Petani memanen padi di Paron, Ngawi, Jawa Timur, Senin (3/8). | ARI BOWO SUCIPTO/ANTARA FOTO

Opini

Pertanian Hela Pemulihan

Ada sejumlah tanda sektor pertanian bisa menjadi penghela pemulihan ekonomi.

KHUDORI, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan (2010-sekarang)

Covid-19 menguji ketangguhan semua aspek kehidupan, terutama kesehatan dan ekonomi. Dari sisi kesehatan, korban terbesar virus adalah orang-orang rentan: manula dan mereka yang memiliki penyakit penyerta.

Sementara itu, krisis ekonomi terberat juga menyasar kelompok rentan: petani, nelayan, pekerja informal, pelaku UKM, dan warga miskin (di kota dan desa). Sejak Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan, kapasitas industri anjlok drastis.

Meski ada pelonggaran, kapasitas masih jauh dari memadai, bahkan untuk sekadar menutup biaya operasional.

Yang muncul justru tanda-tanda krisis: PHK 6,4 juta dari 18 juta yang bekerja di sektor manufaktur, ekonomi terkontraksi 1,26 persen, dan orang miskin bertambah 1,63 juta. Ini potret ekonomi hingga kuartal II 2020, saat Covid-19 masih merajalela.

 
Jika pada resesi 1997-1998 sektor pertanian menjadi bantalan ekonomi, bahkan salah satu andalan pemulihan, apakah saat krisis Covid-19 ini sektor pertanian bisa kembali diandalkan?
 
 

Saat kurva Covid-19 terus mendaki, aneka jurus pemulihan ekonomi tak kunjung efektif. Bayang-bayang krisis lebih dalam di kuartal III berpeluang terjadi. Krisis bisa berlanjut resesi. Resesi terjadi bila dalam dua triwulan berturut-turut perekonomian kontraksi.

Jika pada resesi 1997-1998 sektor pertanian menjadi bantalan ekonomi, bahkan salah satu andalan pemulihan, apakah saat krisis Covid-19 ini sektor pertanian bisa kembali diandalkan?

Resesi 1997-1998 dipicu krisis perbankan, lalu menyeret perekonomian ke tebir jurang. Sektor pertanian, juga UMKM, relatif tak terdampak. Bahkan, dengan rupiah yang melemah, pertanian menikmati durian runtuh berupa harga yang tinggi di pasar dunia.

Kali ini situasinya berbeda. Krisis kesehatan akibat Covid-19 membuat interaksi manusia dihentikan, setidaknya berlangsung minimal. Sementara, gerak UMKM juga pertanian berjalan karena interaksi manusia.

Namun, merujuk data hingga kuartal II 2020, ada sejumlah tanda sektor pertanian bisa jadi penghela pemulihan (ekonomi).

Pertama, kala sejumlah sektor terpukul, pertanian (dalam arti luas) masih tumbuh positif: 2,19 persen pada kuartal II 2020, lebih rendah dari pertumbuhan kuartal I 2020 (5,33 persen). Pada kuartal II 2020, pertanian satu-satunya sektor pembentuk PDB yang tumbuh positif.

Kedua, tatkala sejumlah sektor industri pengolahan terpuruk, industri pengolahan makanan-minuman, dan sektor kesehatan tetap tumbuh. Bahkan, menjadi penyumbang surplus perdagangan.

 
Ini menunjukkan pertanian juga perdesaan, memiliki resiliensi relatif baik saat menghadapi pandemi ketimbang sektor lain dan wilayah perkotaan.
 
 

Ketiga, Januari-April 2020, nilai ekspor pertanian naik 16,9 persen dari periode sama 2019: dari Rp 115,18 triliun jadi Rp134,63 triliun. Surplus perdagangan produk pertanian pada periode sama juga naik, dari Rp 33,62 triliun jadi Rp 44,702 triliun (naik 32,96 persen).

Keempat, tatkala kemiskinan naik dari 24,79 juta menjadi 26,42 juta dari Maret 2019 ke Maret 2020, persentase kemiskinan di perdesaan turun tipis 0,03 poin.

Persentase penduduk miskin perdesaan turun, tetapi dari sisi jumlah tetap meningkat. Penduduk miskin perdesaan naik 110 ribu orang dari Maret 2019 ke Maret 2020, sementara perkotaan naik 10 kali kenaikan di perdesaan: 1,17 juta orang.

Ini menunjukkan pertanian juga perdesaan, memiliki resiliensi relatif baik saat menghadapi pandemi ketimbang sektor lain dan wilayah perkotaan. Ini bisa dipahami karena sampai kini, pertanian dan perdesaan adalah tempat produksi pangan, mencapai 80 persen.

Meski memiliki resiliensi, bukan berarti pertanian tanpa masalah. Paling tidak, tecermin dari nilai tukar petani yang masih terus tertekan. Kembalinya pelancong ke desa setelah kehilangan pekerjaan di kota menambah tekanan pada sektor pertanian.

Selain itu, petani, peternak, dan nelayan kesulitan memasarkan hasil produksinya yang diikuti penurunan harga hasil produksi.

Jika ini berlanjut, bakal mengancam kontinuitas produksi. Ini harus dicegah. Pertama, merancang stimulus khusus untuk sektor pertanian. Dari Rp 695 triliun untuk penanganan Covid-19 tak ada yang secara khusus dirancang untuk stimulus pertanian.

Kedua, perlu dipastikan akses petani atas input produksi dan modal kerja. Ketiga, memastikan jaminan pasar hasil petani. Salah satunya, memasukkan pembelian produk petani menjadi bagian bantuan sosial.

Pada awal pandemi, persisnya 17 April 2020, Departemen Pertanian AS (USDA) mengumumkan alokasi 19 miliar dolar AS (Rp 300 triliun) untuk membantu petani dan peternak, di luar program penyelamatan keluarga dan anak-anak karena korona.

Anggaran terbagi dua, yakni bantuan langsung pada petani dan peternak 16 milliar dolar AS (Rp 250 triliun), dan pembelian produk petani dan penyaluran distribusi pemerintah 3 miliar dolar AS (Rp 50 triliun).

Indonesia tak sekaya AS. Dengan segala keterbatasan, Indonesia dituntut merancang stimulus yang tepat. Salah satunya menggerakkan sektor produksi, yaitu pertanian, lalu mempertemukannya dengan sektor konsumsi yang dihela lewat berbagai bansos.

Tahun lalu, peran konsumsi rumah tangga pada perekonomian mencapai 56,62 persen. Maka itu, salah satu cara menghindari tekanan pada kuartal III, bisa dengan menggenjot konsumsi rumah tangga lewat bansos tepat waktu dan mempercepat belanja pemerintah. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat