Sunarsip | Daan Yahya | Republika

Analisis

Indonesia (Hampir Pasti?) Resesi, Kok

Anggaran pemerintah harus lebih efisien dan lebih efektif untuk memperpendek masa resesi.

Oleh SUNARSIP

OLEH SUNARSIP

Pemerintah terlihat “all out” mengupayakan agar ekonomi Indonesia terhindar dari resesi akibat Covid-19. Berbagai program stimulus telah digelontorkan, bahkan konon anggarannya mencapai sekitar Rp 695,20 triliun.

Namun, sepertinya upaya tersebut tidak akan cukup berhasil. Perkiraan saya, kecil sekali peluang Indonesia tidak masuk zona resesi pada kuartal III 2020. Bagaimana penjelasannya?

Resesi ekonomi sebenarnya merupakan istilah teknikal. Sejauh ini tidak ada definisi resmi terkait resesi. Resesi seringkali didefinisikan sebagai penurunan aktivitas ekonomi (decline in economic activity) secara signifikan dan berlangsung cukup lama (berbulan-bulan). Stijn Claessens dan M Ayhan Kose (2020) dalam blog IMF menjelaskan, resesi sebagai kejatuhan ekonomi yang ditandai pertumbuhan ekonomi negatif, lonjakan pengangguran, kejatuhan sektor keuangan, jatuhnya laba perusahaan, dan kolapsnya sektor perumahan.

Berbagai definisi tentang resesi umumnya bersifat kualitatif. Teknisnya, seperti seberapa besar penurunan aktivitas ekonomi dapat dinyatakan “telah menurun signifikan”, belum ada acuan bakunya. Namun, untuk tujuan keseragaman, muncullah aturan praktisnya (rule of thumb). Rule of thumb menyatakan, suatu negara dinyatakan masuk zona resesi bila ekonominya mengalami pertumbuhan negatif selama dua kuartal berturut-turut secara year on year (yoy). Dan definisi rule of thumb inilah yang kini dipakai untuk menjelaskan suatu negara masuk resesi atau belum.

Pada kuartal II 2020, Indonesia telah mencatatkan pertumbuhan ekonomi negatif sebesar -5,32 persen (yoy). Itu berarti, bila pada kuartal III 2020 (Juli-September) juga mencatatkan pertumbuhan negatif, secara teknikal kita masuk zona resesi. Untuk mencegah kuartal III 2020 tidak tumbuh negatif, maka capaian PDB-nya minimal harus sama dengan capaian pada kuartal III 2019.

Nah, di sinilah letak persoalannya. Ternyata, capaian PDB pada kuartal III 2019 sudah sangat tinggi, bahkan tertinggi dalam sejarah capaian PDB per kuartalnya. Dan itu dicapai pada kondisi normal, tidak dalam kondisi krisis. Pada kuartal III 2019, PDB mencapai Rp 2.819 triliun. Pertanyaannya, mampukah PDB kuartal III 2020 menyamai, bahkan melampaui capaian kuartal III 2019?

Angka pertumbuhan PDB kuartal III 2020 baru diumumkan BPS pada November nanti. Kami (analis) biasanya menggunakan angka-angka leading indicator untuk memprediksi pertumbuhan PDB. Leading indicator tersebut, antara lain, angka penjualan ritel, penjualan kendaraan bermotor, penjualan alat berat, penjualan semen, penjualan rumah, konsumsi listrik, kredit perbankan, ekspor impor, realisasi APBN, dan lain-lain. Biasanya, kinerja pertumbuhan yang diperlihatkan oleh leading indicator tidak terlalu jauh berbeda dengan realisasi angka pertumbuhan PDB.

Selama periode Juni-Juli 2020, angka-angka leading indicator memperlihatkan adanya perbaikan kinerja dibanding capaian di awal pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada Maret-Mei 2020. Sayangnya, capaian Juni dan Juli 2020 hanya sekitar separuh dari capaian pada periode yang sama tahun lalu. Dengan kata lain, kecil peluang pada kuartal III 2020 ekonomi kita mampu tumbuh positif.

Dalam kondisi pergerakan manusia tak dapat dilakukan secara maksimal, berbagai upaya untuk mencegah resesi sebenarnya tidak akan efektif. Mencegah resesi ekonomi bukanlah hal prioritas. Pandemi pasti menyebabkan aktivitas manusia berkurang. Dan itu berarti, ada kapasitas ekonomi yang hilang (loss) karena tidak digunakan.

 
Dalam kondisi pergerakan manusia tak dapat dilakukan secara maksimal, berbagai upaya untuk mencegah resesi sebenarnya tidak akan efektif.
 
 

Pengurangan kapasitas ini tidak dapat digantikan dalam waktu singkat, bahkan oleh teknologi canggih sekalipun. Penggunaan teknologi (termasuk digital) tetap butuh waktu adaptasi. Ibaratnya, di masa pandemi, krisis atau resesi adalah sesuatu yang given, harus diterima, sulit ditolak atau dicegah.

Saya berpendapat, di masa pandemi, terdapat tiga hal yang seharusnya memperoleh prioritas dibanding “menolak” resesi. Pertama, menyiapkan masyarakat agar siap menghadapi resesi selama pandemi. Dampak terberat resesi adalah kehilangan pekerjaan, menurunnya pendapatan dan daya beli.

Meski daya beli turun, tapi tidak semua warga kehilangan daya beli. Mereka bisa kehilangan pekerjaan dan menurunnya pendapatan, tapi tak semua kehilangan daya beli. Sebagian masih memiliki tabungan atau pendapatan cukup untuk belanja, sepanjang pandeminya tidak lama. Kewajiban pemerintah sebenarnya cukup menjaga (melalui subsidi) agar masyarakat tidak kehilangan daya beli, bukan mempertahankan tingkat daya beli.

Kedua, menyiapkan agar masyarakat mampu menjalankan norma baru (new norm) dalam beraktivitas. Para ahli kesehatan sepakat bahwa virus Covid-19 hanya dapat “dikalahkan” oleh tiga hal: physical distancing secara disiplin, imunitas tubuh, dan vaksin. Dari ketiga hal ini, tampaknya baru satu yang telah dilakukan: pemberlakukan penjarakan fisik, itu pun masih belum sepenuhnya disiplin.

Pemerintah telah menganjurkan masyarakat agar meningkatkan imunitas diri dengan mengonsumsi vitamin dan obat-obatan. Namun, anjuran ini akan lebih efektif bila diikuti dengan penyediaan vitamin dan obat-obatannya oleh pemerintah.

Saya mengusulkan pemerintah perlu mengalokasikan belanja kesehatan bagi penyediaan vitamin dan obat-obatan yang dibutuhkan untuk meningkatkan imunitas. Vitamin dan obat-obatan ini, misalnya, diproduksi oleh BUMN farmasi, lalu dibeli pemerintah dan dibagikan ke masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah juga perlu mengeluarkan regulasi terkait kewajiban bagi perusahaan agar mealokasikan anggarannya untuk biaya kesehatan dan imunitas bagi pegawainya.

 
Saya mengusulkan pemerintah perlu mengalokasikan belanja kesehatan bagi penyediaan vitamin dan obat-obatan untuk imunitas.
 
 

Dalam kondisi lapangan pekerjaan masih sulit dan penghasilan terbatas, menyuruh masyarakat berhenti beraktivitas dan tinggal di rumah adalah kebijakan yang kurang bijak. Mereka tetap butuh beraktivitas karena bantuan pemerintah pasti tidak akan dapat cukup memenuhi kebutuhan dasar hidup.

Karenanya, kebijakan yang lebih realistis adalah tetap membolehkan, terutama pelaku UMKM dan pekerja tidak tetap, untuk bekerja dengan disiplin penjarakan fisik, tapi sekaligus pemerintah membekali mereka dengan “senjata” berupa imunitas sampai vaksin betul-betul siap.

Ketiga, memperpendek siklus pandemi agar resesi tidak berlangsung lama. Pemerintah kini tengah berupaya mempercepat uji klinis vaksin Covid-19 yang telah dipilih. Harapannya, akhir tahun ini uji klinis selesai dan awal tahun depan dapat disuntikkan ke masyarakat. Ini langkah terakhir dan diyakini menjadi senjata efektif untuk mengakhiri pandemi dan memutus resesi. Karenanya, pemerintah memang perlu fokus pada upaya pengembangan vaksin ini. 

Namun demikian, keyakinan bahwa vaksin akan betul-betul siap pada awal tahun, dari perspektif pemulihan ekonomi juga berpotensi menjadi pertaruhan yang berisiko. Karena kita belum tahu pasti apakah hasil uji klinis vaksin memang akan siap pada akhir tahun ini.

Saya berpendapat, ketiga hal di atas akan menjadi langkah yang bijak bagi semua. Bijak bagi masyarakat, bagi pemerintah, dan bagi anggaran pemerintah. Dalam perspektif saya, alokasi anggaran yang disebut sebagai dana pemulihan ekonomi sebesar Rp 695,2 triliun di atas terlalu besar, terlalu luas jangkauannya dan berpotensi tidak efektif.

Dengan melakukan refocusing melalui kombinasi ketiga langkah di atas, saya yakin anggaran pemerintah dapat lebih efisien dan lebih efektif untuk memperpendek masa resesi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat