Pembeli memeriksa kondisi lobster yang dijual di pasar ikan di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (6/4). | BASRI MARZUKI/ANTARA FOTO

Opini

Lumbung Lobster Dunia

Menjadi lumbung lobster dunia bukanlah angin surga semata.

MUHAMMAD QUSTAM SAHBUDDIN, Peneliti PKSPL-LPPM IPB Unversity

Setelah 10 tahun berjuang, Provinsi Maluku ditetapkan sebagai lumbung ikan nasional oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Keputusan ini dinilai tepat, mengingat Maluku secara nasional merupakan provinsi penyumbang tertinggi sektor perikanan di Indonesia, dengan potensi sumber daya perikanan mencapai 1.627.500 ton per tahun (Balitbang KKP, 2015).

Pada triwulan II 2019, nilai PDB sektor perikanan Provinsi Maluku Rp 62,24 triliun dan naik Rp 3,66 triliun jika dibandingkan periode sama pada 2018 (KKP, 2019). Sehingga, Maluku menduduki peringkat pertama sentra produksi perikanan di Indonesia (Suhana, 2017).

Konsep lumbung ikan nasional yang digagas Susilo Bambang Yudhoyono 10 tahun silam, seharusnya diberlakukan juga untuk lobster (Panulirus sp). Namun, dalam dimensi lebih luas, yaitu lumbung lobster dunia (LLD) karena Indonesia memiliki potensi itu.

Hasil kajian Priyambodo et al, 2020 menjelaskan, sumber daya benih bening lobster (BBL) di perairan Indonesia lebih besar 20 kali lipat dibandingkan Vietnam. Dengan potensi per tahun 103.480.283 ekor.

 
Maka, seharusnya KKP lebih fokus pada pengembangan teknologi budi daya lobster, bukan malah ekspor benih bening lobster.
 
 

Begitu juga dengan hasil kajian BRSDM KKP pada 2020 yang menyebutkan, potensi benih bening lobster di 11 wilayah pengelolaan perikanan Indonesia mencapai 2,5 miliar per tahun dengan jumlah tangkap yang diperbolehkan 139.475.000 ekor per tahun.

Pertanyaannya, maukah Indonesia menjadi LLD atau lebih memilih menjadi lumbung eksportir benih bening lobster?

Belajarlah dari Vietnam, walaupun hanya memiliki potensi benih bening lobster 4 juta ekor per tahun, mereka bisa menjadi negara pengekspor lobster hasil budi daya terbesar di dunia (1.500 ton per tahun). 

Sebab, sejak 1975, Vietnam menekuni dan mengembangkan teknologi budi daya lobster (Anh and Jones, 2015). Ironisnya, sebagian besar benih bening lobster yang dibudidayakan itu berasal dari Indonesia, 8 juta ekor per tahun (KKP, 2019).

Menjadi LLD bukanlah angin surga semata, ini sesuai penjelasan Watloly (2020) terkait makna kata “lumbung”.

Maka, lumbung lobster dunia memosisikan Indonesia sebagai negara (tempat, lokasi) yang memiliki stok pangan (lobster) dan benih (benih bening lobster) yang harus dikelola (lingkungan habitat) secara berkelanjutan (budi daya).

Maka, seharusnya KKP lebih fokus pada pengembangan teknologi budi daya lobster, bukan malah ekspor benih bening lobster. Di sinilah penerapan kebijakan terlihat kurang konsisten terkait pengelolaan sumber daya perikanan Indonesia.

 
Gambaran Indonesia sebagai lumbung lobster dunia dengan memanfaatkan potensi benih bening lobster 139.475.000 ekor per tahun dapat disimulasikan dengan sederhana. 
 
 

Di satu sisi mendukung lumbung ikan nasional, di sisi lain memperbolehkan ekspor benih bening lobster.

Indonesia memenuhi persyaratan menjadi lumbung lobster dunia jika kuota BBL 139.475.000 ekor (Keputusan Dirjen Tangkap KKP Nomor 51/2020) dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan pengembangan teknologi budi daya dalam negeri.

Menjadi lumbung lobster dunia butuh komitmen apalagi terkait pengelolaan sumber daya lobster. Mengejar ketertinggalan dari Vietnam tak sulit, justru lebih sulit meminta komitmen pemerintah mewujudkan lumbung lobster dunia.

Gambaran Indonesia sebagai lumbung lobster dunia dengan memanfaatkan potensi benih bening lobster 139.475.000 ekor per tahun dapat disimulasikan dengan sederhana. Pertama, asumsikan penguasaan teknologi budi daya lobster setara dengan Vietnam.

Kedua, KKP serius memfasilitasi penelitian dan pengembangan teknologi budi daya serta sarana dan prasarana budi daya lobster di lokasi penghasil benih bening lobster. Ketiga, implementasikan program sea farming lobster.

Asumsi penguasaan teknologi budi daya lobster setara dengan Vietnam bertujuan memberikan gambaran, Indonesia dapat menjadi lumbung lobster dunia, serta menepis opini keraguan Indonesia belum mampu menyaingi Vietnam.

 
Guna mewujudkan lumbung lobster dunia di masa depan, arah kebijakan KKP harus berpihak untuk memfasilitasi kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi budi daya lobster.
 
 

Ada tiga tahapan budi daya lobster, yaitu penangkapan benih, pendederan (produksi tokolan lobster), dan pembesaran (Ahmad Mustafa, 2013).

Kuota benih bening lobster 139.475.000 ekor dipelihara selama empat bulan untuk menghasilkan lobster muda ukuran 30-50 gram per ekor dengan //survival rate// (SR) 90 persen. Artinya, diperoleh lobster muda 125.527.500 ekor.

Pada proses pembesaran hingga panen (± 12 bulan, SR 70 persen), dihasilkan lobster 43.935 ton (ukuran 0,5 kg per ekor) dengan nilai Rp 13,356 triliun (902.715.420 dolar AS). 

Sehingga, Indonesia mampu menjadi lumbung lobster dunia dengan pangsa ekspor dunia 59,63 persen, menggeser Australia yang bertengger di posisi pertama dengan pangsa ekspor 38,64 persen (Flourish Data Visualization, 2019).  

Guna mewujudkan lumbung lobster dunia di masa depan, arah kebijakan KKP harus berpihak untuk memfasilitasi kegiatan penelitian dan pengembangan teknologi budi daya lobster beserta sarana dan prasarana budidaya di lokasi penghasil benih bening lobster.

Terakhir, implementasi sea farming lobster sebagai peta jalan dalam mewujudkan Indonesia menjadi lumbung lobster dunia. Yakni, untuk mengawal dan mengintegrasikan mulai dari kajian, teknis (teknologi), bisnis, lingkungan, sosial, dan kelembagaan.

Sangat menyedihkan jika Indonesia dengan potensi benih bening lobster 139,5 juta ekor per tahun hanya menjadi lumbung eksportir benih bening lobster dunia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat