonalam.

 
Penulis berpikir, harus ada aturan diskualifikasi bagi pasangan calon jika mereka dan pengikutnya melanggar protokol kesehatan.
 
 

Sebagai pelaksana, KPU tentu hanya menjalankan mandat UU. Hanya presiden dan DPR yang bisa menarik rem darurat. Apalagi, perppu memberikan opsi penundaan.

Mitigasi dan diskualifikasi

Becermin pada situasi dan data ini, ditambah angka kematian dokter pada masa pandemi, maka mendesak bagi penyelenggara melakukan proyeksi mitigasi agar pilkada serentak sehat, aman, dan berkualitas. Itu pun jika pedal gas pilkada serentak tetap diinjak.

Proyeksi meliputi kondisi dan faktor apa saja yang berpotensi menimbulkan dampak buruk. Misalnya, KPU memetakan tingkat penyebaran virus di setiap daerah pilkada. Sedangkan rekayasa mitigasi meliputi strategi taktis penyelenggara merespons hasil proyeksi.

Penulis berpikir, harus ada aturan diskualifikasi bagi pasangan calon jika mereka dan pengikutnya melanggar protokol kesehatan. Meskipun tidak diatur dalam perppu, sanksi ini akan memberikan efek yang berpotensi sangat ditakuti kontestan.

 
Kini bola panas pilkada serentak di tangan kuasa legislatif dan eksekutif. Mereka ikut bertanggung jawab jika pilkada serentak di pusaran Covid-19 berubah menjadi pusara massal.
 
 

Diskualifikasi adalah jalan tengah dari dua kutub yang ingin pilkada tetap jalan dan menundanya. KPU harus merevisi peraturannya dan memasukkan secara cermat dan detail soal sanksi diskualifikasi. Inilah yang penulis sebut "extraordinary sanction".

Sebab, pilkadanya juga "extraordinary election" karena berlangsung di tengah ketidakpastian ekonomi, darurat kesehatan, serta manajemen krisis yang tak optimal. Jika sanksi diskualifikasi urung diberlakukan, kerisauan Komnas HAM, ketua MPR, dan masyarakat akan terjadi.  

Kalau sudah begitu, pilkada dalam pusaran pandemi berpotensi menjadi pusara-pusara baru menyusul korban lainnya. Jika pun ditunda, tentu kepemimpinan di daerah pilkada tak boleh kosong dan berhenti.

Kini bola panas pilkada serentak di tangan kuasa legislatif dan eksekutif. Mereka ikut bertanggung jawab jika pilkada serentak di pusaran Covid-19 berubah menjadi pusara massal. Wallahu a'lam

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat