Malik Fadjar. | ANTARAFOTO

Opini

Fajar yang Menyinari

Kita bersyukur memiliki Malik Fadjar. Ia fajar yang menyinari.

M JUSUF KALLA, Wakil Presiden Periode 2004-2009 dan 2014-2019, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia

Malik Fadjar, dipanggil menghadap ke pangkuan Ilahi pada 7 September 2020. Kita merasa kehilangan, tokoh yang sebagian besar hidupnya didedikasikan di dunia pendidikan.

Tidak banyak putra-putri bangsa yang memiliki jejak panjang di bidang pendidikan, seperti Malik Fadjar.

Darah dagingnya adalah pendidikan. Lepas dari bangku sekolah dasar, Malik masuk sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) di Magelang dan Yogyakarta. Begitu tamat, 1959, ia diterjunkan menjadi guru di Taliwang, desa terpencil di Pulau Sumbawa, NTB.

Dari situ, Malik mendapat ikatan dinas untuk meneruskan pendidikannya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Malang. Selanjutnya, dia berangkat ke Florida State University, AS, untuk menyelesaikan program masternya di bidang pendidikan.

Di IAIN Sunan Ampel pulalah ia menjadi dosen lalu guru besar. Jelas, dari segi jenjang pendidikan yang dilewatinya, Malik sangat konsisten: asyik dan menikmati dunia pendidikan.

Dalam perjalanan kariernya pun, Malik selalu berada dalam jalur pendidikan: guru dasar hingga guru besar, menjadi dekan lalu rektor di Universitas Muhammadiyah Malang, lalu menjadi menteri pendidikan nasional pada 2001-2004.

Sebelum itu, Malik menjadi menteri agama, lagi-lagi, terkait pendidikan, yakni pendidikan agama. Jejak Malik itu, seyogianya memberi harapan para guru di mana pun, menjadi guru itu mulia dan bisa mengantar serta membuka jalan menjadi seorang menteri.

 
Pendirian saya ini langsung disetujui Malik. Ia bertanya, secara teknis bagaimana memulai pekerjaan besar ini.
 
 

Pada masa pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputri, saya menjabat sebagai menko kesra, sedangkan Malik mendiknas. Saya beberapa kali berdiskusi dengannya. 

Kami sepakat, kualitas pendidikan bangsa kita sangat merosot. Tidak hanya membandingkannya dengan negara lain, tetapi membandingkan kualitas pendidikan kita sekian puluh tahun silam, kita jauh tertinggal. Saya katakan, kita harus keras dengan standar kelulusan. Harus ada ujian nasional untuk menakar kemampuan anak didik.

Mutu pendidikan kita ditentukan sejauh mana anak didik serius belajar. Saat itu, semua guru dan kepala sekolah berlomba meluluskan anak didiknya karena kelulusan 100 persen adalah prestasi baginya dan sekolah. Akibatnya, anak didik tidak serius belajar karena mereka yakin pasti lulus. 

Ada yang memprotes, kalau banyak murid atau siswa tidak lulus, nanti mereka demo dan orang tua marah. Saya katakan, silakan demo dan rusak sekolah. Tidak apa-apa, kita bisa memperbaikinya. Yang gawat kalau mutu dan moral anak didik rusak. Tak punya mental bersaing dan keinginan bekerja keras. Pendirian saya ini langsung disetujui Malik. Ia bertanya, secara teknis bagaimana memulai pekerjaan besar ini.

Kami lalu membentuk tim kecil, kantor saya, menko kesra bersama Depdiknas, masing-masing secara bersama, mengirim beberapa orang ke Singapura, Malaysia, dan Filipina yang menggunakan bahasa Inggris dalam pengajaran di sekolah.

Tim mempelajari secara detail, bagaimana dan muatan apa aja yang diajarkan di sekolah di ketiga negara itu untuk setiap jenjang pendidikan. Hasilnya, fantastis. Kita sudah jauh di belakang Singapura dan Malaysia. Kita hanya bisa sejajar dengan Filipina.

Muatan pelajaran kita tiga tahun di belakang Singapura untuk semua jenjang pendidikan. Setelah hasil itu kami dapat, Malik bertanya ke saya, di angka berapa kira-kira bisa kita pakai untuk mulai mengukur level kemampuan murid kita.

Saya katakan, pada masa lalu, angka kelulusan itu 5,5. Lalu, kami mencoba simulasi di beberapa tempat dengan standar 5,5. Hasilnya, hanya 40 persen lulus. Kami menurunkan menjadi lima, yang lulus hanya 60 persen. Lalu, menjadi 3,5, yang lulus 80 persen.

Gambaran persentase statistik menunjukkan, kualitas pendidikan kita sangat rendah. Karena itu, tidak boleh menghilangkan ujian nasional dengan berbagai dalih. Harus ada standar yang berlaku nasional.

Saya bersyukur, bisa beriringan dengan Malik dalam standar baku mutu pendidikan kita itu. Tatkala Malik memimpin Universitas Muhammadiyah Malang, universitas tersebut, hingga kini, menjadi satu di antara universitas swasta terbaik di negeri ini.

 
Kita bersyukur memiliki Malik Fadjar. Ia fajar yang menyinari. Sebuah kiat yang tidak muncul begitu saja, tetapi karena ia memang berniat mencerdaskan bangsa.
 
 

Saya tanyakan apa kiatnya. Malik menjawab singkat dan praktis, "Tidak boleh ada ruang kuliah kosong tanpa ada dosen yang mengisinya. Biar para mahasiswa selalu aktif belajar." Ia pun selalu menginspeksi ruang demi ruang.

Begitu ada dosen yang tak datang, Malik menghubunginya. Malah ia biasa menjemput langsung dosen itu. Bila mata kuliah itu masih dalam domain keilmuannya dan dosen tidak ada, Malik yang mengisi dan mengajar.

Sebagai orang saleh, Malik meyakini dan mempraktikkan hadis Nabi Muhammad: “Tatkala seseorang meninggal, maka semua amalnya terputus, kecuali tiga hal: ilmu yang bermanfaat yang dipakai terus-menerus, amal jariyah, dan anak saleh yang selalu mendoakannya.”

Malik menebar benih anak-anak bangsa yang cerdas, merefleksikan ia telah membagi ilmu pengetahuan. Malik memberi amal jariyah karena ikhlas berjuang di lapangan pendidikan, yang dipakai tiada jeda.

Kita bersyukur memiliki Malik Fadjar. Ia fajar yang menyinari. Sebuah kiat yang tidak muncul begitu saja, tetapi karena ia memang berniat mencerdaskan bangsa. Ia memang ikhlas untuk memajukan anak-anak didiknya. Ya, Malik Fadjar. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat